Menuju konten utama

AI Bagai Pisau Bermata Dua: Memudahkan Pekerja dan Ancaman PHK

Bhima menilai kecerdasan buatan digunakan untuk software engineering juga mengancam praktik kerja jurnalis atau media massa.

AI Bagai Pisau Bermata Dua: Memudahkan Pekerja dan Ancaman PHK
Ilustrasi Robot mengepalkan tangan dengan manusia. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Kehadiran dan perkembangan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) bagaikan dua sisi mata pisau. Harus diakui, kehadiran AI mendukung kemudahan dalam bekerja.

Tapi sebaliknya, beberapa tahun terakhir banyak perusahaan besar justru merencanakan pengurangan pegawai sebagai salah satu dampak dari adopsi AI. Menurut survei diterbitkan oleh perusahaan AS Challenger Gray, kemunculan AI memberi ancaman nyata terhadap pekerjaan kantoran.

Karyawan di berbagai bidang, seperti programmer, manajemen perusahaan, pengacara, akuntan, profesional keuangan dan asuransi, hingga konsultan menghadapi risiko perpindahan pekerjaan akibat otomatisasi.

Laporan tersebut juga menyoroti perusahaan-perusahaan AS melakukan PHK terhadap 82.307 orang pada Januari 2024. Posisi ini bahkan meningkat sebesar 136 persen dibandingkan Desember 2023.

Ilustrasi Kecerdasan Buatan

Ilustrasi kecerdasan buatan. REUTERS/Fabrizio Bensch

Sementara di Indonesia, kehadiran AI diperkirakan juga akan menghilangkan 80 juta lapangan pekerjaan di samping terdapat juga beberapa jenis pekerjaan baru dibutuhkan.

“Dengan perkembangan teknologi yang semakin cepat ke depan, ada sekitar 80 juta lapangan kerja yang akan hilang. Sementara akan ada penambahan 67 pekerjaan yang diperlukan,” kata Plh. Deputi IV Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Musdhalifah Machmud, dalam Media Briefing: Perkembangan Kebijakan Ekonomi Digital, Ketenagakerjaan dan UMKM, di Jakarta, Rabu (12/6/2024).

Asisten Deputi Peningkatan Produktivitas Tenaga Kerja Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Chairul Saleh, mengatakan, tidak ada yang bisa memastikan 80 juta lapangan pekerjaan itu akan hilang. Sebab, teknologi saat ini berkembang dengan sangat pesat bahkan industri-industri yang bergerak di bidang teknologi juga belum mampu menyerap masifnya perkembangan AI.

Saat ini, Chairul menuturkan terdapat beberapa pekerjaan sudah tergeser oleh keberadaan AI. Diantaranya adalah pekerjaan-pekerjaan di industri keuangan seperti teller di perbankan yang saat ini sudah banyak digantikan oleh mesin-mesin ATM, kasir di toko yang sudah digantikan oleh dompet digital seiring masifnya budaya cashless, hingga sopir atau driver yang nantinya akan hilang dengan mulai munculnya mobil autopilot.

“Yang jelas, pertama pekerja yang sifatnya rutin dan berulang gitu. Terus kemudian (pekerjaan) yang sifatnya administratif. Itu pasti semua akan tergantikan. Karena semua sudah bisa terbaca oleh algoritma,” jelas Chairul.

Sektor Jasa Paling Terdampak

Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menambahkan kehadiran AI ini mungkin akan menghilangkan banyak pekerjaan yang sifatnya adalah jasa. Jadi bukan pekerjaan sifatnya manufaktur atau industri pengolahan yang notabene adalah membuat barang.

“Ketika AI sudah mengganti untuk beberapa jasa marketing, pemasaran, bahkan influencer, selebgram, sosial media sudah mulai bergeser digantikan oleh AI dengan biaya jauh lebih murah,” ujar Bhima kepada Tirto, Kamis (13/6/2024).

Bhima menilai kecerdasan buatan digunakan untuk software engineering ini juga mengancam praktik kerja jurnalis atau media massa. Karena dengan sistem otomatisasi ini, AI bisa menulis berita dengan baik selaiknya seorang jurnalis.

“Jadi memang terjadi di banyak sektor jasa media, media massa misalnya sudah banyak digantikan oleh AI. Sudah banyak sektor sekarang menjadi primadona karena bisa jadi efisiensi tenaga kerja,” ujar Bhima.

Robot pembaca berita

Robot pembaca berita. screenshot youtube/china tv

Tetapi, Bhima menuturkan, para pekerja yang akan bisa berdaya saing ke depannya adalah mereka mampu memanfaatkan AI. Seperti dosen di kampus yang bisa manfaatkan AI untuk memperdalam temuan hasil studinya dan membantu pengajaran serta membuat bahan kuliah lebih mudah dicerna.

“Jadi dosen bisa memanfaatkan AI dia akan menjadi dosen yang terus relevan. Pekerja yang bisa memanfaatkan AI relevan,” kata Bhima.

Bhima menuturkan, tantangan AI hari ini adalah bagi para pekerja yang berada di sektor jasa atau yang sebagian besar mereka bekerja secara informal. Karena, sejatinya mereka tidak mendapatkan perlindungan, baik dari sisi jaminan sosial, kesehatan pension.

“Ini adalah jenis pekerjaan yang paling rentan. Meskipun juga ada juga sektor jasa mendapatkan pendapatan tinggi, tapi bagi mereka rentan terhadap AI,” kata Bhima.

Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah?

Bhima mengatakan, untuk meminimalisir dampak dari AI pemerintah harus memikirkan untuk modifikasi pekerja jasa atau freelance masuk dalam ekosistem digital. Selain itu, pemerintah juga harus mempertimbangkan adanya modifikasi dari BPJS Ketenagakerjaan dan jaminan hari tua lebih kompleks diberikan kepada para pekerja informal kita.

Lebih lanjut, Bhima menilai memasukan pekerja informal ke dalam BPJS Ketenagakerjaan bukan perkara sulit. Apalagi sebelumya pemerintah juga tengah mengkaji aturan baru soal perlindungan dan jaminan sosial dikhususkan bagi pekerja status kemitraan.

Rancangan aturan ini, menjadi perhatian pemerintah dan akan menyasar seluruh pekerja di sektor platform digital, termasuk ojek online (ojol), kurir paket, hingga lainnya. Pemerintah juga harus mempersiapkan pekerja yang mungkin tidak bisa bersaing dengan AI dapat diserap ke BUMN seperti pegawai pemerintah, pemda atau juga dijadikan sektor industri pengolahan dan juga UMKM. Bhima menilai ini menjadi salah satu peta jalan yang harus dibentuk oleh pemerintah dalam era transisi digital termasuk AI.

“Ini bisa mempersiapkan dalam kurun waktu cepat peta jalan persiapan agar AI memberikan lebih banyak manfaat dan menciptakan lebih banyak lapangan kerja. Dibandingkan kemudian menjadi ancaman,” ungkap Bhima.

Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menambahkan dalam upaya meminimalisir dampak terhadap AI pemerintah perlu memformulasikan tahapan ingin dicapai dari proses sistem ke angkatan kerja yang sifatnya lebih digital.

Misalnya tahapan pertama pemerintah mulai harus mempersiapkan sumber daya manusia yang nanti bisa mengisi lapangan kerja yang masih tersedia meskipun proses setting itu sudah terjadi.

“Proses persiapan ini saya kira memang harus bertahap mulai dari pendidikan yang levelnya paling kecil katakanlah usia dini ataupun sekolah dasar hingga ke pendidikan yang sifatnya lebih tinggi seperti perguruan tinggi,” kata Yusuf kepada Tirto.

Ilustrasi Robot Barista

Ilustrasi Robot Barista. foto/istocphoto

Yusuf mengatakan, dalam proses tahapan persiapan tersebut, mereka nantinya dibekali oleh kemampuan yang memang akan digunakan ketika proses perpindahanpekerjaan sudah akan terjadi di beberapa tahun ke depan. Selain itu, pemerintah juga perlu memperjelas proses tahapan yang dimaksud.

Dia mencontohkan misalnya di periode waktu sampai katakanlah 10 hingga 15 tahun ke depan adalah proses persiapan sumber daya manusia sehingga adopsi AI dan juga pekerjaan yang sifatnya digital itu akan disesuaikan dengan target tersebut.

“Jadi dalam kisaran tahun tersebut dapat diketahui kira-kira berapa potensi lapangan kerja yang akan hilang sehingga ada mitigasi dini yang akan dilakukan pemerintah misalnya mempersiapkan lapangan kerja lain ataupun misalnya mempersiapkan jaminan kerja sementara selagi mereka yang terkena dampak shifting ini mencari pekerjaan lain,” ungkap Yusuf.

Sektor Industri Perlu Menerapkan Teknologi dengan Cepat

Asisten Deputi Peningkatan Produktivitas Tenaga Kerja Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Chairul Saleh, mengakui saat ini pemerintah juga telah mengubah pelan-pelan sistem pendidikan. Terutama untuk vokasi yang siswanya sudah lebih siap memasuki dunia kerja.

Karena menurutnya, kunci untuk permasalahan ini adalah bagaimana industri bisa menerapkan teknologi secara tepat sehingga dapat membantu meningkatkan produktivitas.

“Kita perlu ada kerja sama dengan industri, makanya perlu dialog konstruktif. Karena industri juga perlu keep up ya, arah evolusinya ke arah mana, dengan impact dari digitalisasi tren global segala macam untuk transformasi seperti apa,” ujar Chairul.

Selain itu, seiring dengan perkembangan AI, Chairul juga mengakui Indonesia membutuhkan regulasi yang tangkas dan adaptif. Dia menilai regulasi bisa dibuat dengan menggunakan pendekatan sandbox seperti yang saat ini diterapkan di industri teknologi finansial (fintech).

“Yang mungkin bisa hybrid atau pendekatan regulator sandbox kayak di fintech gitu. Karena kita nggak bisa, belum apa-apa udah kita larang,” kata Chairul.

Baca juga artikel terkait KECERDASAN BUATAN atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin