tirto.id - Kesan pasrah tampak dari keluh Aldi ketika bicara soal peluangnya kecipratan tunjungan hari raya (THR) dari pemerintah. Guru honorer salah satu SD Negeri di Kabupaten Bogor itu, pesimistis nasibnya akan lebih baik dari tahun lalu. 2023, Aldi gigit jari saat teman seprofesinya dengan status ASN dan PPPK girang bukan main ketika THR cair.
Menjadi tenaga honorer barangkali hidup dengan hal yang tak pasti. Bagi Aldi, menjadi guru honorer artinya siap menelan banyak janji. Gula-gula pemerintah bagi tenaga honorer toh kerap tinggal asap.
Padahal, kata dia, Lebaran Idulfitri tinggal hitungan pekan. Pria 27 tahun itu kemungkinan akan merayakan hari raya bersama keluarga dengan dompet kempis lagi.
“Kemungkinan hanya dapat insentif itu pun dari sekolah sepertinya,” kata pria dengan satu orang anak ini, saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (26/3/2024).
Aldi menaksir, dari pengalamannya yang sudah hampir tiga tahun bekerja sebagai guru honorer, insentif yang diberikan pun akan jauh dari gaji bulanan. Paling-paling, kata dia, sekitar Rp200 ribu dengan tambahan kue kering dan sirop khas bulan Ramadhan.
“Paling banyak Rp350 ribu, jauh banget memang dari gaji. Kalau yang bukan honorer, itu sampai satu kali gaji bisa. Tapi Alhamdulillah,” ujar dia.
Dia berujar, pekerjaan dia di sekolah pun tidak ada bedanya dengan guru yang sudah berstatus ASN atau PPPK. Bedanya cuma jaminan mendapatkan penghasilan layak dan THR keagamaan yang masih absen. Adapun gaji pokok bulanan Aldi tidak sampai tiga juta rupiah.
“Seharusnya pemerintah memikirkan. Kan katanya honorer mau dihapuskan, kalau hal kecil aja enggak bisa kebayar apa lagi gaji pokoknya. Setidaknya pemerintah memikirkan guru honorer walau sedikit,” keluh Aldi.
Aldi tak ingin berharap banyak tahun ini. Terlebih, ketika pemerintah seakan menutup pintu harapannya saat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Abdullah Azwar Anas, menegaskan tenaga honorer tidak mendapatkan THR dan gaji ke-13 tahun ini.
“Kami sampaikan honorer tidak dapat THR dan gaji ke-13,” kata Anas saat konferensi pers, di Jakarta, Jumat (15/3/2024) lalu.
Aldi heran mengapa hingga saat ini tidak ada aturan yang menjamin hak THR bagi tenaga honorer. Padahal, banyak tenaga honorer yang sudah mengabdi dalam waktu yang lama. Hanya mengandalkan insentif dari instansi tempat mereka bekerja bukan solusi perbedaan ini.
“Sekolah juga kan mungkin dananya terbatas, makannya dikasihnya uang bonus dan sembako. Kok rasanya kita kayak apa gitu? Nggak pasti terus hidup,” tegas Aldi.
Aturan pemberian THR dan gaji ke-13 yang dikeluarkan pemerintah tahun ini memang tidak menyertakan tenaga honorer sebagai salah satu penerima. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14 Tahun 2024 tentang Pemberian THR dan Gaji ke-13 Kepada Aparatur Negara, Pensiunan, Penerima Pensiunan dan Penerima Tunjangan Tahun 2024.
Dalam Pasal 2, pemerintah memberikan THR dan gaji ke-13 Tahun 2024 kepada para aparatur negara, pensiunan, penerima pensiun, dan penerima tunjangan dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara. Golongan yang termasuk aparatur negara adalah PNS dan calon PNS, PPPK, prajurit TNI, anggota Polri, dan pejabat negara.
Serupa tapi Tak Sama
Nadia baru saja menyelesaikan tugas dan mengganti pakaian kerjanya dengan setelan kasual. Memakai jaket parasut dan celana bahan yang sama-sama berwarna hitam, peluh masih menempel di dahi Nadia. Perempuan berusia 21 tahun itu merupakan tenaga harian lepas di sebuah gudang ekspedisi.
Tugas Nadia adalah menyortir paket ekspedisi. Dia tidak masuk lima hari kerja karena statusnya hanya pegawai harian. Artinya, Nadia harus bergantian dengan pegawai harian lain untuk mengisi jadwal kerja.
“Sistemnya ganti-gantian, paling banyak masuk tiga hari kerja. Kalau event bisa sih ambil empat [hari], cuma yang mau aja,” kata Nadia kepada reporter Tirto.
Dia bercerita bahwa gajinya pun dihitung perusahaan tergantung jumlah hari masuk kerja. Wajah Nadia berubah muram ketika ditanya apakah dia mendapatkan THR dari perusahaan.
“Nggak ada dong. Kerja aja kan nggak full, masa dapet THR. Paling juga dapat apa gitu gantinya, nggak mungkin THR,” ujar dia.
Nadia sebetulnya menyayangkan perusahaan tidak memberikan THR pada pegawai harian lepas. Padahal, dia bekerja sama dengan pegawai reguler meskipun hanya berbeda jumlah hari kerja.
“Capeknya sama lah. Nggak ada beda, tapi mungkin karena masuknya nggak penuh kali. Katanya sih akan dapet bonus Ramadhan, cuma itu beda sama THR yang buat pegawai tetap,” ungkap Nadia.
Ahli hukum ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada, Nabiyla Risfa Izzati, menjelaskan bahwa insentif dan THR keagamaan adalah dua hal yang berbeda. Dalam aturan hukum ketenagakerjaan yang berlaku, THR itu sifatnya wajib diberikan oleh perusahaan.
“THR itu sifatnya wajib dan dia diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan ada di Permenaker sehingga sifatnya wajib. Sedangkan kalau insentif itu bukan sesuatu yang sifatnya wajib dalam konteks ketenagakerjaan,” kata Nabiyla kepada reporter Tirto, Selasa.
Dia menyatakan, pegawai harian lepas termasuk yang berhak mendapatkan THR. Hal ini sudah ditegaskan dalam Peraturan Menaker (Permenaker) Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.
Untuk tahun ini, tata laksananya sudah termaktub dalam Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/2/HK.04/III/2024 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan 2024 bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.
THR diberikan kepada pekerja/buruh yang telah mempunyai masa tugas satu bulan secara terus menerus atau lebih, baik pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT), perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), juga pekerja/buruh harian lepas yang memenuhi persyaratan sesuai peraturan perundang-undangan.
“Jadi secara normatif pekerja harian lepas yang sudah bekerja minimal sebulan itu berhak untuk mendapatkan THR,” ujar Nabiyla.
Nabiyla menambahkan, perusahaan yang tidak membayarkan THR kepada pekerja berarti melanggar hukum. Sayangnya, praktik ini terus ada setiap tahun karena lemahnya penegakan hukum bagi perusahaan yang membandel.
“Tidak ada pengawasan langsung dan hanya ditindaklanjuti saat ada laporan. Jangankan untuk pekerja harian lepas, yang bukan harian lepas saja yang PKWT/PKWTT yang [jelas-jelas] wajib THR saja masih banyak yang tidak dibayarkan haknya,” jelas Nabiyla.
Di sisi lain, dia menilai justru tenaga honorer instansi pemerintah memiliki jaminan yang lebih lemah daripada pegawai harian lepas perusahaan swasta. Pasalnya, tenaga honorer tidak memiliki payung hukum yang menjamin mereka mendapatkan THR keagamaan.
“Sehingga nyaris mustahil instansi yang akan memberikan THR. Kalaupun ada [bentuknya] insentif, ini biasanya sifatnya kemanusiaan saja. Jadi dikumpulkan dari potongan gaji pejabat di situ terus dibagi rata,” kata Nabiyla.
Maka, jika pegawai harian lepas tidak mendapatkan THR seharusnya bisa melaporkan perusahaan agar dapat ditindak dan melunasi hak pegawai. Berbeda dengan honorer, tidak ada payung hukum yang mewajibkan instansi pemerintah memberikan THR kepada mereka.
Menurut Nabiyla, tenaga honorer dan pegawai harian lepas sudah seharusnya berhak mendapatkan THR. Karena mereka sama-sama bekerja, dan berhak atas mendapatkan perlindungan dan hak yang setara.
“Sehingga rasanya tidak adil jika ada pekerja yang tidak mendapatkan THR hanya karena hubungan kerjanya berbeda,” ungkap dia.
Perusahaan Bandel
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia, Mirah Sumirat, menilai sebagian besar pekerja harian lepas atau honorer swasta memiliki hubungan kerja secara langsung di perusahaan lewat yayasan pengerah tenaga kerja atau vendor tenaga kerja. Dengan kondisi seperti ini, maka perusahaan membayarkan THR ke vendor dan nantinya wajib memberikan kepada pegawai.
Sayangnya, masih ada perusahaan dan vendor yang bandel dalam pembayaran THR. Ada perusahaan yang hanya membayar seperempat jumlah total THR dan terdapat juga vendor yang menyunat THR para pegawai harian lepas.
“Kebanyakan si vendor itu tidak memberikan THR itu ke si pekerja itu. Kalau diberikan sedikit karena dipotong,” kata Mirah kepada reporter Tirto.
Praktik lancung ini membuat pekerja harian lepas makin sulit mendapatkan hak THR yang sesuai ketentuan. Ditambah, kata Mirah, pemerintah masih lemah dalam penegakan hukum bagi para vendor dan perusahaan yang dilaporkan pekerja telah melanggar ketentuan THR.
Dia mencontohkan salah satu laporan serikat pekerja di salah satu rumah sakit pada tahun lalu. Pihak rumah sakit hanya membayar sebagian THR para pekerja. Kendati sudah dilaporkan ke Kemnaker, pihak rumah sakit masih belum melaksanakan kewajibannya hingga saat ini.
“Pemerintah wajib melakukan pengawasan langsung sebagai tindaklanjut dari telah dibuatkannya PP beserta turunanya. Lalu tegakkan sanksi yg membuat efek jera pada perusahaan yang melanggar,” tegas Mirah.
Sementara itu, Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, berpandangan bahwa tenaga honorer pemerintah biasanya tetap mendapatkan insentif berupa bonus hari raya. Sayangnya, hal ini banyak bergantung pada kemampuan anggaran daerah masing-masing.
“Inilah yang kemudian menjadi dilema karena meskipun secara kontrak bekerja lepas ataupun honorer itu berhak mendapatkan THR, tetapi ketika di saat hari raya itu terjadi kondisi keuangan daerah tidak baik,” kata Yusuf kepada reporter Tirto.
Yusuf menilai, kondisi tersebut akhirnya membatalkan hak tenaga honorer mendapatkan bonus hari raya. Sebab, kata dia, di banyak daerah kemampuan fiskal mereka masih relatif terbatas.
“Jangankan untuk pemberian THR, untuk kegiatan operasional saja sebenarnya sudah relatif pas-pasan sehingga ini yang kemudian kerap menjadi dilema bagi pekerja honorer atau lepas yang berada pada daerah yang kapasitas fiskalnya rendah,” ujar dia.
Upaya Pemerintah
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Ida Fauziyah, kembali menegaskan pembayaran tunjangan hari raya (THR) diwajibkan untuk dibayar penuh dan tidak boleh dicicil oleh perusahaan. Hal ini sesuai ketentuan dalam Surat Edaran (SE) No M/2/HK.04/III/2024 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan Tahun 2024 bagi Pekerja/ Buruh di Perusahaan.
"Di SE kami tegaskan bahwa THR wajib dibayarkan secara penuh dan tidak boleh dicicil,” kata Ida saat rapat kerja dengan Komisi IX DPR, Selasa (26/3/2024).
Pemerintah mewajibkan THR dibayarkan paling lambat 7 hari sebelum hari raya Lebaran. Dia juga menganjurkan agar perusahaan yang mampu, bisa memberikan THR lebih awal.
Kemnaker juga sudah membuka Posko THR untuk melayani konsultasi perhitungan THR serta pengaduan. Posko ini bisa diakses tatap muka dan daring. Secara daring, masyarakat dapat mengakses laman poskothr.kemnaker.go.id atau menghubungi call center 1500-630 dan Whatsapp 08119521151.
Menaker Ida juga meminta pemerintah daerah melalui Disnaker provinsi dan kabupaten/kota turut membuka Posko THR yang terintegrasi dengan sistem poskothr.kemnaker.go.id.
Dia mengimbau masyarakat, pengusaha, dan pekerja atau buruh untuk melaporkan melalui Posko THR jika ada pelanggaran terkait pembayaran THR.
“Kalau dilaporkan itu menjadi jelas siapa yang tidak membayar THR, [dan] pengusaha yang melakukan PHK sebelum pembayaran THR, itu kami harapkan teman-teman pekerja memanfaatkan layanan posko THR,” ujarnya.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang