Menuju konten utama

KSPN Sebut 13.800 Pekerja di Industri Tekstil Terdampak PHK

Beberapa perusahaan tekstil belum ada kejelasan terkait pemberian pesangon.

KSPN Sebut 13.800 Pekerja di Industri Tekstil Terdampak PHK
Sejumlah pekerja meyelesaikan pembuatan pakaian di pabrik garmen PT Citra Abadi Sejati, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (8/9). ANTARAFOTO/Yulius Satria Wijaya.

tirto.id - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristadi, mengungkapkan sebanyak 13.800 pekerja terdampak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada sejumlah perusahaan yang bergerak di industri tekstil.

Dia merinci, terdapat 10 perusahaan yang telah melakukan PHK massal, yakni enam perusahaan karena penutupan pabrik, dan empat perusahaan karena efisiensi jumlah pekerja.

Secara kumulatif, setidaknya sekitar 13.800 pekerja terkena pemutusan kerja. Namun, Ristadi menjelaskan jumlah tersebut mungkin lebih sedikit daripada kondisi di lapangan, meningat beberapa perusahaan memiliki masalah keterbukaan informasi.

"Kami sudah minta izin untuk boleh diekspos itu ya, itu yang tutup sejak Januari sampai awal Juni 2024 itu ada 6 perusahaan, yang tutup. Nah yang PHK efisiensi, yang mau diekspos ada 4 perusahaan. Total pekerja yang ter-PHK itu sekitar 13.800," ujar Ristadi saat dihubungi Tirto, Jumat (14/6/2024).

Masalah dari badai PHK juga berlanjut karena berdasarkan data yang diperoleh dari Ristadi, membeberkan dari sekian banyak pemutusan kerja yang terjadi, hanya segelintir perusahaan yang sudah mencapai tahap kesepakatan untuk memberi pesangon dengan pekerja terdampak. Beberapa perusahaan belum ada kejelasan terkait pemberian pesangon.

Secara rinci, terdata hanya perusahaan PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex dan PT Sai Apparel yang sudah memberi hak pesangon kepada karyawan.

"Nah yang belum beres sampai sekarang itu seperti di PT Alenatex, Bandung, kemudian grup Kusuma di Karanganyar, kemudian PT Dupantex di Jawa Tengah belum selesai. Belum jelas untuk hak pesangonnya," ujarnya.

Dia menekankan, badai PHK akan terus berlanjut selama pemerintah masih melonggarkan importasi barang tekstil dan produk tekstil (TPT) tidak dibatasi dan impor ilegal masih merajalela, maka pabrik produsen TPT dalam negeri akan kalah saing.

"Dampaknya tidak akan produksi, lalu efesien dan kalau enggak kuat tutup produksi total alias tutup pabrik, PHK akan terus terjadi sampai pabrik-pabrik TPT habis baru berhenti PHK," ungkap Ristadi.

Ristadi menekankan seharusnya pemerintah mulai membatasi arus importasi barang-barang TPT dan berantas impor ilegal barang TPT. Kemudian, pemerintah diharapkan mampu menyulurkan tangan untuk membantu modernisasi industri di Indonesia.

"Yang diimpor bahan baku saja yang belum ada di Indonesia. Bantu modernisasi mesin industri TPT," kata dia.

Sementara itu, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan alias Zulhas tidak mau Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor disalahkan atas besarnya gelombang PHK di industri tekstil.

Sebab, di dalam aturan itu, pemerintah masih mensyaratkan Pertimbangan Teknis (Pertek) untuk beberapa industri, termasuk TPT.

“Itu kalau tekstil masih, Pertek, Pak. Jadi kalau (industri) tekstil tutup, jangan salahkan Permendag 8 (Tahun 2024), belum tentu. Karena TPT itu masih ada Pertimbangan Teknis dari perindustrian, nggak dihapus,” kata Zulhas, di Komplek Parlemen, Jakarta, Kamis (13/6/2024).

Selain industri TPT, Pertek juga masih disyaratkan untuk kegiatan impor di industri baja dan ban. Sedangkan syarat Pertek dihapus untuk komoditas antara lain, elektronik, alas kaki, pakaian jadi dan aksesoris pakaian jadi, tas, katup, obat tradisional dan suplemen kesehatan, serta kosmetik dan perbekalan rumah tangga.

Baca juga artikel terkait PHK atau tulisan lainnya dari Faesal Mubarok

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Faesal Mubarok
Penulis: Faesal Mubarok
Editor: Bayu Septianto