Menuju konten utama
Nilai Tukar Rupiah

Menanti Kebijakan Serius Pemerintah Atasi Pelemahan Rupiah

Josua sebut jika tidak ada intervensi serius dari pemerintah, maka pelemahan nilai tukar rupiah berpotensi pengaruhi sektor ekonomi yang impor bahan baku.

Menanti Kebijakan Serius Pemerintah Atasi Pelemahan Rupiah
Petugas menghitung mata uang Rupiah dan Dolar AS di Ayu Masagung Money Changer, Jakarta, Kamis (30/5/2024).ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/aww.

tirto.id - Pelemahan nilai tukar rupiah dalam sepekan ke belakang masih dinilai wajar. Sampai hari ini, pemerintah masih terlihat tenang dan belum ada tanda-tanda kekhawatiran coba ditunjukkan. Padahal pelemahan ini, seharusnya sudah menjadi alarm karena akan berdampak sistemik kepada sektor keuangan.

Jika dilihat tren perkembangannya, mata uang Garuda sempat ditutup Rp16.486 per dolar Amerika Serikat (AS) pada 14 Juni 2024, menjelang liburan panjang Iduladha. Libur panjang seharusnya menjadi kesempatan emas bagi pemerintah untuk intervensi kurs rupiah yang terus terdepresiasi tajam. Namun, intervensi kurs rupiah pada hari pertama Iduladha (17 Juni 2024) di pasar internasional tidak berhasil. Dolar AS masih bertahan di Rp16.486.

Keesokan harinya, Selasa (18/6/2024), intervensi kurs rupiah sempat berhasil membuat nilai tukar rupiah menguat menjadi Rp16.376 per dolar AS. Bahkan kurs rupiah sempat menguat menjadi Rp16.348 per dolar AS pada Rabu (19/6/2024), pukul 11.00 WIB. Tapi penguatan ini tidak sampai signifikan.

Rupiah kembali bertekuk lutut di hadapan dolar AS pada Kamis (20/6/2024). Kurs rupiah di Jisdor melemah 0,32 persen ke Rp16.420 per dolar AS. Sementara di pasar spot, kurs rupiah berada di Rp16.430 per dolar AS. Kurs rupiah spot melemah 0,40 persen dari posisi penutupan perdagangan sebelumnya. Nilai tukar rupiah ini ambruk ke level paling lemahnya sejak pandemic COVID-19 atau April 2020.

Sementara hingga perdagangan Jumat (21/6/2024) siang rupiah masih terpukul dolar AS. Pukul 11.44 WIB, rupiah spot ada di level Rp16.457 per dolar AS. Posisi ini melemah 0,16 persen dari sehari sebelumnya yang ada di Rp 16.430 per dolar AS.

“Bank Indonesia tidak berdaya sama sekali menghadapi kondisi moneter dan fiskal yang sangat sangat lemah ini. Bank Indonesia tidak dapat menahan laju penurunan kurs rupiah yang sangat cepat,” ujar Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, dalam analisanya kepada Tirto, Jumat.

Anthony memperkirakan potensi pelemahan kurs rupiah masih akan terus terjadi ke depan. Bahkan ia tidak memungkiri bahwa mata uang Garuda selanjutnya menuju Rp17.000 per dolar AS. “Aroma krisis ekonomi semakin terasa,” ujar dia.

Pelemahan nilai Rupiah terhadap Dolar AS

Petugas menghitung mata uang Rupiah dan Dolar AS di Ayu Masagung Money Changer, Jakarta, Kamis (30/5/2024). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/aww.

Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan, apabila tidak segera ditangani dengan berbagai kebijakan moneter maupun fiskal yang tepat, ini bisa berisiko sistemik kepada sektor keuangan. Dampaknya akan terasa baik di pasar modal, pasar surat utang, maupun ke sektor pembiayaan perbankan.

“Jadi harus dilakukan langkah yang cukup cepat,” ujar Bhima kepada Tirto.

Bhima mengatakan, jika dilihat dari kekhawatirannya adalah soal Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 yang sepertinya masih belum mengakomodir disiplin fiskal. Karena sepenglihatan Bhima, pengelolaan anggaran tidak terlalu ekspansif dari sisi belanjanya. Hal ini karena banyak yang masih menebak-nebak apakah makan siang gratis itu akan membuat defisit APBN melebar, membuat rating dari surat utang negara mengalami penurunan, atau rasio utangnya meningkat signifikan.

“Jadi ini juga harus dijawab dengan ketegasan dari pemerintah bahwa APBN di 2025 itu tidak mengakomodir kenaikan belanja yang berlebihan atau pengelolaan defisit yang benar-benar terjaga,” ujar dia.

Menurut Bhima, APBN 2025 adalah kunci paling penting sebenarnya untuk meyakinkan pelaku pasar dan sektor keuangan bahwa APBN itu dikelola memang secara disiplin.

Selain itu, kata Bhima, jika tidak diambil keputusan yang cepat untuk meredam pelemahan nilai tukar rupiah ini khawatir akan berdampak langsung kepada industri yang bergantung pada biaya bahan baku impor cukup tinggi. Dampaknya bisa berakibat kepada gelombang PHK massal terutama di sektor-sektor yang riskan terhadap fluktuasi nilai tukar rupiah.

“Karena ini rupiah juga merosotnya cukup cepat gitu ya dalam beberapa pekan terakhir dan hampir menyentuh level yang terburuk sejak pandemi Covid,” ucap Bhima.

Oleh sebab itu, menurut Bhima, pemerintah harus melakukan langkah sebelum efeknya nanti ke mana-mana. Termasuk pelebaran subsidi energi dan penyesuaian harga BBM. Kondisi ini tentu akan memicu dampak lain seperti inflasi yang memang dikhawatirkan mengganggu stabilitas ekonomi.

Senada dengan Bhima, Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, mengatakan, jika tidak ada intervensi serius dari pemerintah, maka pelemahan nilai tukar rupiah akan berpotensi mempengaruhi perusahaan atau sektor ekonomi yang mengimpor bahan baku. Mereka akan menghadapi biaya yang lebih tinggi sehingga berpotensi menurunkan margin keuntungan dari perusahaan.

Sebaliknya, kata Josua, emiten atau perusahaan yang berorientasi ekspor dapat memperoleh keuntungan karena produk mereka menjadi lebih kompetitif di pasar internasional. Pelemahan rupiah juga berpotensi mendorong imported inflation yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat inflasi nasional serta mempengaruhi daya beli konsumen dan mempengaruhi kinerja perusahaan-perusahaan yang terdaftar di bursa.

“Maka, solusi jangka pendek dari depresiasi rupiah adalah dengan BI terus melakukan intervensi di pasar valas,” ujar Josua kepada Tirto, Jumat (21/6/2024).

Sementara untuk jangka menengah, lanjut Josua, BI perlu menggalakkan lagi kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) dan terus melakukan pendalaman pasar keuangan Indonesia. Sementara jangka panjangnya, diversifikasi ekspor agar tidak dominan komoditas yang harganya cenderung berfluktuasi, diversifikasi tujuan ekspor agar tidak terlalu bergantung pada pasar beberapa negara saja.

“Selain itu, BI juga perlu diversifikasi impor agar kebutuhan input impor menurun, meningkatkan peran industri pariwisata sebagai sumber penerimaan valas, dan terus meningkatkan FDI akan ketergantungan pada ‘hot money’ atau investasi portofolio asing menurun,” pungkas dia.

Konpers Sri Mulyani KSSK Kuartal I

Sri Mulyani dalam konferensi pers KSSK Kuartal I-2024 di Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (30/1/2024). tirto.id/Faesal Mubarok

Direspons Serius oleh Jokowi?

Pelemahan nilai tukar rupiah ini pun direspons oleh Presiden Joko Widodo. Kepala Negara itu bahkan memanggil Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) ke Istana Negara, Jakarta Pusat, Kamis, (20/6/2024) guna membahas pelemahan rupiah. KSSK terdiri dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa, dan Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar.

Dalam pertemuan selama kurang lebih 1,5 jam, Sri Mulyani mengaku menjelaskan secara gamblang atas kondisi dan dinamika pasar dan perkembangan rupiah kepada Jokowi. Sri Mulyani bilang tekanan yang terjadi pada rupiah beberapa hari terakhir disebabkan oleh faktor global.

Salah satunya kuatnya perekonomian AS yang menyebabkan bank sentralnya akan sulit menurunkan suku bunga acuan Fed Fund Rate. Selain itu, ada perbedaan arah suku bunga negara-negara maju karena bank sentral Eropa kini malah menurunkan suku bunga acuannya.

Sedangkan dari sisi faktor dalam negeri, dipastikan tidak ada yang menjadi penyebab lemahnya pergerakan kurs rupiah. Hal ini dibuktikan dari baiknya angka indeks penjualan riil yang mencerminkan konsumsi masyarakat masih akan kuat, demikian juga angka Mandiri Spending Index, Indeks Keyakinan Konsumen, konsumsi semen, listrik, hingga Purchasing Manager's Index yang masih ekspansif.

Sementara itu, Gubernur BI, Perry Warjiyo, menyampaikan bahwa pelamahan yang terjadi beberapa hari terakhir banyak dipicu oleh faktor sentimen jangka pendek, bukan disebabkan faktor fundamental pembentuknya. Sebab, jika dilihat dari faktor fundamentalnya rupiah seharusnya menguat.

“Dilihat dari faktor fundamental seharusnya nilai tukar rupiah kita itu akan menguat,” ujar dia.

Perry menuturkan, faktor sentimen yang menekan rupiah saat ini di antaranya masih pusingnya pelaku pasar keuangan terhadap kemungkinan penurunan suku bunga acuan The Federal Reserve. BI sendiri memperkirakan penurunannya masih berpeluang terjadi pada tahun ini, namun hanya sekali pada akhir 2024.

Selain faktor sentimen global di dalam negeri, yang memberi pengaruh kuat ialah tingginya kebutuhan dolar di sektor korporasi pada kuartal II-2024, misalnya untuk repatriasi hingga pembayaran dividen. Namun, pada kuartal III-2024 faktor sentimen ini tidak akan menyebabkan rupiah kembali melemah karena kebutuhan dolar AS untuk itu sudah berkurang.

Kepada Jokowi, Perry mengatakan BI terus melakukan intervensi untuk mengendalikan nilai tukar rupiah. Bank Indonesia terus mengoptimalkan seluruh instrumen moneter termasuk peningkatan intervensi di pasar valas serta penguatan strategi operasi moneter pro-market melalui optimalisasi instrumen SRBI, SVBI, dan SUVBI.

Bank Indonesia, kata Perry, juga memperkuat koordinasi dengan pemerintah, perbankan, dan dunia usaha untuk mendukung implementasi instrumen penempatan valas Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) sejalan dengan PP Nomor 36 Tahun 2023.

“Kesimpulannya rupiah secara fundamental trennya, jangan tanya hari per hari loh, ini tren loh, rupiah trennya akan menguatkan karena inflasi rendah, growth bagus, faktor fundamental itu bagus. Dari hari ke hari, bulan ke bulan, minggu ke minggu faktor sentimen itu akan pengaruhi gerakannya," pungkas dia.

Baca juga artikel terkait KURS RUPIAH atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz