Menuju konten utama

Lonjakan Kasus DBD Jangan Buat Pemerintah Gagap Menanganinya

Pemerintah kerap bersembunyi di balik alasan cuaca dan iklim ketika bicara lonjakan kasus DBD.

Lonjakan Kasus DBD Jangan Buat Pemerintah Gagap Menanganinya
Petugas melakukan fogging atau pengasapan di kawasan permukiman, Depok, Jawa Barat, Sabtu (20/1/2024).ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/aww.

tirto.id - Lonjakan kasus demam berdarah dengue (DBD) terjadi di berbagai daerah Indonesia. Tiga bulan awal 2024, sudah ada ribuan kasus DBD yang tersebar di sejumlah daerah. Penyakit endemis yang sudah puluhan tahun ada di Indonesia ini, nyatanya masih menjadi ancaman serius hingga saat ini.

DBD merupakan penyakit yang dibawa vektor nyamuk aedes aegypti dan aedes albopictus. Indonesia yang beriklim tropis membuat perkembangan nyamuk pembawa DBD sangat dipengaruhi perubahan iklim dan cuaca.

Namun, dengan pola musiman yang rutin terjadi, seharusnya lonjakan kasus DBD dapat dicegah. Mitigasi pencegahan penyakit DBD sudah harus dilakukan jauh-jauh hari sebelum musim penghujan datang. Selain itu, koordinasi antarlembaga untuk pencegahan DBD, menjadi kunci penting agar kesiapan penanggulangan tidak berjalan gagap.

Pengamat kesehatan masyarakat sekaligus anggota Pengurus Besar (PB) Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Iqbal Mochtar, menilai banyak faktor yang membuat kasus DBD melonjak tajam. Hal ini bisa disebabkan oleh perubahan iklim dan lingkungan, kurangnya pengendalian vektor DBD, perilaku manusia, mobilitas penduduk, hingga ketahanan imunitas individu.

“Cuma yang menjad persoal di sini, jangan dengan banyak faktor tersebut lantas kita [pemerintah] beralasan enggak apa-apa DBD meningkat karena perubahan iklim dan sebagainya. Saya kira ini alasan yang kurang rasional untuk kita terima,” kata Iqbal kepada reporter Tirto, Selasa (26/3/2024).

Iqbal berpendapat, pemerintah kerap bersembunyi di balik alasan cuaca dan iklim ketika bicara lonjakan kasus DBD. Hal itu mengabaikan fakta bahwa belum ada upaya serius pemerintah membenahi penyakit yang konvensional alias sudah sering terjadi di Indonesia.

“Sudah lama terjadi dan mestinya ada upaya serius dan sistemik untuk mengendalikan penyakit ini. Jangan sampai dia datang tiap tahun kita bilang karena musim hujan, karena genangan, itu tidak bisa begitu,” ujar Iqbal.

Iqbal heran, penyakit DBD sudah puluhan tahun ada di Indonesia dan memiliki data peningkatan di periode-periode tertentu, namun masih sulit dicegah. Dia menyayangkan pemerintah menganggap DBD seolah penyakit yang wajar melonjak di musim-musim tertentu.

“Apalagi yang menyedihkan itu Menkes [Budi Gunadi Sadiki] langsung bilang, ‘gapapa kita kan banyak ketersediaan tempat tidur rumah sakit’. Saya kira ini bukan jalan keluar ya,” jelas Iqbal.

Sebelumnya, Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin, mengatakan lonjakan kasus DBD saat ini masih tergolong normal. Sebabnya, saat ini sedang terjadi peralihan musim yang menyebabkan DBD mudah terjadi.

“Jadi, jumlah orang yang terkena penyakit DBD naik, tapi masih dalam batas normal. Setiap kali ada pergantian musim, kan, dia naik,” kata Menkes Budi kepada wartawan di Gedung DPR RI, Senin (25/3/2024).

Menkes juga menegaskan ketersediaan tempat tidur di rumah sakit masih aman dan tersedia bagi pasien DBD.

Menurut data paparan Kementerian Kesehatan dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI, Provinsi dengan jumlah kasus DBD tertinggi per Februari 2024, meliputi Jawa Barat (10.428), Jawa Timur (3.638), Jawa Tengah (3.152), Sulawesi Utara (2.763), dan Kalimantan Tengah (2.309).

Bed-bed (tempat tidur) di rumah sakit vertikal Kemenkes RI relatifnya masih sangat oke [cukup],” ujar Budi.

Sementara itu, Iqbal Mochtar menilai menghadapi DBD harusnya diprioritaskan pada upaya pencegahan. Jika hanya sibuk mengurus penanggulangan dan penanganan, maka tidak menekan kasus DBD yang terjadi.

Iqbal menyarankan agar dijalin koordinasi antarinstansi pemerintah dalam penanganan DBD.

Selain itu, perlu ada upaya prioritas untuk menyelesaikan penyakit konvensional seperti DBD. Adapun penelitian dan inovasi harus selalu dievaluasi efektivitasnya agar tidak sekadar menuntaskan kewajiban program.

Misalnya, metode nyamuk dengan bakteri Wolbachia yang digadang-gadang bisa menekan kasus DBD. Metode ini juga sudah terbukti diakui Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam pencegahan DBD.

“Tampaknya metode Wolbachia ini belum memberikan efek signifikan. Harusnya ada penjelasan kenapa? Kenapa metode digadang-gadang menyelesaikan DBD belum signifikan, ini yang mesti ditelisik kembali,” tutur Iqbal.

Nyamuk Aedes aegypt

Nyamuk Aedes aegypti. FOTO/iStockphoto

Lonjakan DBD Tanda Pemerintah Gagap

Lonjakan kasus DBD yang terjadi saat ini juga dinilai sebagai kegagalan pemerintah dalam memitigasi penyakit endemis. Hal ini disampaikan oleh Epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman.

“Nah, kemudian jumlah korban jiwa yang tinggi, terutama jika melebihi periode yang sama di tahun 2023 atau 2022 sebelumnya, ini artinya ada kegagalan dalam upaya mitigasi penyakit,” kata Dicky kepada reporter Tirto, Selasa.

Kemenkes mencatat per 18 Maret 2024, total kasus DBD hinga minggu ke-11 tahun 2024 mencapai 35.556 kasus dengan 290 kematian.

Jumlah ini jauh lebih tinggi dibandingkan tahun lalu pada periode yang sama. Kasus demam berdarah dengue pada minggu ke-11 tahun 2023 dilaporkan sebanyak 15.886 kasus dengan 118 kematian.

Dicky berpendapat, meski polanya tidak selalu sama, tapi awal tahun sudah dipastikan kerap terjadi musim hujan. Seharusnya, datangnya musim hujan dihadapi dengan penguatan pencegahan penyakit endemik dan mitigasi Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit DBD.

“Pemerintah belum secara efektif mengimplementasikan strategi pencegahan dan penanggulangannya ini,” jelas Dicky.

Dicky setuju bahwa cuaca ekstrem dan faktor iklim memang mempengaruhi peningkatan kasus DBD.

Di sisi lain juga harus dipahami bahwa kurangnya kesadaran masyarakat atau bahkan sektor-sektor di pemerintah dalam melakukan mitigasi, perbaikan lingkungan, saluran air, dan lain sebagainya.

"Nah ini yang ditambah juga masalah sistem kesehatan,” tutur Dicky.

Associate Professor Public Health dari Monash University Indonesia, Grace Wangge, menilai perubahan cuaca yang tidak menentu membuat jumlah nyamuk sulit dikendalikan. Selain itu, kewaspadaan masyarakat disebut tidak setinggi biasanya, karena teralihkan isu-isu politik yang beredar.

“Iklan layanan masyarakat soal DBD tidak disiapkan dari awal tahun, padahal sudah ada prediksi akan ada cuaca ekstrim ini,” ujar Grace kepada reporter Tirto, Selasa.

Grace mengakui bahwa pihak Kemenkes sudah berupaya memitigasi DBD lewat teknologi Wolbachia. Namun, langkah ini juga masih terhalang banyaknya hoaks pada program Wolbachia. Lebih lanjut, Vaksin Dengue juga sudah tersedia bagi masyarakat meskipun belum masuk program vaksinasi nasional.

Dia berharap pemerintah bisa memaksimalkan program Wolbachia untuk menekan angka DBD. Ditambah, akses vaksin DBD perlu mudah diakses bagi masyarakat yang berminat.

Di sisi lain, perlu ada edukasi masyarakat di daerah yang diprediksi angka kasus DBD akan naik. Pemerintah harus bisa menginformasikan tata laksana DBD dengan baik kepada masyarakat.

“Bukan sekadar ada penjelasan di medsos ya, kan Kemenkes gencar juga tuh akhir-akhir ini. Tapi juga penjelasan yang benar, tepat dan lebih banyak soal perjalanan penyakit demam berdarah. Kemenkes aja pernah ada blunder soal informasi DBD,” tegas Grace.

Santunan bagi korban gangguan ginjal akut

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (kanan) bersama Menko PMK Muhadjir Effendy memberikan keterangan pers usai pemberian santuan kepada korban gagal ginjal akut progresif atipikal pada anak di Kantor Kemenko PMK, Jakarta, Rabu (10/1/2024). Pemerintah menyerahkan santuan kepada 312 keluarga korban gangguan ginjal akut yaitu untuk korban yang meninggal sebesar Rp50 juta per orang dan yang masih menjalani perawatan sebesar Rp60 juta per orang. ANTARA FOTO/Aloysius Lewokeda/sgd/nym.

Upaya Pemerintah

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kemenkes, Imran Pambudi, menyatakan pada Maret 2024 ini, beberapa daerah sudah menetapkan KLB kasus DBD, seperti di Enrekang, Kutai Barat, Lampung Timur dan Nagekeo.

Dia mengakui ada peningkatan kasus DBD awal tahun ini jika dibandingkan pada 2023 di periode yang sama.

“Sampai saat ini kasus DBD sudah terlapor di Kemenkes di Minggu ke-12 tahun 2024, terdapat 38.462 kasus DBD di Indonesia dengan 316 kematian,” kata Imran kepada reporter Tirto, Selasa.

Imran menyatakan, kasus DBD saat ini masih akan terus meningkat. Pasalnya, di beberapa daerah belum mencapai puncak kasus. Imran memperkirakan April-Mei 2024 akan menurun seiring dengan pola curah hujan yang makin berkurang.

Lonjakan saat ini, kata Imran, sebenarnya sudah ditandai dengan meningkatnya kasus dibeberapa wilayah pada akhir 2023. Saat itu, seiring dengan masuknya musim penghujan dan El Nino yang masih akan berlangsung sampai pertengahan 2024.

Adapun menghadapi hal tersebut, Kementerian Kesehatan sudah memberikan surat edaran nomor HK.02.02/C/222/2024 tanggal 19 Januari 2024 terkait kewaspadaan peningkatan kasus DBD kepada seluruh provinsi dan kabupaten/kota.

Selain itu, Kemenkes sudah menyusun Strategi Nasional Penanggulangan Dengue dengan 6 strategi meliputi penguatan manajemen vektor, akses mutu tata laksana, surveilans yang komprehensif, pelibatan masyarakat, komitmen pemerintah, serta pengembangan inovasi (wolbachia dan vaksin).

“Ini semua tidak bisa hanya dilakukan oleh Kemenkes tapi memerlukan dukungan dan kerja sama semua pihak,” ujar Imran.

Baca juga artikel terkait DBD atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Bayu Septianto