Menuju konten utama

Mendag Juga Harus Cari Solusi Atasi Badai PHK Pekerja Tekstil

Kemenko Perekonomian sebaiknya menengahi silang pendapat antara Kemendag & Kemenperin soal merosotnya produksi tekstil nasional.

Mendag Juga Harus Cari Solusi Atasi Badai PHK Pekerja Tekstil
Pekerja menjahit kain di industri tekstil rumahan C59 di Bandung, Jawa Barat, Senin (25/6/2018). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi

tirto.id - Industri tekstil di Tanah Air tengah menghadapi masa-masa sulit. Industri pengolahan yang mengubah serat menjadi benang atau kain itu, kembali diguncang badai Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK. Sampai dengan awal Juni 2024 saja, setidaknya sudah ada sebanyak 13.800 pekerja di industri tekstil terdampak.

"Sejak Januari sampai dengan awal Juni 2024, ada 13.800-an pekerja terkena PHK," ujar Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristadi, kepada Tirto, Jumat (14/6/2024).

Ristadi mengatakan PHK terjadi akibat penutupan pabrik ataupun efesiensi. Berdasarkan catatan KSPN terdapat sebanyak enam perusahaan tutup dan empat perusahaan melakukan efisiensi.

Keenam perusahaan yang tutup itu adalah PT S Dupantex, Jawa Tengah (PHK 700-an orang), PT Alenatex, Jawa Barat (PHK 700-an orang), PT Kusumahadi Santosa, Jawa Tengah (PHK 500-an orang), PT Kusumaputra Santosa, Jawa Tengah (PHK 400-an orang), PT Pamor Spinning Mills, Jawa Tengah (PHK 700-an orang), dan PT Sai Apparel, Jawa Tengah (PHK 8.000-an orang).

Sementara, empat perusahaan PHK akibat efesiensi diantaranya adalah PT Sinar Panca Jasa, Semarang (PHK 2.000-an orang), PT Birtarex, Semarang (PHK 400-an orang), PT Johartek, Magelang (PHK 300-an orang, dan PT Pulomas, Bandung (PHK 100-an orang).

“Itu [data] periode Januari sampai dengan Juni 2024," ujar dia.

Ristadi mengungkapkan, penyebab penutupan pabrik dan efisiensi yang ujungnya berdampak kepada PHK itu, utamanya karena order berkurang atau tidak ada order sama sekali. Ini terjadi baik dari sisi ekspor ataupun pasar lokal.

Sementara, khusus untuk pasar lokal karena kalah bersaing dengan barang Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) impor yang harganya lebih murah.

"Terutama dari barang tekstil impor ilegalnya,” jelas Ristadi.

Kondisi terjadi terhadap industri tekstil hari ini, tentu mencerminkan seperti keadaan pada saat masa pandemi COVID-19 lalu yang menyerang seantero negeri.

Pada masa pandemi, PHK terjadi di industri tekstil dan pakaian jadi (garmen) saat itu tidak bisa dihindarkan.

Laporan dari sejumlah asosiasi yang diterima Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyebutkan bahwa industri TPT serta alas kaki tengah mengalami kinerja yang melambat.

Akibatnya jumlah tenaga kerja yang terdampak yang dihimpun Kemenperin sampai dengan 8 November 2022 lalu mencapai 92.149. Itu terdiri dari industri tekstil dan garmen. Sementara 22.500 orang terdampak dari industri alas kaki.

Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, menilai bahwa masalah tekstil ini adalah karena persoalan daya saing produk dari Indonesia rendah.

Ini karena biaya produksi lebih mahal, kapasitas mesin produksi hanya berkisar maksimal 70 persen, bahan baku sebagian impor dan harganya mahal mahal, serta industri penghasil produk menengah yang juga jarang.

"Kemudian ditambah dengan banjir tsunami impor-impor dari regulasi pemerintah yang mendorong masuknya produk TPT lebih banyak ke indonesia dan lebih murah. Sehingga produk TPT indonesia kalah bersaing di dalam negeri," kata Esther kepada Tirto, Jumat (14/6/2024).

Mendag Zulhas Tak Mau Disalahkan

Namun, di tengah persoalan badai PHK di Industri tekstil kali ini, Menteri Perdagangan (Mendag), Zulkifli Hasan alias Zulhas, justru malah lepas tangan. Bukan justru mencari solusi untuk meminimalisir badai PHK terjadi, ia justru tidak mau Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor disalahkan.

Permendag 8 Tahun 2024 yang merupakan Perubahan ketiga dari Permendag 36 tahun 2023 ini rilis usai adanya penumpukan sekitar 26 ribu kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak. Alasan penumpukan kontainer itu, karena belum diterbitkannya Persetujuan Impor (PI) dan Pertimbangan Teknis (Pertek) dari sejumlah komoditas.

Perlu diketahui, sebelumnya Kementerian Perindustrian mengusulkan agar Pertek masuk dalam syarat impor di Permendag 36 Tahun 2023.

“Itu kalau tekstil masih, Pertek. Jadi kalau (industri) tekstil tutup, jangan salahkan Permendag 8 (Tahun 2024), belum tentu. Karena TPT itu masih ada Pertimbangan Teknis dari [Kementerian] Perindustrian, enggak dihapus,” kata Zulhas, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (13/6/2024).

Di dalam aturan itu, pemerintah memang masih mensyaratkan Pertimbangan Teknis (Pertek) untuk beberapa industri, termasuk Tekstil dan Produk Tekstil (TPT).

Selain industri TPT, Pertek juga masih disyaratkan untuk kegiatan impor di industri baja dan ban. Sedangkan syarat Pertek dihapus untuk komoditas antara lain, elektronik, alas kaki, pakaian jadi dan aksesoris pakaian jadi, tas, katup, obat tradisional dan suplemen kesehatan, serta kosmetik dan perbekalan rumah tangga.

“Kan tadi dikeluhkan teman-teman industri tekstil terancam gulung tikar, saya bilang TPT tetap ada Perteknya. Baja, industri tekstil, ban masih kan, masih (butuh Pertek). Yang dulu enggak ada, ya itu enggak ada,” tegas Zulhas.

Zulkifli Hasan di Pasar Tanah Abang

Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan saat mengunjungi Pasar Tanah Abang Blok A, Jakarta, Kamis (14/3/2024). (Tirto.id/Faesal Mubarok)

Sementara itu, Ristadi memahami bahwa dalam Permendag 8/2024 memang tekstil tetap ada Pertek-nya. Sementara alas kaki, pakaian jadi dan aksesoris pakaian telah dihapus Pertek-nya.

Namun, kata dia, Zulhas justru lupa jika tekstil (kain dan benang) itu adalah bahan baku untuk membuat pakaian jadi.

"Kalau pakaian jadinya bebas impor dan membanjiri pasar dalam negeri, maka akibatnya produsen kain dan benang dalam negeri orientasi lokal barangnya tidak ada yang beli dan produsen pakaian jadi dalam negeri juga tidak akan laku barangnya. Karema kalah harga dengan pakaian jadi impor," jelas dia.

Selain soal tersebut, ilegal impor barang TPT juga tinggi. Pemerintah selama ini, kata Ristadi, seperti tidak serius dalam memberantasnya. Apa yang dilakukan selama ini jangan-jangan justru hanya sekedar seremonial sebentar, kemudian senyap lagi.

"Dia [Mendag] tertekan oleh para importir dan mungkin ada oknum-oknum yang berkepentingan hanya meraih keuntungan tapi abaikan rasa nasionalisme yaitu utamakan produk dalam negeri agar rakyatnya yang bekerja di sektor TPT tetap bisa bekerja," jelas dia.

Jangan Lepas Tangan & Saling Menyalahkan

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, mengatakan jika menteri perdagangan lepas tangan dan merasa tidak bersalah kemudian menyalahkan pihak lain, maka ini menunjukan bahwa justru pemerintah tidak satu suara. Padahal seluruh kebijakan, semestinya saling sinergi satu sama lain antar kementerian terkait.

"Ini menunjukan justru bahwa pemerintah itu tidak satu suara. Atau tidak kompak. Satu sama lain justru saling menyalahkan. Saling defense bersama-sama dan ini solusinya harus bersama sama terintegrasi," ujar Faisal kepada Tirto, Jumat (14/6/2024).

Kementerian Perindustrian sebelumnya memang sempat membantah pihaknya menjadi penyebab 26.415 kontainer impor menumpuk di sejumlah pelabuhan. Hal ini merespons sejumlah pihak seperti dari Kementerian Perdagangan yang menyebut Pertek dari Kemenperin menyebabkan ribuan kontainer tertahan saat itu.

Karena sesuai dengan tugas dan fungsi Kementerian Perindustrian sebagai pembina industri dalam negeri, Kemenperin memang memiliki kewajiban untuk memastikan kebutuhan bahan baku industri terpenuhi sehingga penumpukan kontainer dipastikan bukan karena Pertek yang berlaku.

TARGET PERTUMBUHAN INDUSTRI TEKSTIL

Pekerja menyelesaikan pesanan jahitan pakaian muslim di De'Cantiqu Factory, Cibiru, Bandung, Jawa Barat, Senin (30/10/2017). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

Faisal menuturkan, masalah sektoral PHK di industri tekstil ini, memang tidak bisa hanya disalahkan pada satu dua aktor atau institusi dan lembaga saja. Tetapi dia kompleks dan sifatnya saling mempengaruhi di satu sektor dengan sektor lain.

"Dan dalam hal ini salah satunya adalah kebijakan di Kementerian Perdagangan," kata dia.

Dia mengatakan, penurunan daya saing daripada industri tekstil ini ada kaitannya juga dengan sektor hulunya. Mulai dari biaya produksi, bahan baku diperoleh lebih mahal, dan biaya energi, logistik, dan tenaga kerja. Sampai kemudian di sisi hilir masalah persaingan di pasar baik dalam negeri maupun luar negeri juga harus dilihat.

"Di pasar dalam negeri tentu saja kebijakan terkait dengan impor akan mempengaruhi daya saing. Dan memang pada saat sekarang ini kontrol terhadap impor produk produk tekstil itu lemah. Baik sifatnya impor ilegal maupun legal," ujar dia.

Oleh karena itu, lanjut Faisal, untuk mengatasi persoalan ini peran Kemenko Perekonomian menjadi sangat besar di sini. Karena persoalan ini tidak dengan satu kementerian saja dalam hal ini, Kemendag.

"Akan tetapi salah satu perlu disoroti adalah bagaimana kebijakan perdagangan ini sesuai dengan upaya untuk meningkatkan daya saing industri tekstil, termasuk di dalamnya untuk mencegah PHK," jelas dia.

Terkait dengan para pekerja yang terdampak PHK, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Kerja dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan, Indah Anggoro Putri, menyebut semuanya masih dalam proses mediasi oleh Dinas Tenaga Kerja setempat.

Posisi pihaknya terus memantau dan secara berkala menanyakan update bagaimana progressnya.

"Tentu Kemnaker berharap agar keputusan PHK tersebut sudah melalui proses komunikasi yang baik dan transparan yang disampaikan oleh pengusaha kepada para pekerja. Dan selanjutnya disepakati hak-hak yang dapat diberikan kepada para korban PHK," pungkas dia.

Baca juga artikel terkait INDUSTRI TEKSTIL atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Bayu Septianto