tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah melakukan penyidikan terhadap dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) oleh mantan Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rita Widyasari. Dari hasil penyidikan KPK berhasil menyita uang Rp476 miliar dari 36 rekening, atas nama tersangka dan pihak-pihak terkait lainnya.
“Penyitaan dilakukan karena diduga uang yang tersimpan dalam rekening tersebut diperoleh dari hasil tindak pidana terkait dengan perkara di atas,” ucap Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika, dalam keterangan tertulis Selasa (14/2/2025).
Rita sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka pada kasus gratifikasi terkait pemberian izin lokasi untuk keperluan inti dan plasma perkebunan kelapa sawit di Desa Kupang Baru, Kecamatan Muara Kaman kepada PT SGP (Sawit Golden Prima) pada 2017. Ia terbukti menerima gratifikasi sebesar Rp110,7 miliar dan suap Rp6 miliar atas permohonan izin sawit dan dari rekanan proyek.
Rita ditetapkan sebagai tersangka bersama dua orang lainnya, yaitu Komisaris PT Media Bangun Bersama (MBB) Khairudin, dan Hari Susanto Gun selaku Direktur Utama PT SGP. Majelis hakim kemudian menjatuhkan vonis hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp600 juta kepada Rita karena dinilai terbukti menerima gratifikasi dan suap.
Rita melanggar Pasal 12 huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Saat ini, KPK kembali mendalami penyidikan Rita dalam kasus dugaan TPPU. Dugaan pencucian uang ini merupakan bagian dari pengembangan perkara gratifikasi yang menyeret Rita sebelumnya. Kasus in pun kemudian menyeret Ketua Umum Ormas Pemuda Pancasila (PP), Japto Soerjosoemarno, dan elite Partai Nasdem, Ahmad Ali.
Tessa mengatakan, dari hasil pengembangan KPK berhasil menyita sejumlah barang bukti kasus TPPU. Dari rumah Ahmad Ali, yang digeledah pada Selasa (4/2/2025) pukul 10.00 hingga 16.00 WIB, penyidik menyita uang dalam bentuk rupiah dan valas senilai Rp3,49 miliar, sejumlah dokumen, barang bukti elektronik, tas dan jam tangan mewah.
Usai melakukan penggeledahan di rumah Ahmad Ali, penyidik lalu menggeledah rumah Japto, yang berlokasi di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Di sana, penyidik menyita 11 unit mobil, uang dalam bentuk rupiah dan valas senilai Rp56 miliar, sejumlah dokumen, dan barang bukti elektronik.
11 unit mobil yang disita tersebut, diantaranya bermerek Jeep Gladiator Rubicon, Landrover Defender, Toyota Land Cruiser, mercedez Benz, Toyota Hilux, Mitsubishi Coldis, dan Suzuki.
Penyidik melakukan penggeledahan terhadap rumah kedua orang tersebut, lantaran perlu adanya tindakan penyidikan untuk mencari alat bukti tambahan guna memenuhi unsur perkara dan dalam rangka pemulihan aset. Pihaknya juga membuka peluang untuk memanggil dan memeriksa Ahmad Ali dan Japto untuk dimintai keterangan terkait sejumlah barang yang telah disita oleh penyidik tersebut.
“Untuk pertanyaan kapan dilakukan pemeriksaan itu tentu kewenangan penyidik bahwa seyogyanya alat bukti tersebut, perlu dikonfirmasi, bak itu keterkaitan maupun hal-hal lain kepada pihak-pihak yang mengetahui tentang alat bukti yang sudah dilakukan penyitaan,” pungkasnya.
Keterlibatan Ahmad Ali dan Japto di Kasus Rita
Dalam konferensi pers di Gedung KPK Merah Putih, Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan perkara ini diawali dari pemberian izin terhadap pertambangan batu bara oleh Rita. Pada setiap izin pertambangan yang diberikan oleh Rita, dia akan mendapatkan 3,6 hingga 5 Dolar AS per metrik ton batu bara yang berhasil dieksplorasi, hingga pertambangan tersebut selesai beroperasi.
"Kita mengecek, ke mana saja sih uang tersebut mengalir. Itu yang pertama mengalir melalui PT BKS, itu ke salah satu ketua organisasi pemuda di sana, di Kalimantan Timur," tutur Asep.
Dari ketua organisasi yang tidak disebutkan identitasnya tersebut, kemudian uang tersebut mengalir ke Ahmad Ali dan Japto. "Mengalir kedua orang tersebut, disitulah keterkaitannya, makanya kita kemudian dengan menggunakan metode follow the money, kita datangi ke sana uang-uangnya," ucap Asep.
Ketua Pusat Studi Antikorupsi (SAKSI) Universitas Mulawarman, Orin Gusta Andini, mengatakan jika Ahmad Ali dan Japto benar menerima aliran dana dan mengetahui asal usul uang dari hasil tindak pidana, maka patut diduga ada keterlibatan mereka di dalam praktik korupsi itu.
“Dan itu patut diduga ya,” ujar dia kepada Tirto, Kamis (20/11/2025).
Orin mengatakan, jika melihat lebih general lagi motif atau modusnya bisa saja ini adalah balas budi. Mengingat posisi dua orang yang diduga menerima aliran ini adalah Ketua Umum PP dan salah satu anggota partai politik.
“Bisa saja bagian dari balas budi,” imbuh dia.
Terlepas dari itu, kata Orin, langkah KPK sudah tepat untuk menelusuri semua penerima aliran dana dari hasil korupsi itu. Karena apabila mengetahui dan menduga itu adalah hasil tindak pidana korupsi namun tetap menerimanya, maka itu adalah tindak pidana pencucian uang. Dalam artian mereka terlibat sebagai penerima pasif yang menerima aliran dana dari hasil korupsi.
“Saya kira langkah-langkah dilakukan untuk menyeret semua terlibat juga sudah tepat di kasus ini untuk terus dikembangkan,” jelas dia.
Kendati begitu, penting juga ke depan mendorong instrumen hukum untuk lebih memaksimalkan kinerja KPK. Termasuk mendorong instrumen hukum seperti Rancangan Undang-Undang perampasan aset. “Jadi kita tetap juga terus mendorong KPK agar tidak momentum saja agar menelusuri kasus-kasus seperti ini,” jelas dia.
Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Agus Sarwono, mengatakan, KPK sudah seharusnya mendalami dugaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang. Mengingat kasus-kasus seperti ini sudah cukup banyak, sehingga perlu ada langkah yang lebih strategis untuk mengurangi praktik korupsi, baik dalam bentuk suap, gratifikasi dan lain sebagainya.
“Kasus suap dan gratifikasi sering sekali terjadi dalam izin pembukaan hingga eksploitasi lahan,” jelas dia kepada Tirto, Kamis (20/2/2025).
Kasus serupa yang berulang menyoroti perlunya adanya upaya serius dalam strategi pencegahan korupsi, khususnya dalam pemberian izin usaha di sektor pertambangan. Isu lain yang turut dibahas adalah urgensi bagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera membahas RUU pembatasan uang kartal. Hal ini penting karena uang tunai masih sering menjadi sarana untuk melakukan suap dan gratifikasi, yang semakin memperburuk kondisi.
Dengan kasus-kasus seperti ini yang terus terjadi, langkah legislasi yang lebih mendalam dan sistematis menjadi kunci untuk mengurangi praktik korupsi di Indonesia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang