Menuju konten utama

Menakar Kesiapan UMKM & Koperasi Kelola Pertambangan

Tanpa adanya konsolidasi atau konsorsium UMKM dan koperasi, para pengusaha akar rumput akan kesulitan kelola tambang.

Menakar Kesiapan UMKM & Koperasi Kelola Pertambangan
Foto udara alat berat memuat batu bara di tempat penampungan batu bara, tepi Sungai Batanghari, Muaro Jambi, Jambi, Kamis (20/6/2024). ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/foc.

tirto.id - Wakil Ketua DPR RI, Adies Kadir, mengetuk palu tanda disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) menjadi undang-undang (UU). Pengesahan dilakukan usai Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg), Ahmad Doli Kurnia, merampungkan paparannya terkait proses pembuatan RUU Minerba itu kepada seluruh fraksi yang hadir dalam Sidang Paripurna ke-13 Masa Persidangan II Tahun 2024-2025.

"Tibalah saatnya kami meminta persetujuan kepada fraksi-fraksi terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara menjadi undang-undang. Apakah dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?" tanya Adies kepada 311 anggota DPR yang hadir di Ruang Paripurna Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Selasa (18/2/2025).

"Setuju," jawab seluruh anggota fraksi DPR RI yang hadir.

Dalam revisi UU Minerba tersebut, DPR dan pemerintah—dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)—sepakat untuk mengubah 20 pasal dan menambah 8 pasal. Salah satu hal yang dibahas dalam revisi UU Minerba terkait peluang bagi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan koperasi untuk mengelola tambang.

Menurut Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, UMKM dan koperasi nantinya bisa mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan skala prioritas.

“Artinya, tidak mesti mengikuti tender murni,” kata dia saat ditemui awak media usai Sidang Paripurna.

Pemberian IUP tersebut, menurut Bahlil, sesuai dengan Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang mengamanatkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Kendati demikian, IUP akan didesain hanya untuk UMKM yang ada di daerah saja, tidak termasuk Jakarta. Hal ini sekaligus juga sebagai upaya pemerintah untuk mengurangi tingginya ketimpangan yang sampai saat ini masih menjadi momok di Indonesia.

“Sekarang ini, hampir semua IUP ini kantornya semua di Jakarta. Nah, ini kami mengembalikan, agar orang-orang daerah diberikan posisi [kesempatan mengelola tambang],” ujar dia dalam konferensi pers usai Rapat Pleno dengan Baleg DPR, di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Senin (17/2/2025).

Untuk dapat mengelola tambang, UMKM harus memiliki modal minimal Rp10 miliar. Syarat dan kriteria lainnya masih akan dibahas oleh Kementerian UMKM dengan kementerian-kementerian teknis lainnya.

Dengan pemberian IUP prioritas kepada UMKM, Bahlil berharap dalam jangka waktu 1-2 tahun UMKM dapat bertransformasi menjadi perusahaan besar.

“Memang itu yang UKM [Usaha Kecil dan Menengah] kehendaki, untuk melahirkan pengusaha-pengusaha besar dari daerah. Agar apa? Mengurangi rasio ketimpangan,” jelas Bahlil.

Sementara itu, Menteri Koperasi (Menkop), Budi Arie Setiadi, menilai bahwa IUP selama ini lebih banyak diberikan kepada korporosasi-korporasi bermodal besar. Padahal, konstitusi Indonesia jelas mengamanatkan sumber daya alam dapat dikelola langsung oleh rakyat.

Menurut Budi, revisi UU Minerba bertujuan agar masyarakat melalui koperasi dan UMKM dapat mengelola tambang melalui lelang atau pemberian prioritas.

“Selama ini, pengelolaan tambang banyak didominasi oleh korporasi. Padahal, konstitusi kita mengamanatkan agar sumber daya alam dikelola langsung oleh rakyat. Melalui koperasi, kita dapat mewujudkan hal tersebut,” kata Budi, dalam keterangan resminya, dikutip Rabu (19/2/2025).

Pengesahan UU Minerba yang baru digadang-gadang ini menjadi momentum penting bagi koperasi untuk berkontribusi lebih strategis dalam arus besar ekonomi masa depan Indonesia. Aturan anyaritu juga diklaim bakal memacu pertumbuhan ekonomi daerah sekaligus memperbesar kontribusi koperasi dan UMKM terhadap produk domestik bruto (PDB).

“Ini juga menjadi langkah konkret dalam mendorong asas keadilan dan kesetaraan bagi semua badan usaha, termasuk koperasi, untuk berperan dalam pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan,” tutur Budi.

Kesiapan UMKM dan Koperasi

Berdasar data Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM), kontribusi koperasi terhadap PDB telah meningkat menjadi 6,2 persen dari yang sebelumnya hanya 5,7 persen. Permodalan koperasi juga mengalami peningkatan dalam 10 tahun terakhir.

Pada 2014 permodalan koperasi di Indonesia tercatat sebesar Rp200,66 triliun. Lalu, pada 2023, nilainya meningkat menjadi Rp254,17 triliun.

Yang masih perlu menjadi catatan adalah banyaknya koperasi yang berguguran dari tahun ke tahun. Per 2023, Kemenkop UKM mencatat jumlah sebanyak 130.119 unit, padahal satu dekade sebelumnya jumlahnya tercatat 209.488 unit.

Sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia, UMKM memberikan kontribusi terhadap PDB 2023 sebesar 61 persen atau setara dengan Rp9.580 triliun. Selain itu, UMKM juga menyerap sebanyak 117 juta tenaga kerja.

“Kita ingin menaikkan level dan mengubah perspektif, cara pandang kita dalam melihat UMKM. Tidak hanya sekadar sebagai sebuah entitas usaha yang identik dengan masyarakat menengah ke bawah, tapi kita ingin mulai mengangkat bahwa UMKM adalah sebuah sektor yang betul-betul dilihat sebagai penopang ekonomi negara,” kata Menteri UMKM, Maman Abdurrahman, dalam acara Kumparan The Economics Insight di The Westin Jakarta, Rabu (19/2/2025).

Untuk mencapai cita-cita tersebut, UMKM tidak hanya berperan dalam pengelolaan tambang saja, melainkan juga harus mampu menciptakan rantai pasok dari produk pertambangan tersebut. Ini, kata Maman, seperti halnya yang telah diterapkan di negara-negara maju, seperti Cina dan Korea Selatan.

Karena itu, dalam aturan turunan UU Minerba yang kini sedang dibahas, Kementerian UMKM dan kementerian teknis lainnya akan memasukkan prasyarat kepada usaha-usaha kecil hingga menengah yang mendapatkan IUP untuk membangun rantai pasok.

“Sampai hari ini, belum terjadi sebuah konektivitas antara UMKM dan usaha besar. Untuk itu, ke depan, kami akan memberi prasyarat kepada usaha kecil dan menengah yang mendapatkan IUP agar dapat terbangun rantai pasok. Ya, inilah problemnya, jadi [UMKM] sulit sekali berkembang,” imbuh Menteri Maman.

Maman mengakui bahwa untuk pengelolaan tambang, UMKM membutuhkan dorongan dari perusahaan-perusahaan besar. Dorongan itu bisa diberikan melalui skema corporate business responsibility (CBR).

“Pada kesempatan ini, saya mengimbau dan mengajak kepada teman-teman [pengusaha besar], mari kita libatkan UMKM dalam pendekatan kemitraan. Dalam pendekatan B2B [business to business], dalam pendekatan profesionalisme,” tegas Maman.

Sementara itu, Sekjen Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo), Edy Misero, menilai bahwa pemberian IUP kepada UMKM sebenarnya terhitung terlambat. Sebab, selama ini pun tanpa ada aturan ini, sudah banyak UMKM yang bergerak dalam pengelolaan hasil tambang, khususnya pasir dan batu dengan skala kecil.

“Sudah puluhan tahun UMKM itu ada juga yang bergerak di bidang tambang. Cuma, tambangnya itu kelasnya galian C, misalnya tambang pasir, tambang-tambang yang sifatnya kecil, tambang batu. Jadi, kalau baru sekarang, oh boleh ya [mengelola tambang], ketinggalan dong. Udah dari dulu-dulu juga,” kata Edy saat dihubungi Tirto, Rabu (19/2/2025).

Edy sadar, jika izin pengelolaan tambang yang diberikan pemerintah melalui revisi UU Minerba ini merupakan izin kelolaan untuk tambang-tambang berskala besar, seperti batu bara, nikel, emas, dan sebagainya. Namun masalahnya, UMKM maupun koperasi tak mampu mencukupi prasyarat yang diminta pemerintah, yakni modal minimum Rp10 miliar.

Bagaimana tidak, jika dilihat dari skala permodalan, Pasal 35 PP Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan UMKM, menyebutkan bahwa usaha mikro memiliki modal maksimal Rp1 miliar; usaha kecil bermodalkan Rp1-5 miliar; dan usaha menengah dengan modal Rp5-10 miliar.

Artinya, tambang-tambang berskala besar yang diberikan pemerintah melalui revisi UU Minerba ini hanya dapat dikelola oleh para pelaku usaha menengah.

“Problemnya adalah mampu enggak UMKM itu melakukan kegiatan yang sifatnya [pengelolaan] tambang besar, yang perlu keahlian, perlu modal kerja tidak sedikit, kan gitu. Peluangnya ada, cuma apakah UMKM itu bisa melakukannya?” tutur Edy.

Karena itu, agar UMKM bisa benar-benar mengelola dan menjadi pemilik manfaat dari tambang-tambang dengan skala besar ini, Edy pun mendorong agar pemerintah dapat membentuk holding UMKM terlebih dulu. Pasalnya, UMKM akan menjadi kesulitan mengelola tambang tanpa konsolidasi, seiring dengan prayarat modal minimum sebesar Rp10 miliar.

“Mungkin holding company (UMKM) itu perlu dipikirkan dengan serius untuk menggarap tambang. Holding company itu kumpulan dari UMKM-UMKM yang punya modal sedikit, terbatas, tapi diberikan kemampuan untuk menjadi pemegang saham atas holding untuk bidang tambang ini,” jelasnya.

Holding UMKM

Pembentukan holding UMKM ini pun diaminkan oleh pakar energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi. Menurutnya, mengelola tambang sebenarnya membutuhkan modal awal sekitar Rp2 triliun untuk pembelian peralatan, pembayaran deposit, proses reklamasi, hingga pembayaran akses data dan informasi mengenai potensi pertambangan di Wilayah IUP (WIUP) kepada pemerintah.

Karena itu, tanpa adanya konsolidasi atau konsorsium UMKM maupun konsorsium koperasi, para pengusaha akar rumput tak bisa memanfaatkan konsesi tambang yang sudah diberikan.

“Nah, maka nanti dalam peraturan pelaksanaan UU Minerba ini, maka UMKM yang dapat prioritas ini bisa dilakukan dengan konsorsium UMKM atau konsorsium koperasi tadi. Saya kira, itu salah satu solusi atas ketidakmampuan UMKM dan koperasi dalam menyediakan dana tadi,” ujar Fahmy, kepada Tirto, Rabu (19/2/2025).

Jika tidak, pemerintah juga perlu mengizinkan UMKM untuk terlebih dulu bekerja sama dengan penambang yang sudah eksis. Namun, dalam hal ini, perlu digaris bawahi bahwa dalam pengelolaan tambang di WIUP yang sama dengan usaha besar, UMKM perlu terlibat aktif, tidak sekadar menjadi tim penyemangat.

Sehingga, ketika dalam jangka waktu tertentu modal yang dimiliki UMKM tersebut telah memenuhi prasyarat yang diajukan pemerintah, UMKM tersebut dapat mengelola tambang secara mandiri.

“Ini juga bisa, seperti yang direncanakan Bahlil [Menteri ESDM], tambang untuk ormas. Itu kan nanti akan dicarikan kontraktor. Cuma yang perlu dicermati adalah bargaining position-nya kontraktor itu pasti kan jauh lebih besar. Karena, dia memiliki peralatan, punya tenaga kerja ahli, punya pengalaman. Nah, barang kali bagi hasilnya itu akan lebih besar pada kontraktor dan ini merugikan UMKM.” jelas Fahmy.

Sementara itu, menurut pengajar dan peneliti dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, Yayan Satyakti, dengan prasyarat modal minimum Rp10 miliar yang diajukan pemerintah, WIUP yang dikelola oleh oleh UMKM bisa jadi berskala sangat kecil dan merupakan jenis tambang yang mungkin kurang produktif.

Selain itu, dengan modal hanya Rp10 miliar, dikhawatirkan pula proses pengelolaan tambang tidak akan memenuhi pedoman tata kelola pertambangan yang baik (good mining practices).

“Malahan akan meningkatkan risiko lingkungan dan menambah risiko keselamatan pekerja. Idealnya, UMKM tambang ini merupakan binaan langsung dari perusahaan tambang untuk menurunkan risiko produksi, keselamatan, dan lingkungan,” kata dia kepada Tirto, Rabu (19/2/2025).

Bagaimana tidak, untuk memenuhi tata kelola pertambangan yang baik, penambang yang dalam hal ini adalah UMKM dan koperasi harus mampu mengatasi isu-isu krusial yang ada. Di antaranya terkait ekskavasi (proses tambang), K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja), dan lingkungan.

Sementara itu, untuk memenuhi aspek tersebut, setidaknya dibutuhkan pembiayaan (capital expenditure/capex) yang meliputi capex pre-feasibility (prakelayakan) dan feasibility (kelayakan).

“Ini harus mencakup initial capital [capex awal produksi], sustaining capital [capex selama produksi hingga masa periode proyek tambang berakhir], serta closure decommissioning [biaya reklamasi dan restorasi lingkungan]. Untuk mencapai ini perusahaan tambang memiliki capex dan opex yang tidak sedikit. Minimal Rp3 triliun,” jelas Yayan.

Jika merujuk pada kasus di Amerika Latin, seperti Argentina yang mengembangkan Sistem Tambang UMKM, Capex minimal untuk jenis penambangan terbuka (open-cast mining) yang harus disediakan perusahaan bisa mencapai US$200-350 juta atau sekitar Rp3,24-5,67 triliun.

Namun, pendapatan kotor yang bisa didapatkan pun cukup besar, mencapai 10-19 persen dari total Capex yang disediakan.

“Jika manajemen risikonya tidak jalan akan meningkatkan permasalahan seperti kredit macet dan peningkatan NPL (non-performing loan) perbankan,” tutur Yayan sembari menjelaskan bahwa untuk mencukupi modal minimum Rp10 miliar, koperasi maupun UMKM pengelola tambang akan mengajukan pinjaman kepada perbankan.

Baca juga artikel terkait UU MINERBA atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - News
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi