tirto.id - Polemik terkait rencana pemerintah memblokir platform media sosial X (dulu Twitter) masih ramai diperbincangkan dua pekan terakhir. Wacana ini timbul setelah pemerintah Indonesia lewat Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) merespons kebijakan anyar X terkait penayangan konten dewasa atau pornografi. Imbasnya, tagar #tolakblokirx sempat ramai muncul di X sebagai bentuk protes warganet terhadap wacana ini.
Kebijakan terbaru X Mei 2024 menyatakan bahwa platform itu memperbolehkan konten dewasa yang diproduksi secara suka sama suka atau konsensual. Kendati demikian, konten wajib diberi label dengan benar dan tidak ditampilkan secara mencolok.
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kemenkominfo, Semuel Abrijani, menyatakan pada pekan lalu bahwa pihaknya sudah menyurati X terkait aturan baru ini agar mematuhi regulasi yang berlaku di Indonesia terkait penayangan konten pornografi.
Kendati demikian, wacana pemerintah yang mengancam bakal memblokir platform X dinilai bertentangan dengan hak kebebasan berekspresi. Pilihan memblokir keseluruhan platform bukan langkah tepat dalam membasmi maraknya konten pornografi. Pemerintah diminta melakukan upaya yang efektif dalam menangani konten pornografi, alih-alih potong kompas dengan melakukan pemblokiran platform media sosial.
Ketua Komtap Cyber Security Awareness Asosiasi Pengusaha TIK Nasional (Aptiknas), Alfons Tanujaya, memandang pemerintah memang memiliki tugas mencegah penyebaran konten pornografi dan judi online di media sosial sesuai dengan ketentuan undang-undang. Tetapi, tugas itu harus dilakukan dengan cerdas dan tidak asal tindak tanpa menimbang evaluasi atas efektivitas langkah yang diambil.
“Contohnya pemerintah klaim sudah memblokir jutaan konten judi online, kenyataannya judi online tetap marak [di medsos] malah makin tinggi. Artinya teknik yang digunakan dan pendekatannya salah, hal seperti ini yang perlu dievaluasi,” kata Alfons kepada reporter Tirto, Rabu (19/6/2024).
Membasmi konten pornografi, kata Alfons, bukanlah tugas mudah serta memiliki tantangan tersendiri di Indonesia. Masalahnya meski terkenal dengan masyarakat religius, pemerintah Indonesia belum mampu mengatur generasi muda agar tidak mengakses konten pornografi.
“Di negara maju jika ada konten sudah di-tag konten dewasa maka otomatis kontrol sosial akan berjalan dan masyarakat di bawah umur umumnya tidak akan mengakses konten itu hal itu terbalik di Indonesia,” jelas Alfons.
Alfons memandang, mencegah maraknya konten pornografi di media sosial seharusnya bisa dilakukan juga dengan pendidikan etika dan moral. Selain itu, perlu ada pendidikan terhadap literasi digital dan finansial masyarakat agar tidak sembarangan mengakses konten di media sosial atau melanggar aturan undang-undang yang berlaku.
“Untuk jangka pendeknya mungkin dari pihak Kemenkominfo dan pihak terkait bisa melakukan penindakan yang tegas sehingga memberikan pesan yang jelas kepada masyarakat jika melakukan pelanggaran pada pornografi dan judi online,” terang Alfons.
Sementara itu, peneliti dari ELSAM, Parasurama Pamungkas, menilai langkah pemerintah membatasi penyebaran konten pornografi di media sosial dalam konteks hak asasi manusia seharusnya cuma dapat dilakukan spesifik terhadap konten. Pembatasan atau pemblokiran seharusnya bukan menyasar akses terhadap platform media sosial secara keseluruhan.
“Kalau dipaksakan justru akan berdampak buruk pada pemenuhan hak atas informasi,” ujar Parasurama kepada reporter Tirto, Rabu (19/6).
Untuk membatasi penyebaran konten pornografi di media sosial, kata dia, pemerintah harus menggunakan kewenangan pencegahan dengan konstruksi hukum yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Tak lupa langkah yang diambil harus diiringi dengan mempublikasikan penjelasan tertulis ketika menerapkan kewenangan tersebut.
“Masalahnya saat ini pembatasan konten internet sebagaimana dirumuskan Pasal 40 UU ITE yang baru, belum juga secara jelas menyebutkan jenis-jenis konten yang melanggar undang-undang dan konten berbahaya. Selain itu, undang-undang juga belum mengatur prosedur dalam melakukan pembatasan,” jelas Parasurama.
Menurutnya, UU ITE tidak secara jelas memberikan peluang melakukan pengujian terhadap tindakan pembatasan pemerintah dalam pengadilan, serta sanksi yang dibebankan juga tidak proporsional bagi platform media sosial. Tata kelola yang buruk ini bakal menyulitkan proses negosiasi antara perusahaan besar teknologi informasi dengan pemerintah sendiri dalam memastikan kepatuhan hukum yang berlaku di Indonesia.
Di tengah wacana pemblokiran platform X, warganet dikejutkan dengan kemunculan media sosial yang digadang-gadang merupakan buatan pemerintah. Platform dengan nama Elaelo ID itu, marak dinarasikan sebagai media sosial buatan pemerintah yang akan menggantikan X setelah diblokir. Pemerintah membantah tudingan bahwa mereka ada di balik kemunculan Elaelo ID. Laman media sosial yang tidak jelas asal muasalnya ini belakangan tidak lagi dapat diakses publik.
Parasurama menilai platform media sosial yang dibuat pemerintah justru membuka risiko pemantauan berlebihan terhadap aktivitas warganet. Sebab pemantauan yang dilakukan oleh negara membuka risiko lebih besar terhadap kebebasan berekspresi. Lebih lanjut, akan timbul pertanyaan mendasar soal siapa yang akan mengawasi platform tersebut ketika pengembangnya adalah pemerintah sendiri.
“Bagaimana jika terdapat pelanggaran kepatuhan di dalamnya? Apakah memungkinkan Kemenkominfo menjatuhkan sanksi pada dirinya sendiri,” kata Parasurama.
Terjebak Semangat Sensor
Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet, Hafizh Nabiyyin, menilai ancaman pemerintah yang akan memblokir platform media sosial X sebagai langkah yang sembrono. Sikap pemerintah jelas memperlihatkan semangat penyensoran yang berlebihan dilakukan oleh negara.
“Ini merupakan bagian dari internet shutdown secara parsial. Hal ini dikarenakan pemblokiran platform media sosial dapat berdampak signifikan terhadap akses informasi dan komunikasi warga negara yang memanfaatkan internet,” kata Hafizh kepada reporter Tirto, Rabu (19/6/2024).
Meskipun memiliki tujuan mencegah penyebaran konten intim non-konsensual maupun pornografi anak yang beredar di X, namun pemblokiran keseluruhan platform menyalahi asas proporsionalitas yang wajib menjadi pertimbangan negara. Dalam merespons penyebaran konten pornografi, kata Hafizh, pemerintah masih saja fokus di bagian hilir dengan melakukan pemblokiran semata.
Belum ada komitmen dan upaya serius dari pemerintah melakukan perbaikan di sektor hulu. Negara gagal melacak dan memberantas sindikat yang selama ini memperjualbelikan konten pornografi, khususnya konten intim non-konsensual di media sosial. Menurut temuan SAFEnet, ada banyak sekali akun sindikat penjualan konten intim non-konsensual di media sosial Telegram.
Selain itu, koordinasi antara pemerintah dengan platform digital juga tidak selalu berjalan mulus. Masih ditemui perbedaan pandangan antara negara dengan platform digital mengenai kategori konten yang dianggap pornografi dan harus dilarang, dan mana yang diperbolehkan.
“Aparat penegak hukum yang ada juga tidak berperspektif [pada] korban penyebaran konten dewasa non-konsensual. Seperti misalnya korban melaporkan ke polisi malah dijawab ‘lah tapi itu kan cuman di grup yang isinya lu-lu doang’,” kata Hafizh.
Menurut Hafizh, Kemenkominfo bisa berkomunikasi dengan X dan meminta platform itu menyesuaikan peraturan dengan regulasi hukum yang berlaku di Indonesia terlebih dulu. Penyesuaian ini sebenarnya sudah pernah dilakukan dengan platform lain seperti Google. Maka Google merespons dengan memoderasi berbagai konten bermuatan pornografi di mesin pencarinya, sehingga tidak dapat diakses di Indonesia.
“Meminta platform untuk memperbaiki moderasi kontennya ini menjadi satu langkah yang dapat dilakukan untuk menyeimbangkan kebebasan berekspresi dengan ketaatan terhadap peraturan hukum yang ada di Indonesia,” ujar Hafizh.
Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC, Pratama Persadha, mengamini pendapat Hafizh dengan mendorong pemerintah agar kerja sama dengan X alih-alih memblokir platform secara keseluruhan. Menurutnya, pemerintah bisa meminta X untuk tidak membagikan konten yang sudah diberi label konten dewasa kepada warganet yang berada di wilayah Indonesia.
“Dengan demikian X akan tetap bisa menjalankan bisnis barunya yaitu konten dewasa berbayar, namun masyarakat Indonesia tidak terpapar kepada semakin banyaknya konten dewasa yang beredar di Indonesia,” kata dia kepada reporter Tirto, Rabu (19/6).
Pasalnya, kata dia, meskipun pemerintah memblokir platform X, saat ini sudah banyak masyarakat yang mengetahui bagaimana cara mengakses situs atau platform yang di blokir oleh pemerintah. Jika pemerintah tetap bersikeras memblokir total platform X, hal ini akan lebih merugikan karena timbulnya gejolak rasa tidak percaya masyarakat.
“Masyarakat akan merasa bahwa kebebasan berekspresi mereka telah direnggut oleh pemerintah,” ujar Pratama.
Respons Kemenkominfo
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kemenkominfo, Semuel Abrijani, menepis kabar beredar bahwa pemerintah akan membuat kebijakan memblokir platform X. Sejak awal, kata pria yang akrab disapa Semmy itu, pemerintah sudah menyurati X terkait regulasi baru mereka. Sejauh ini belum ada pelanggaran yang dilakukan X sehingga tidak ada opsi untuk memblokir platform tersebut.
“Apa kan pelanggarannya? Kalau dia tidak mengindahkan aturannya itu ya kita blokir. Tidak ada [rencana] dari awal memang kita itu mau memblokir,” kata Semmy dihubungi reporter Tirto, Rabu (19/6/2024).
Menurut Semmy, ada salah paham yang beredar di terhadap pernyataan Kemenkominfo soal memblokir X. Padahal, pemerintah hanya mengantisipasi tindakan kalau-kalau platform X tidak mengindahkan surat yang dikirim pemerintah. Namun, Semmy menilai tidak ada aturan yang dilanggar oleh X.
“Saya rasa bukan cuma X tapi semua [platform] kalau tidak merespons aturannya ya kita blokir. Kan pernyataannya ‘kalau’ [tidak mengindahkan],” ujar Semmy.
Selain itu, Semmy menegaskan platform Elaelo bukan dibuat oleh pemerintah. Pernyataan resmi pemerintah terkait munculnya isu tersebut juga sudah dirilis di laman Kemenkominfo.
“Bukan rencana menutup, jadi sekarang X itu memberlakukan [di Indonesia] nggak? Itu kan aturannya jelas [konten dewasa] di X harus izin orangnya [konsensual] dan tidak boleh ditampilkan secara terbuka. Orang-orang saja nggak ngerti,” jelas Semmy.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang