Menuju konten utama

Kematian Akibat DBD Melonjak, Pemerintah & Warga Harus Waspada

Menurut Masdalina Pane, sejak tahun politik tak banyak pemangku kebijakan yang perhatian pada program kesehatan, ini berkontribusi pada keadaan saat ini.

Kematian Akibat DBD Melonjak, Pemerintah & Warga Harus Waspada
Petugas melakukan pengasapan atau fogging di Duri Kepa, Jakarta Barat, Kamis (18/4/2024). ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/aww.

tirto.id - Angka kasus kematian yang disebabkan demam berdarah dengue (DBD) hingga separuh tahun 2024, hampir menyentuh jumlah total kematian akibat DBD tahun lalu.

Berdasarkan data yang dilaporkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) hingga minggu ke-23 tahun ini, kejadian DBD mencapai 131.501 dengan jumlah kematian sebanyak 799 kasus.

Data tersebut dipaparkan oleh Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kemenkes, Imran Pambudi, kepada Tirto, Jumat (21/6/2024).

“Sampai pertengahan tahun 2024 saja kematian [akibat] DBD sudah hampir menyamai total kematian DBD tahun 2023,” terang Imran.

Imran menilai, kondisi saat ini mengindikasikan bahwa risiko penularan DBD masih akan berlangsung. Tanpa dilakukan perbaikan tanggap darurat yang diikuti dengan kesadaran dan kewaspadaan masyarakat, kemungkinan jumlah kematian akibat DBD berpotensi terus melaju.

Sebagai informasi, total kasus DBD pada 2023 yang mencapai 114.720 kasus. Tahun lalu, total jumlah kematian akibat DBD mencapai 894 kasus. Maka potensi peningkatan kasus kematian DBD tahun ini bisa melebihi tahun lalu, sebab jumlah kasus DBD saat ini sudah melebihi angka total kasus pada 2023.

“Dapat melebihi tahun 2023, [karena] pada akhir tahun yaitu di bulan November-Desember diperkirakan akan mulai lagi lonjakan kasus kembali seiring mulainya musim hujan,” ujarnya.

Kemenkes menilai, berbagai faktor menjadi penyebab peningkatan kasus DBD tahun ini. Termasuk perubahan iklim yang ekstrem–dalam hal ini dampak El Nino–yang diikuti dengan masih terjadinya hujan dan tingginya kelembapan.

“Ini akan meningkatkan jumlah sarang dan perkembangan nyamuk penular dengue,” terang Imran.

Memasuki musim kemarau, Kemenkes kembali memberikan peringatan kepada masyarakat untuk mewaspadai penyebaran DBD. Imran mengingatkan, kemarau dapat meningkatkan frekuensi gigitan nyamuk. Sebab, nyamuk bakal sering menggigit ketika suhu meningkat.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi puncak kemarau akan terjadi pada bulan Juli dan Agustus 2024. Pada Juli 2024, kemarau diprediksi terjadi di sebagian Sumatra, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Kalimantan Barat, dan sebagian Kalimantan Utara.

Sedangkan pada Agustus 2024, kemarau diprediksi terjadi di sebagian Sumatra Selatan, Jawa Timur, sebagian besar pulau Kalimantan, Bali, NTB, NTT, sebagian besar pulau Sulawesi, Maluku, dan sebagian Pulau Papua.

Kemenkes turut mewanti-wanti lima kabupaten/kota dengan jumlah kasus DBD tertinggi saat ini. Yakni Bandung, Depok, Tangerang, Jakarta Barat, dan Jakarta Timur. Sedangkan kasus kematian DBD terbanyak tahun ini terjadi di Bandung, Klaten, Subang, Kendal, dan Jepara.

“Sebagai daerah tropis, sebagaimana banyak negara yang lain, kasus DBD di Indonesia termasuk yang endemis tinggi. Selain itu sekitar 80 persen bersifat asimptomatis menjadikan gejala DBD sulit didiagnosis. Hal ini seringkali luput dari pemeriksaan petugas kesehatan,” jelas Imran.

Epidemiolog dan peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional, Masdalina Pane, menyatakan tingginya kematian kasus DBD biasanya terkait dua hal utama. Pertama, terjadi akibat keterlambatan mendeteksi kasus DBD serta tidak efektifnya manajemen kasus.

KASUS DBD DI SIKKA KEMBALI BERTAMBAH

Seorang suster mengecek cairan infus salah seorang pasien yang dirawat akibat terserang demam berdarah dengue (DBD) di RSUD TC Hillers, Maumere, Kabupaten Sikka, NTT, Rabu (11/3/2020). ANTARA FOTO/Kornelis Kaha/wsj.

Lebih lanjut, kualitas layanan kesehatan yang buruk terkait dengan logistik, sumber daya manusia, dan fasilitas perawatan yang tidak memadai turut menjadi faktor kasus kematian DBD.

“Maka patut dipertanyakan target nol kematian [DBD] yang digadang-gadang menjadi target program, mengapa tahun ini tidak sesuai dengan road map yang telah ditetapkan,” jelas Masdalina kepada Tirto, Jumat.

Tingginya angka kematian akibat DBD, kata dia, harus menjadi bahan evaluasi menyeluruh pemerintah. Menurutnya, ketika indikator-indikator kesehatan makin memburuk-tidak hanya DBD, namun penyakit-penyakit lainnya–maka pemangku kebijakan sektor kesehatan yang harus diminta pertanggung jawabannya.

“Tidak sekadar menyalahkan faktor luar seperti iklim, suhu, musim atau pemerintah daerah,” tegasnya.

Masdalina memandang sejak tahun politik, tidak banyak lagi pemangku kebijakan yang perhatian pada program kesehatan. Berkurangnya anggaran untuk program kesehatan juga memberikan kontribusi terhadap keadaan saat ini.

Selain itu, komunikasi yang terjalin baik antara pemerintah pusat dan daerah menjadi upaya penting untuk penanganan DBD.

“Inti utamanya perubahan sistem kesehatan, termasuk sistem anggaran antara pemerintah pusat dan daerah pasti berkontribusi terhadap ketercapaian sektor kesehatan. Apa artinya transformasi jika kondisi bukan makin membaik tetapi makin memburuk,” ujar Masdalina.

Associate Professor Public Health dari Monash University Indonesia, Grace Wangge, setuju perubahan iklim dan cuaca memang memengaruhi peningkatan kasus DBD, namun alasan itu bukan faktor tunggal. Pasalnya ketika bicara soal kasus kematian DBD, kuncinya ada di manajemen ketika sudah terdiagnosa.

“Apakah memang ada kasus keterlambatan diagnosis sehingga sulit ditangani? Atau memang pola perjalanan penyakitnya berubah sekarang. Di beberapa kasus yang saya tahu, gejalanya tidak khas walau masih dominan demam,” kata Grace kepada Tirto, Jumat.

Menurutnya, indikasi rawat yang selama ini dilihat dari penurunan angka trombosit ternyata sudah tidak dominan lagi. Masalahnya, belum ada kajian apakah memang pola ini memicu keterlambatan diagnosis pada kasus DBD di Indonesia.

“Kita perlu kajian menyeluruh dan tidak hanya bersandar pada masalah perubahan cuaca,” tuturnya.

Grace menilai, belum ada evaluasi menyeluruh serta perbaikan strategi dalam pencegahan dan penanganan DBD yang dilakukan pemerintah. Upaya saat ini masih bertumpu pada pemberantasan vektor dan menyerahkan tanggung jawab cenderung ke masyarakat.

Padahal, vaksinasi dengue dan penyebaran nyamuk Wolbachia bisa digalakkan. Salah satu strategi DBD Kemenkes yang bisa ditingkatkan adalah revitalisasi kelompok Pokjanal DBD. Kelompok lintas sektor ini sayangnya masih berfokus pada pemberantasan vektor DBD saja lewat program pemberantasan sarang nyamuk (PSN).

“Sudah saatnya kelompok ini juga digunakan untuk kampanye vaksinasi dengue dan juga peningkatan pengetahuan soal nyamuk Wolbachia. Vaksin dan Wolbachia selalu mendapat reaksi negatif karena dianggap modifikasi genetik dan berbahaya, padahal keduanya adalah kunci,” ungkap Grace.

PENDERITA DBD DI ACEH TIMUR

Pasien Demam Berdarah Dengue (DBD) menjalani perawatan medis di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sultan Abdul Azis Syah Peureulak, Kabupaten Aceh Timur, Aceh, Rabu (11/3/2020). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/ama.

Waspada Kemarau & DBD Perkotaan

Melihat sebaran kasus DBD yang terjadi saat ini, Grace menilai perkotaan justru menjadi titik kasus-kasus yang tinggi. Hal tersebut berkaitan dengan kondisi kumuh yang mengakibatkan vektor DBD mudah berkembang biak.

“Selain menerapkan denda yang tidak masuk akal pada masyarakat seperti yang dilakukan DKI, sebenarnya pemda bisa mengevaluasi fasilitas umum, seperti sekolah, tempat ibadah dan juga bekas-bekas pembangunan yang berpotensi sebagai tempat pertumbuhan jentik,” terang Grace.

Peneliti kesehatan lingkungan dari Global Health Security Griffith University, Dicky Budiman, mengamini bahwa kasus DBD di Indonesia memang marak terjadi di kota-kota padat. Tata kelola lingkungan yang buruk ditambah padatnya penduduk menjadi faktor utama kasus DBD di perkotaan justru semakin tinggi.

“Banyak tempat-tempat yang bisa menjadi habitat nyamuk di perkotaan seperti genangan air, proyek konstruksi, bangunan-bangunan yang terbengkalai, dan tidak ada pemantauan,” ujar Dicky kepada Tirto, Jumat.

Tata kelola lingkungan di kota seperti keadaan saluran drainase dan masalah sampah harus menjadi perhatian pemerintah daerah. Mobilitas warga yang tinggi juga berpotensi memicu penyebaran DBD semakin meluas di perkotaan. Pemerintah harus mengantisipasi hal ini dan tidak angkat tangan dengan potensi DBD yang menyerang warga kota.

Di sisi lain, Dicky mengingatkan masuknya musim kemarau harus menjadi perhatian semua pihak berkaitan dengan pencegahan dan penanganan DBD. Pemerintah tidak bisa sekadar memberikan peringatan dan membiarkan masyarakat bertindak sendiri.

“Kemarau ini nyamuk Aedes aegypti dimungkinkan lebih aktif mencari sumber air bersih untuk bertelur, sehingga memperbesar kemungkinan penyebaran virus,” ujarnya.

Memasuki musim kemarau masyarakat akan menampung air untuk keperluan sehari-hari. Menurut Dicky, penampungan air yang tidak tertutup atau dikelola dengan buruk berpotensi menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk. Pemerintah perlu jemput bola mengedukasi dan mengajak seluruh pihak untuk mewaspadai peningkatan kasus DBD.

“Edukasi tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan,” tutur Dicky.

Sementara itu, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kemenkes, Imran Pambudi, memastikan pihaknya bakal melakukan enam strategi nasional penanggulangan dengue sebagai respons kenaikan kasus DBD. Strategi tersebut meliputi penguatan manajemen vektor yang efektif, aman, dan berkesinambungan.

Lebih lanjut, melakukan peningkatan akses dan mutu tata laksana dengue. Kemenkes juga melakukan penguatan surveilans dengue komprehensif serta manajemen KLB responsif.

“Peningkatan pelibatan masyarakat yang berkesinambungan. Disertai, penguatan komitmen pemerintah, kebijakan manajemen program, dan kemitraan,” ujar Imran.

Kemenkes juga berencana melakukan kajian, invensi, inovasi, serta riset sebagai dasar kebijakan dan manajemen program berbasis bukti. Imran turut meminta pemerintah daerah, dalam hal ini Dinas Kesehatan, melakukan monitoring ketat terhadap pelaporan kasus dan melaporkan kepada pimpinan agar diambil tindakan memadai dalam rangka mengantisipasi peningkatan kasus.

“Terutama bila terjadi peningkatan kasus mengarah kepada kejadian luar biasa (KLB),” kata dia.

Baca juga artikel terkait DEMAM BERDARAH DENGUE atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Irfan Teguh Pribadi