tirto.id - Ulfa sedikit menjeda nada bicaranya ketika merespons wacana kenaikan harga eceran tertinggi (HET) Minyakita. Ibu rumah tangga berusia 41 tahun itu, sedikit menghela napas sebelum meluapkan kekecewaannya. Bagi Ulfa yang notabene merupakan janda anak dua, kenaikan harga Minyakita sama dengan menambah beban keluarganya.
“Sudah lah, apa-apa [sekarang] mahal semua, jangan ditambah lagi beban,” keluh Ulfa saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (19/6/2024).
Minyak goreng selama ini telah menjadi kebutuhan utama Ulfa. Saban hari, perempuan tamatan SMP itu selalu menggunakan Minyakita untuk berjualan seperti mie, otak-otak, kentang goreng, cireng isi, dan aneka gorengan lainnya di pelataran kontrakannya. Jika Minyakita kembali dinaikan, maka otomatis menambah pengeluaran untuk membeli minyak.
“Sehari bisa 1-2 liter [konsumsi] Minyakita. Kalau naik kelewatan [pemerintah],” imbuh dia.
Ulfa mengatakan, tanpa dinaikkan saja, harga Minyakita yang dibeli di warung-warung dekat rumahnya sudah melampaui HET. Harga beli untuk satu liter Minyakita, kata dia, sudah berada di kisaran Rp15.000 sampai dengan Rp16.000 per liter. Berdasarkan pantauan Tirto, bahkan kemasan Minyakkita saat ini tidak lagi 1 liter, melainkan hanya 900 ml dengan harga sama.
“[Logikanya] harga di pasaran sudah mahal, gimana nanti naik?” imbuh dia.
Rencana kenaikan HET Minyakita ini juga dikeluhkan oleh Sartika. Warga asal Priok, Jakarta Utara itu menyebut kenaikan harga minyak kemasan ekonomis tersebut tentu akan memberatkan ibu rumah tangga, utamanya adalah kelompok dengan penghasilan ke bawah.
“Bagi yang pendapatannya tinggi sih enggak jadi masalah [kenaikan HET], tapi kita-kita orang kecil bagaimana?” ujar dia mempertanyakan saat ditanya reporter Tirto.
Karena bagi Sartika, bukan soal kenaikan besar kecilnya berapa kenaikan HET nantinya. Namun konsistensi pemerintah dalam menjaga daya beli masyarakat kelompok pendapatan menengah ke bawah perlu dipertanyakan. “Saya tidak melihat [konsistensi] itu di pemerintah,” tandas dia.
Kenaikan HET Minyakita, saat ini tidak sejalan dengan sikap pemerintah di awal-awal peluncurannya pada 6 Juli 2022. Minyak ekonomis ini awalnya diluncurkan pemerintah untuk memudahkan masyarakat membeli minyak goreng dengan harga terjangkau, tetapi kualitas masih memenuhi BPOM.
Minyakita saat itu diedarkan secara nasional di seluruh wilayah Indonesia dengan HET Rp14.000 per liter. HET minyak goreng rakyat ini diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 49 tahun 2022 tentang Tata Kelola Program Minyak Goreng Rakyat.
Pada Pasal 10 ayat (1) dan (2) Permendag 49/2022 tersebut berbunyi: (1) Pengecer wajib menjual MGR dengan harga di bawah atau sama dengan HET. HET sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar: a. Rp 14.000,00 /liter (empat belas ribu rupiah per liter) atau Rp 15.500 per kilogram untuk MGR dalam bentuk curah; dan b. Rp14.000 per liter untuk MGR dalam bentuk kemasan.
Namun semangat itu berubah. Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, justru tengah menggodok kenaikan HET minyak goreng rakyat atau Minyakita dari semula Rp14.000 per liter menjadi Rp15.500 per liter. Kenaikan HET tersebut tengah dimatangkan melalui rapat internal bersama jajarannya pada Rabu (19/6/2024).
“Iya, ini nanti kami mau rapatkan [kenaikan HET Minyakita]," kata Zulhas dalam acara Penyerahan Daging Qurban Kementerian Perdagangan di Kantor Kemendag, Jakarta, Rabu (19/6/2024).
Dalam rapat ini, Zulhas akan mengusulkan untuk menaikkan harga Minyakita Rp1.500 per liter. Menurut dia, harga tersebut memang perlu dinaikkan seiring harga bahan pokok seperti beras yang memang sudah mengalami kenaikan HET.
“Saya mau usul, kami nanti kita bicarakan dulu kalau memang sudah disepakati saya mengusulkan naiknya Rp1.500 karena sekarang di pasar juga memang beras saja dari Rp10.900 jadi Rp12.500," ucap dia.
Kenaikan HET Bukan Solusi
Pengamat pangan dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Khudori, melihat banyak variabel yang membuat harga Minyakita saat ini berada di atas HET. Mulai dari Harga Crude Palm Oil (CPO), sebagai bahan baku, nilai tukar sebagai insentif ekspor, dan pembenahan distribusi. Jika ketiganya kondusif dan baik, seharusnya harga tidak akan melampaui HET.
“Dan yang tidak kalah penting adalah respons kebijakan pemerintah. Ini harga Minyakita di pasar sudah berbilang bulan di atas HET, tapi apa respons kebijakan yang ada? hampir tidak ada,” ujar Khudori kepada Tirto, Rabu.
Dia menuturkan, jika memang bahan baku naik yang membuat struktur biaya produksi berubah, mau tidak mau HET mesti disesuaikan. Kecuali jika pemerintah menerapkan mekanisme subsidi. Misalnya selisih harga jual dan produksinya dibayarkan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
“Tapi apa benar harga bahan baku yang naik? Saya belum periksa harga CPO satu-dua bulan ini naik atau tidak,” jelas dia.
Untuk diketahui saja harga referensi (HR) komoditas minyak kelapa sawit (CPO) mengalami penurunan sebesar 11,22 persen menjadi 778,82 dolar AS per MT untuk periode Juni 2024. Sementara pada Mei 2024 HR CPO mencapai 877,28 dolar AS per MT.
Jangan-jangan, kata Khudori, bukan bahan bakunya yang naik, tapi distribusi yang panjang membuat harga tinggi. Karena masing-masing titik distribusi mengutip margin. Untuk itu, pemerintah mesti memastikan terlebih dahulu, baru kemudian diberikan solusinya.
“Kemendag juga menyebut dalam beberapa bulan ini realisasi DMO rendah. Jika ini penyebabnya, apa solusi/kebijakan yang sudah dibuat. Kan belum ada,” ujar Khudori.
Sementara itu, Periset Center of Reform on Economic (CORE), Eliza Mardian, melihat bahwa salah satu langkah pemerintah menaikkan HET tentu agar penjual eceran mendapatkan keuntungan yang memadai. Karena harga modal Minyakita saja dari pedagang besar sudah lebih dari Rp15.000 per liter.
“Sebetulnya yang perlu ditelusuri apa yang menyebabkan harga di level pedagang besar sudah Rp15.000,” ujar dia kepada Tirto.
Eliza mengatakan memang ada beberapa komponen pembentukan Harga Pokok Penjualan (HPP) Minyakita seperti harga CPO, biaya pengolahan, pengemasan dan distribusi. Jika dibedah, penyebab kenaikan HET Minyakita, menurutnya lebih banyak disebabkan karena distribusi, bukan diproduksi.
“Karena harga CPO dunia pun trennya turun dalam dua bulan terakhir. Harga CPO dalam negeri pun tidak ada kenaikan. Artinya dari segi bahan baku tidak ada kenaikan,” ujar dia.
“Yang menjadi soal ini adalah biaya distribusi. Kita lihat yang menyalurkan Minyakita ini bukan BUMN pangan, tapi bisa oleh swasta. Jika pun oleh BUMN pangan proporsinya sedikit,” ujar dia.
Menurut Eliza, jika didistribusikan oleh swasta ini sulit ditelusuri keberadaannya. Asimetris informasi ini yang kemudian menyebabkan harga di konsumen tidak mencerminkan supply sesungguhnya.
Maka semestinya, kata dia, Minyakita yang merupakan produk kebijakan Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag disalurkan oleh BUMN pangan. Dengan demikian, kata Eliza, biaya distribusi dapat ditekan dan ketersediaannya dapat ditelusuri sehingga harga di konsumen sesuai dengan kondisi riil-nya.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Isy Karim, sebelumnya menjelaskan kenaikan HET ini tidak diusulkan Kemendag tanpa pertimbangan. Kenaikan sebesar Rp1.500 telah mempertimbangkan beberapa komponen pembentuk harga minyak, seperti harga CPO atau minyak sawit mentah serta bahan bakar dan juga daya beli masyarakat.
“Itu dari komponen pembentuk harga apa saja, jadi enggak bisa semata-mana melihat apple to apple CPO (Crude Palm Oil) dalam negeri," kata Isy.
Selain itu, kenaikan HET ini juga didasarkan pada harga pokok produksi (HPP) produsen. Dengan demikian, kenaikan HET diharapkan masih tetap bisa memberikan keuntungan yang wajar kepada para penjual.
Meski begitu, Isy mengakui, salah satu komponen pembentuk harga Minyakita yang paling dominan memanglah harga CPO. Di pasar domestik, kini CPO dihargai senilai Rp12.200 – Rp12.400 per kilogram, lebih rendah dari harga di tahun 2022 yang sebesar Rp12.800
“Memang harga CPO sekarang ini lebih rendah, tapi harga CPO pada 2022 tertolong dengan tingginya harga CPO di luar negeri. Saat ini harga CPO di pasar ekspor sudah rendah,” pungkas dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz