tirto.id - Masuknya platform e-commerce murah asal Cina, Temu, di Asia Tenggara menjadi kekhawatiran baru bagi Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki. Temu diketahui telah hadir di Filipina dan Malaysia pada akhir tahun lalu dan menandakan babak baru ekspansinya ke sejumlah negara Asia Tenggara.
Peluncuran ke Asia Tenggara terjadi setelah ekspansi Temu ke Jepang dan Korea Selatan pada tahun lalu. Platform e-commerce ini, mulai dijual ke pasar Eropa pada April dan diluncurkan di Australia dan Selandia Baru pada Maret 2023.
Perusahaan bermarkas di Boston ini, bahkan siap bersaing dengan pemain-pemain lama e-commerce di negara tersebut seperti Lazada, Shopee, dan TikTok Shop. Untuk menandai debutnya di Filipina dan Malaysia, Temu bahkan menawarkan diskon hingga 90 persen untuk pembelian berbagai produk.
"Kementerian Koperasi itu mengkhawatirkan masuknya platform global cross border yang direct, jadi kalau [Temu] ini masuk ke Indonesia akan punya dampak besar," ujar Teten usai menghadiri Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VI DPR RI, dikutip Selasa (11/6/2024).
Menurut Teten, kehadiran Temu akan memiliki dampak ke UMKM, bahkan lebih dahsyat daripada TikTok Shop. Sebab platform ini memikat pembeli dengan harga yang sangat murah karena memotong perantara dengan model bisnis dari pabrik ke konsumen. Artinya, jalur distribusi mereka tanpa memiliki affiliator dan reseller.
"Karena ini menghubungkan factory direct kepada konsumen," ucap Teten.
E-commerce tersebut diketahui sudah masuk ke 58 negara. Menurut Teten, aplikasi tersebut terhubung dengan 80 pabrik di Cina dan produknya bisa langsung diterima oleh seluruh konsumen di dunia. Hal tersebut, kata Teten, tentu saja dapat kembali mengancam pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang hanya mampu berproduksi secara kecil-kecilan. Sementara pabrikan Cina, mampu menghasilkan produk secara massal.
"Kalau TikTok masih mending lah, masih ada reseller, ada afiliator, masih membuka lapangan kerja. Kalau ini kan akan memangkas langsung, selain harganya lebih murah, juga memangkas lapangan kerja misalnya distribusi," kata Teten.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, mengatakan kekhawatiran Teten terhadap Temu sebenarnya cukup beralasan. Karena dengan memotong jalur distribusi, otomatis barang-barang dijual di platform digital tersebut punya peluang memenangkan permintaan pasar yang sekarang sudah eksis dengan beberapa produk dimiliki sejumlah produsen.
“Justru ini akan berdampak dan kenapa ini menjadi ancaman? Karena sudah terjadi di beberapa negara dan mengganggu ekosistem yang sedang dibangun oleh masing-masing negara untuk pengaturan kebijakan lebih fair dan bisa sejajarkan antara kepentingan produk nasional dan impor,” jelas dia saat dihubungi Tirto, Selasa (11/6/2024).
Masalahnya, di Indonesia sendiri, kata Tauhid, pemerintah tidak bisa mengendalikan permintaan pasar. Karena masyarakat umumnya memilih barang yang sama dengan harga lebih murah. Ini menjadi konsekuensi dari e-commerce, di mana semua barang-barang yang sama bisa dibandingkan harganya.
“Pasti itu akan diburu. Berbeda misalnya kalau barangnya berbeda tidak usah dibandingkan. Saya kira kekhawatiran pemerintah beralasan karena itu,” jelas dia.
Perketat Arus Barang di e-Commerce
Meski Kekhawatiran Teten cukup beralasan, sebagai pejabat publik semestinya hal tersebut tidak perlu ditakutkan apalagi disampaikan dimuka umum. Karena dalam hal ini, semestinya pemerintah bisa membentengi kekhawatiran tersebut melalui pengaturan atau regulasi yang ketat mengenai arus barang tersebut.
Memang semangat pemerintah dalam melindungi UMKM sebelumnya sudah terlihat ditandai dengan terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2023, yang merupakan penyempurnaan Permendag 50/2020 tentang perizinan berusaha, periklanan, pembinaan, pengawasan, dan pelaku usaha dalam perdagangan melalui sistem elektronik.
Aturan Permendag 31/2023 mengatur beberapa hal baru. Pertama yakni pendefinisian model bisnis penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik seperti loka pasar (marketplace) dan social commerce untuk mempermudah pembinaan dan pengawasan.
Kedua, penetapan harga minimum sebesar 100 dolar AS per unit untuk barang jadi asal luar negeri yang langsung dijual oleh pedagang (merchant) ke Indonesia melalui platform e-commerce lintas negara. Ketiga, disediakan positive list, yaitu daftar barang asal luar negeri yang diperbolehkan cross border langsung masuk ke Indonesia melalui platform e-commerce.
Keempat, menetapkan syarat khusus bagi pedagang luar negeri pada marketplace dalam negeri. Yaitu menyampaikan bukti legalitas usaha dari negara asal, pemenuhan standar (SNI wajib) dan halal, pencantuman label, berbahasa Indonesia pada produk asal luar negeri, dan asal pengiriman barang. Kelima, larangan marketplace dan social commerce untuk bertindak sebagai produsen.
Keenam, larangan penguasaan data oleh PPMSE dan afiliasi. Kewajiban PPMSE untuk memastikan tidak terjadi penyalahgunaan penguasaan data penggunanya untuk dimanfaatkan oleh PPMSE atau perusahaan afiliasinya.
“Kekhawatiran saya adalah masih bolongnya aturan mengenai e-commerce terutama terkait dengan importasi barang konsumsi baik langsung lewat e-commerce maupun tidak,” ujar Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, kepada Tirto, Selasa (11/6/2024).
Dalam Permendag 31/2023, kata Huda, tidak ada regulasi baku yang mengatur mengenai asal barang yang dijual di e-commerce. Justru yang ada pemerintah hanya mengatur asal penjual (cross border e-commerce) dan tidak ada pengaturan mengenai informasi asal barang tersebut.
“Dengan tiadanya informasi dan data tersebut, saya melihat aturan kita masih banyak yang lowong,” ujar dia.
Maka, untuk menjawab kekhawatiran tersebut, pemerintah harus menjalankan aturan mengenai informasi asal barang. Di samping juga memonitor pengetatan arus barang impor tersebut. “Itu Cina lagi over supply, barang-barang banyak dilarikan ke luar. Termasuk ke Indonesia,” ujar dia.
Sementara itu, Tauhid Ahmad, menambahkan hal pertama yang perlu direspons pemerintah adalah bagaimana penegakan dari kebijakan lama yakni Permendag 31/2023. Kebijakan tersebut, harus dilihat seberapa jauh dan efektif serta sudah diimplementasikan atau belum.
“Sebenernya sama, ini kan soal dengan aplikasi baru Temu ini. Lebih baik menahan memberikan fair trade atau tidak. Itu harus diantisipasi. Kalau belum ada di mananya, maka perlu aturan baru. Saya kira di situ,” jelas Tauhid.
Kedua perlu juga dilihat apakah standarisasi dilakukan atau tidak? Karena variasi barang impor, kata Tauhid seringkali kecepatan lahirnya produk lebih cepat daripada ketentuan ada dalam SNI.
“Itu seringkali akhirnya ketinggalan. Begitu banyak di sini, baru dikeluarkan per jenis produknya pasti akan sangat berubah dan dinamis,” ujar dia.
Ketiga tentu pembinaan terhadap produk lokal untuk bersaing perlu ditingkatkan kembali oleh pemerintah. Karena, sejatinya produk-produk asal Cina mampu bersaing dengan harga lebih murah. Sementara produk domestik tidak berani ambil risiko atau setidaknya menyamai harga dengan barang-barang dari luar.
“Produk lokal kita tidak signifikan penurunan harganya. Lama kelamaan akan kehilangan market di pasar domestik. Itu saya kira walaupun sekarang dengan TikTok dan sebagainya ternyata pergerakan dari barang produk kita sendiri tidak cepat. Katakanlah pricing diatur, rupanya masih kalah cepat dengan masuknya produk-produk luar ke dalam negeri,” jelas dia.
Oleh karena itu, kata Tauhid, sudah seharusnya Permendag 31/2023 harus dibarengi dengan kebijakan di sektor lain seperti di Kementerian Perindustrian soal bagaimana standarisasi dan produksinya. Sebab, dia melihat proses tersebut tidak berjalan.
“Jadi Permendag hanya hilir saja itu. Hulu kita tidak bergerak sama saja,” pungkas dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang