tirto.id - DPR RI belakangan rajin melakukan inspeksi mendadak (sidak) merespons persoalan yang menggegerkan masyarakat. Sekilas, DPR RI memang tampak menjalankan fungsi pengawasan legislatif terhadap kinerja pemerintah. Namun, semakin sering sidak dilakukan, justru semakin tampak ketidakjelasan arahnya.
Teranyar, DPR RI melancarkan sidak di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Selasa (18/3/2025). Sidak itu digelar ketika terjadi penurunan drastis Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Saat itu, BEI sempat menghentikan perdagangan saham atau trading halt usai IHSG ambrol hingga 5,02 persen ke level 5.146. Saat kegaduhan itu berlangsung, Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, dan Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, langsung meluncur ke BEI untuk melakukan sidak.
Misbakhun mengatakan bahwa kunjungan DPR itu merupakan upaya untuk membangun kepercayaan pasar. DPR pun menyatakan mendukung regulasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta BEI dalam mengatasi jebloknya IHSG. Kehadiran DPR disebut Misbakhun sebagai bentuk back-up alias kehadiran negara di pasar modal.
Sementara itu, menurut Dasco, itu bukan kali pertama IHSG anjlok. Situasi serupa pernah terjadi pada saat Pandemi COVID-19. Oleh karena itu, Dasco mengimbau pelaku pasar untuk tetap tenang.
Dia juga menegaskan bahwa DPR siap mendukung segala langkah yang diperlukan untuk memulihkan kondisi pasar modal.
“Kunjungan untuk support dan meyakinkan kepada pasar tetap tenang. Bahwa kemudian kami [DPR] akan mendukung pemerintah untuk hadir dan mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu,” kata Dasco di BEI, Senayan, Jakarta.
Aksi sidak DPR ke BEI itulantas menimbulkan banyak tanda tanya publik. Alih-alih mendorong perbaikan atau mendiskusikan permasalahan, publik menilai sidak itu justru berpotensi membuat kegaduhan semakin besar.
Lagi pula, dinamika pasar modal tidak bisa begitu saja berubah lantaran kehadiran anggota DPR di BEI. Pasalnya, bursa saham bergerak berdasarkan kepercayaan investor dan faktor ekonomi global. Jadi, kedatangan anggota DPR tak bisa serat-merta memperbaiki kinerja IHSG.
Polanya pun jadi terlalu jelas: DPR melakukan sidak bukan untuk mencari solusi jangka panjang, tetapi lebih seperti memanfaatkan momentum sosial-politik.
Sidak Sana, Sidak Sini
Peneliti senior dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, berpendapat bahwa sidak yang dilakukan DPR ke sejumlah tempat untuk merespons persoalan publik lebih terlihat sebagai gimik semata.
Dengan terlihat bergerak cepat mendatangi tempat yang sedang disorot publik, DPR seakan bertindak responsif, peduli pada persoalan, dan dekat dengan rakyat. Namun, DPR semestinya melakukan upaya yang lebih mendalam daripada sekadar sidak.
“Padahal, yang seharusnya jadi tugas DPR RI itu memikirkan persoalan ke arah yang lebih substantif,” kata Lucius kepada wartawan Tirto, Rabu (19/3/2025).
Dalam konteks ambruknya IHSG, Lucius mengatakan bahwa DPR mestinya berkoordinasi dengan pemerintah untuk mencari tahu penyebab sekaligus solusi atas peristiwa tersebut. Mendatangi kantor BEI, menurut Lucius, justru menunjukan ketidakjelasan tujuan DPR melakukan sidak.
Sidak juga dinilai bukan terma yang cocok untuk DPR dalam konteks melaksanakan fungsi pengawasan. Di DPR, memang terdapat mekanisme kunjungan kerja, tetapi biasanya hal itu dilakukan oleh komisi secara terencana.
Oleh karena itu, Lucius menilai sidak yang belakangan dilakukan DPR justru lebih seperti aksi show-off atau pamer belaka.
“Bahkan kecenderungannya bukan show-off mewakili lembaga, tapi lebih pada pertunjukan figur-figur tertentu saja,” sambung Lucius.
DPR memang sudah beberapa kali melakukan sidak belakangan ini. Selain di BEI, DPR tercatat melakukan sidak di Kantor PT Produksi Film Negara (PFN) pada Jumat (14/3/2025) pekan lalu. Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, beserta jajaran Komisi VI DPR RI saat itu sepakat mendukung industri film dalam negeri.
Dasco mengatakan bahwa DPR akan meminta kepada pemerintah untuk membantu memajukan industri film Indonesia.
Lalu, pada awal pekan ini (17/3/2025), DPR melakukan sidak ke Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat. Dasco lagi-lagi hadir, kali ini bersama jajaran Komisi VI. Mereka melakukan sidak terkait penyelenggaraan angkutan mudik Idulfitri 2025.
Dasco menyatakan bahwa pelayanan PT Kereta Api Indonesia (KAI) saat ini tidak kalah dengan moda transportasi kereta api lainnya di luar negeri. Dia pun meminta PT KAI untuk terus meningkatkan mutu pelayanannya.
Dasco dan anggota Komisi VI juga sempat mengunjungi Pasar Kramat Jati, Jakarta, pada Jumat (14/3/2025). Sidak itu dilaksanakan dalam rangka mengecek produk Minyakita di pasar. Sidak itu dilakukan merespons temuan produk Minyakita yang takarannya tak sesuai standar.
Dari sidak yang dilakukan pada tiga kios, Dasco menyampaikan bahwa Minyakita yang beredar di Pasar Kramat Jati berasal dari dua produsen yang berbeda. Menurutnya, produk-produk yang dicek sudah sesuai dengan takaran.
Namun, DPR menemukan produk minyak goreng dari merek lain yang takarannya tak standar.
DPR, kata Dasco, akan melaporkan temuan itu ke Kementerian Perdagangan. Dia turut meminta Kemendag dan Satuan Tugas Pangan aktif memonitor kondisi produk Minyakita di seluruh daerah di Indonesia.
“Supaya harga tetap bisa stabil dan tidak ada pengurangan volume,” kata Dasco.
Lucius menilai bahwa kerajinan DPR melakukan sidak belakangan ini menjadi semakin bermasalah sebab mereka tidak menunjukkan wajahnya sebagai wakil rakyat, melainkan cenderung berwajah pemerintah. DPR tidak datang mencari solusi atas persoalan yang terjadi di masyarakat, tapi mengafirmasi kebijakan pemerintah yang kerap menimbulkan persoalan.
“Sebagai legislatif, peran DPR itu menjadi penyeimbang bagi pemerintah, bukan malah jadi jubir pemerintah. Proses pengambilan keputusan harus didasarkan prinsip kolektif-kolegial,” terang Lucius.
Fungsi Pengawasan Harus Jelas
Pengajar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Herdiansyah Hamzah, menilai bahwa aktivitas sidak DPR sebetulnya dimaksudkan menjadi bagian pengawasan dari lembaga legislatif. Sayangnya, sidak yang gencar dilakukan jajaran DPR belakangan ini justru tidak disertai dengan tujuan yang jelas.
Agenda sidak yang sudah dilakukan pun, menurut dia, belum mewakili kepentingan masyarakat.
Terlebih, tidak ada tindak lanjut yang dilakukan DPR usai melakukan sidak. Hasil sidak pun tidak menjadi bahan diskusi dan perbaikan. Alhasil, di mata Herdiansyah, sidak DPR sekadar ajang gagah-gagahan bagi anggota dewan.
“Kenapa bukan sidak proyek-proyek strategis nasional yang menghajar ruang hidup warga, mengambil alih tanah warga, menggusur warga dari tempat mereka berpijak. Kenapa bukan itu yang disidak. Itu kan lebih relevan,” ucap Herdiansyah kepada wartawan Tirto, Rabu.
Sebagai lembaga legislatif, DPR memang memiliki hak melakukan pengawasan. Pasal 20AAyat 1 UUD 1945 menegaskan bahwa DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Ketentuan itu lalu dijabarkan lebih detail dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Pasal 69 dan 72 UU MD3 mengatur bahwa fungsi pengawasan DPR dilakukan dengan meminta keterangan dari pemerintah atau membentuk panitia penyelidikan.
Tak ada pasal dalam UU MD3 yang menyebut metode sidak sebagai alat pengawasan resmi DPR. Mekanisme pengawasan yang sah dilakukan lewat rapat kerja, rapat dengar pendapat, atau hak interpelasi dan angket jika masalahnya dinilai terlampau besar.
Peneliti dari Indonesian Parliamentary Center (IPC), Arif Adiputro, menilai DPR memang tak memiliki kewenangan untuk menyidak. Pada peraturan tata tertib, anggota DPR hanya bisa melakukan kunjungan kerja spesifik.
Oleh karena itu, Arif bisa memahami kekhawatiran publik soal perilaku sidak DPR yang terlihat seperti aksi performatif atau gimik. Apalagi, tidak ada hasil nyata atau tindak lanjut yang jelas setelah sidak dilakukan.
Dalam konteks ini, kritik terhadap sidak menjadi masuk akal jika sidak hanya bertujuan untuk memberikan kesan bahwa DPR aktif menanggapi persoalan yang berkembang di masyarakat tanpa analisis mendalam atau solusi konkret.
Menurut Arif, DPR harus memastikan agenda kunjungan kerja spesifik dilaksanakan dengan tujuan jelas dan terukur. Kunjungan itu pun bukan hanya sekadar untuk memperoleh informasi, tetapi juga untuk mengevaluasi implementasi kebijakan dan mengidentifikasi masalah.
Setelah kunjungan spesifik, DPR sebaiknya membuat laporan atau rekomendasi yang jelas untuk pemerintah. Hanya dengan begitulah, kunjungan spesifik bisa berdampak bagi masyarakat.
“Jika sidak DPR tidak mengarah pada evaluasi dan rekomendasi kebijakan yang objektif atau hanya berfungsi mengonfirmasi pernyataan pemerintah, maka itu akan menjadi kurang efektif dalam melakukan fungsi check and balances,” tegas Arif kepada wartawan Tirto.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi