tirto.id - Dilihat dari sisi mana pun, terasa ada yang ganjil dari peraturan baru pemerintah memberi prioritas izin tambang bagi ormas keagamaan. Regulasi ini juga dikhawatirkan menimbulkan banyak mudarat dan sarat akan nuansa politis. Dalih yang digemborkan pemerintah bahwa aturan ini bakal menyejahterakan masyarakat, terlihat dipaksakan dan sangat dibuat-buat.
Berbagai pakar lingkungan memandang, memberikan karpet merah bagi ormas keagamaan mengelola tambang justru menimbulkan banyak ekses negatif. Selain memberangus nalar kritis ormas karena adanya relasi untung rugi, dikhawatirkan akan terjadi konflik horizontal dan kerusakan lingkungan yang besar akibat aturan ini.
Peraturan memberi prioritas penawaran izin tambang bagi ormas keagamaan tertera dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP No 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Batubara. Pada pasal 83A, disebut wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) dapat ditawarkan secara prioritas kepada badan usaha yang dimiliki ormas keagamaan.
WIUPK yang dapat dikelola badan usaha ormas keagamaan merupakan wilayah tambang eks Perjanjian Karya Pengusaha Pertambangan Batubara (PKP2B). PP Nomor 25/2024 menyebut, kepemilikan saham ormas keagamaan dalam badan usaha yang dimaksud harus menjadi mayoritas dan pengendali, serta tidak dapat dipindahtangankan dan/atau dialihkan tanpa persetujuan menteri. Ormas keagamaan juga dilarang melakukan kerja sama dengan pemegang PKP2B sebelumnya.
Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional, Muhammad Jamil, memandang aturan pemerintah yang menawarkan izin tambang kepada ormas keagamaan sudah pasti bakal memperparah kerusakan lingkungan. Meski anggota ormas banyak dan tersebar di berbagai daerah, mereka dinilai minim kemampuan dalam pengelolaan tambang.
“Pasti merusak lingkungan karena selama ini mereka tidak punya [perusahaan] tambang,” kata Jamil kepada reporter Tirto, Selasa (4/6/2024).
Berdasarkan studi JATAM, siapa pun pengelolanya, tidak akan menghilangkan karakteristik usaha pertambangan yang rakus air, rakus lahan, dan merusak lingkungan. Apalagi dilakukan dengan minim pengalaman dan kemampuan. Hal itu membuka celah masuk pihak swasta yang bakal diuntungkan karena adanya aturan ini.
“Akhirnya menggandeng pihak swasta, meskipun saham mayoritas dipegang ormas, tentu mereka tampil hanya sebagai makelar,” sebut Jamil.
Dengan skenario semacam itu, maka dalih pemerintah yang ingin menyejahterakan ormas keagamaan otomatis terbantahkan. Hadirnya pemain lama yang menyusup di belakang ormas akan membawa kerugian. Pihak swasta yang dikuasai para bohir juga dapat seenak jidat angkat kaki, ketika pengelolaan tambang yang mereka lakukan diprotes sebab merusak lingkungan hidup warga.
“Maka ormas sendiri yang bakal dicecar pertanggungjawaban sosial dan lingkungan,” terang Jamil.
Dihubungi terpisah, Koordinator Nasional JATAM, Melky Nahar, menilai dalih pemerintah bahwa tambang bakal mendorong kesejahteraan ormas merupakan omong kosong. JATAM mengingatkan, bisnis pertambangan itu padat modal dan padat teknologi. Ekonomi tambang sangat rapuh dan tidak berkelanjutan.
Melky memandang, terbitnya PP Nomor 25/24 patut dibaca sebagai langkah balas jasa bagi penyokong politik Presiden Jokowi dalam upaya merawat pengaruh politik setelah lengser dari jabatannya Oktober mendatang. Jokowi sendiri menjanjikan pemberian izin tambang bagi ormas keagamaan sejak lama, terutama kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada 2021 silam.
JATAM mencatat, saat ini jumlah izin tambang di Indonesia mencapai hampir 8.000 izin, dengan luas konsesi mencapai lebih dari 10 juta hektar. Dalam operasionalnya, tambang tak hanya melenyapkan ruang pangan dan air, namun berdampak pula pada terganggunya kesehatan warga.
Operasi pertambangan batu bara juga telah meninggalkan lubang-lubang bekas tambang yang mengancam nyawa. JATAM mencatat, ada lebih dari 80.000 titik lubang tambang yang dibiarkan menganga tanpa rehabilitasi di Indonesia. Lubang-lubang tambang itu menjadi mesin pembunuh massal karena kerap memakan korban.
“Di Kalimantan Timur misalnya, telah menelan korban tewas 49 orang, mayoritas anak-anak. Kasus-kasus ini dibiarkan begitu saja, tanpa penegakan hukum,” tegas Melky.
Di sisi lain, beberapa ormas keagamaan menyambut baik rencana pemerintah Jokowi yang membuka jalan bagi mereka ikut bermain dalam bisnis tambang. Meskipun, ada juga ormas yang mengambil sikap hati-hati dalam menyambut aturan baru ini.
PBNU misalnya, dikonfirmasi sudah mengajukan WIUPK di Kalimantan Timur. Kabar ini dikonfirmasi oleh Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM, Yuliot. Dia menyatakan bahwa saat ini baru PBNU ormas keagamaan yang mengajukan izin tambang.
"NU sudah mengajukan di Kalimantan Timur yang masih dalam tahapan evaluasi," ucap Yuliot saat dihubungi Tirto, Selasa (4/6/2024).
Sebelumnya, Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil, mengatakan terbitnya aturan ini sebagai langkah berani Presiden Jokowi. Yahya menilai pemberian izin tambang akan menjadi saluran efektif mengantarkan manfaat dari sumber daya ekonomi yang oleh pemerintah dimandatkan kepada PBNU sebagai pengelola.
“PBNU berterima kasih kepada Presiden Joko Widodo atas kebijakan afirmasinya untuk memberikan konsesi dan izin usaha pertambangan kepada ormas-ormas keagamaan, termasuk Nahdlatul Ulama,” kata Yahya dalam keterangannya, Senin (3/6/2024).
Komitmen Ekologis Ormas
Manajer Kampanye Tambang dan Energi WALHI, Rere Jambore Christanto, mengamini bahwa kebijakan untuk memprioritaskan izin tambang bagi ormas keagamaan akan semakin merusak lingkungan. Operasi pertambangan akan membutuhkan lahan luas untuk operasi produksinya, karena yang dituju adalah bahan baku yang berada di bawah tanah. Maka, kata Rere, pengelola tambang akan lebih dahulu menghancurkan sistem ekologis yang ada di atasnya.
“Entah itu kawasan hutan, sumber mata air, daerah aliran sungai, atau bahkan wilayah produktif masyarakat seperti sawah dan kebun,” kata Rere kepada reporter Tirto.
Setelah sistem ekologis di atasnya dibabat dan dibuka, petambang baru akan membongkar tubuh bumi di bawahnya untuk mengambil mineral atau batu bara. Aktivitas ini kemudian akan menyisakan lubang-lubang tambang di wilayah operasional.
“Semua proses ini adalah ancaman untuk kualitas lingkungan dan bagi sumber-sumber penghidupan masyarakat,” lanjut dia.
Rere menduga, kemungkinan besar bakal ada para penumpang gelap dari kebijakan ini. Pemain-pemain lama yang digandeng ormas keagamaan untuk membantu mengelola tambang, akan memantik kerusakan lingkungan parah dan konflik horizontal. Bahkan, bukan mustahil ormas keagamaan harus berhadap-hadapan dengan warganya sendiri jika terjadi konflik akibat operasi pertambangan.
Maka, komitmen ekologis ormas keagamaan sebetulnya begitu dinanti. Ormas keagamaan harus menjadi corong umat beragama dan masyarakat luas untuk menyuarakan penindasan dan kesewenang-wenangan penguasa dalam konflik agraria. Ormas diharapkan pasang badan bagi masyarakat, bukan justru bergabung dalam barisan perusak lingkungan hidup warga.
Hal ini juga sebetulnya merupakan mandat dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Dalam pasal 5, salah satu tujuan pembentukan ormas adalah “melestarikan budaya, sumber daya alam, dan lingkungan hidup.” Jika ormas keagamaan merusak lingkungan hidup karena mengelola bisnis ekstraksi pertambangan, tentu merupakan pengabaian pada UU Nomor 17/2023.
“Ide pemberian prioritas pengelolaan tambang kepada ormas tidak memiliki dasar pemikiran yang kuat dan harusnya dicurigai sebagai upaya bagi-bagi kue dan penundukan ormas [oleh penguasa],” tutur Rere.
Ormas keagamaan seharusnya menolak ide pemberian izin tambang karena peraturan pemerintah sudah mengabaikan prinsip pencegahan, pengendalian, dan perlindungan. Izin tambang seharusnya tidak diberikan kepada semua pihak untuk mengelolanya. Peraturan pemerintah merusak logika perizinan tambang yang seharusnya dipakai untuk mencegah, membatasi dan melindungi lingkungan hidup dari bisnis tambang.
“Ini sekadar menjadi mekanisme obral sumber daya alam,” ungkap Rere.
Semetara itu, Pakar hukum lingkungan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), I Gusti Agung Made Wardana, menilai kebijakan menggandeng ormas keagamaan mengelola tambang merupakan respons penguasa terhadap krisis legitimasi industri ekstraktif di Indonesia. Di era krisis iklim, industri ekstraktif seperti tambang kerapa mendapatkan perlawanan, baik dari aktivis lingkungan dan warga yang terdampak. Negara merupakan sasaran kritik paling pucuk karena menjadi pihak yang memberikan izin tambang sehingga merusak lingkungan.
“Oleh karena itu dibutuhkan langkah baru untuk mengembalikan legitimasi, yakni dengan pemberian konsesi tambang bagi ormas keagamaan,” kata Agung kepada reporter Tirto, Selasa.
Ormas keagamaan diasumsikan merupakan representasi dari banyak masyarakat Indonesia yang memiliki afiliasi kultural kepada ormas-ormas ini. Dengan demikian, keuntungan dari konsesi pertambangan seolah diasumsikan juga bakal dirasakan oleh umat beragama. Namun hal tersebut bermasalah, karena membuat penafsiran agama terhadap kerusakan ekologis menjadi mandeg dan tidak berpihak pada lingkungan.
Masalah lainnya, pola pemberian tambang kepada ormas keagamaan akan menimbulkan konflik horizontal. Penolakan atas aktivitas tambang, bisa dianggap seolah-olah bentuk perlawanan kepada institusi agama. Ini tentu melemahkan perjuangan warga dalam melawan bisnis ekstraktif yang merusak lingkungan hidup.
“Karena konflik tambang yang tadinya bernuansa struktural, yakni warga melawan korporasi dan negara. Berubah menjadi horizontal, yaitu antar umat yang diuntungkan dengan umat yang dirugikan,” jelas Agung.
Respons Pemerintah
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, menegaskan bahwa pengelolaan tambang oleh ormas keagamaan akan tetap dilakukan secara profesional melalui badan usaha yang dimiliki ormas. Dia juga menepis anggapan bahwa aturan ini merupakan upaya Jokowi bagi-bagi kue kepada ormas keagamaan pendukung langkah politiknya.
“Ormas itu pertimbangannya itu tadi karena ada sayap-sayap organisasinya yang memungkinkan. Dari pada ormasnya setiap hari mengajukan proposal, kan lebih baik dengan sayap bisnis yang rapi dan tetap profesional,” kata Siti kepada wartawan usai mendampingi Presiden Joko Widodo menerima kunjungan Menteri Iklim dan Lingkungan Hidup Norwegia Andreas Bjelland Erikson di Istana Merdeka, Jakarta, Minggu (2/6/2024).
Reporter Tirto berupaya menanyakan komitmen ekologis dan lingkungan kepada beberapa ormas keagamaan yang sempat buka suara soal aturan izin tambang bagi ormas. Mereka yang dihubungi misalnya PBNU, Muhammadiyah, dan PGI.
Ketua PBNU, Ahmad Fahrurrozi alias Gus Fahrur, enggan memberikan komentar dan mempersilakan menanyakan hal tersebut kepada Sekjen PBNU Saifullah Yusuf. Namun Saifullah alias Gus Ipul, tidak merespons permintaan wawancara Tirto lewat pesan singkat.
“Ke Sekjen saya ya,” kata Gus Fahrur.
Sementara itu, Ketua Umum PGI, Pendeta Gomar Gultom tidak merespons permintaan wawancara yang dilayangkan Tirto. Tirto juga menghubungi Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, namun enggan berkomentar banyak karena sejauh ini tidak ada pembicaraan soal izin tambang di internal pihaknya. Terlebih, kata dia, tidak ada tawaran izin tambang yang datang kepada Muhammadiyah.
“Tidak ada tawaran kok berandai-andai,” ujar dia.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang