Menuju konten utama

Korupsi Mengintai di Balik Rencana Akuisisi Beras & Gula di LN

Proses akuisisi dilakukan Bulog dan Pertamina dinilai merupakan kebijakan yang sangat berisiko dan berpotensi menimbulkan moral hazard.

Korupsi Mengintai di Balik Rencana Akuisisi Beras & Gula di LN
Sejumlah buruh bersiap menurunkan beras impor asal Vietnam dari kapal kargo di Pelabuhan Malahayati, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Jumat (19/4/2024). Perum Bulog mendatangkan sebanyak 12.500 ton beras asal Vitenam menggunakan tiga kapal kargo melalui pelabuhan kabupaten Aceh Besar dan Kota Lhokseumawe untuk memperkuat stok cadangan beras pemerintah (CBP) di provinsi Aceh. ANTARA FOTO/Ampelsa/aww.

tirto.id - Dua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bidang pangan dan energi, yakni Perum Bulog dan PT Pertamina (Persero) tengah menjajaki proses akuisisi perusahaan di luar negeri. Perum Bulog berencana akan mengakuisisi perusahaan atau sumber beras dari Kamboja, sementara Pertamina akan akuisisi perusahaan penyuplai gula dan bioetanol asal Brazil.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, mengungkapkan rencana akuisisi Perum Bulog dan Pertamina telah mendapatkan lampu hijau atau persetujuan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Rencana akuisisi keduanya, diklaim sebagai upaya dalam rangka menjaga ketahanan pangan dan energi nasional.

"Presiden tadi sudah memerintahkan saya untuk kita tindak lanjuti. Sekarang kita tinggal melakukan due diligence (uji kelaikan)," kata Luhut dalam Perayaan Hari Ulang Tahun Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) ke-52, di Jakarta, Senin (10/6/2024).

Raker Banggar DPR dengan tiga Kemenko

Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan menyampaikan pandangannya dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/6/2024). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/aww.

Jokowi menjelaskan rencana Pertamina dan Perum Bulog untuk ekspansi ke luar negeri merupakan hal biasa demi kepentingan proses bisnis keduanya. Khusus Pertamina, Kepala Negara optimistis perseroan sudah mengkalkulasi bisnisnya sehingga nanti dapat memberi manfaat bagi negara.

"Saya kira proses yang dilakukan oleh Pertamina sekarang itu menuju ke sana. Jadi, proses bisnis biasa, bisnisnya sudah dihitung, sudah dikalkulasi kedepannya akan seperti apa dan kemanfaatan untuk negara semuanya saya yakin sudah dikalkulasi," ujar Jokowi.

Sementara soal ekspansi Bulog ke Kamboja, eks Gubernur DKI Jakarta itu juga mengatakan hal tersebut demi kepentingan proses bisnis. Di samping juga rencana akuisisi itu untuk memastikan stok cadangan beras dalam negeri aman.

"Ini juga sama, itu proses bisnis yang akan dilakukan oleh Bulog sehingga memberikan kepastian stok cadangan beras negara kita dalam posisi stok yang aman, daripada beli ya lebih bagus investasi," kata Jokowi.

Potensi Moral Hazard

Namun, di tengah rencana akuisisi dua BUMN tersebut, ada kekhawatiran yang justru dilihat oleh Peneliti Center of Reform on Economic (CORE), Eliza Mardian. Eliza khawatir rencana akuisisi tersebut malah berpotensi menimbulkan moral hazard. Moral hazard merupakan perilaku tidak jujur atau karakter merusak yang ada pada individu yang memicu frekuensi dan keparahan kerugian.

“Potensi moral hazard dalam setiap kebijakan akan selalu ada. Tapi ini tergantung bagaimana mitigasi dan mekanisme pengawasannya agar tidak terjadi penyimpangan karena jika kebijakan akuisisi tidak dilaksanakan secara transparan ya bisa jadi ruang bancakan korupsi,” ujar Eliza kepada Tirto, Selasa (11/6/2024).

Kantor BUMN

Kantor BUMN. FOTO/Googlemaps

Pengamat BUMN dari Datanesia Institute, Herry Gunawan, mengamini proses akuisisi dilakukan Bulog dan Pertamina ini merupakan kebijakan yang sangat berisiko dan berpotensi menimbulkan moral hazard.

Berisiko, kata dia, karena manfaatnya bisa jadi sangat kecil. Lalu, hanya akan menambah satu unsur dari aspek ketahanan pangan, yakni soal ketersediaan.

“Soal keterjangkauan (harga komoditasnya di Indonesia), keamanan produk, kemudian keberlanjutannya, justru tidak terjamin. Ini yang pertama. Jadi dalil ketahanan pangan cenderung hanya gimik atau alasan yang dibuat-buat, seolah-olah mulia,” ujar Eliza kepada Tirto.

Selanjutnya soal moral hazard, Indonesia, kata Herry, punya pengalaman pahit di mana BUMN akuisisi entitas di luar negeri. Contohnya kasus Pertamina di Australia, kemudian anak usaha PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk atau PGN akuisisi lapangan migas di Amerika, yang kemudian berkasus karena dinilai kemahalan. Ujungnya adalah menimbulkan permasalahan.

Dalam kasus Pertamina, Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan, dinyatakan terbukti bersalah melakukan korupsi dalam investasi blok Basker Manta Gummy (BMG) di Australia. Kasus itu, bermula ketika PT Pertamina melakukan kegiatan akuisisi atau investasi non-rutin berupa pembelian sebagian aset Roc Oil Company Ltd di ladang minyak Basker Manta Gummy (BMG) Australia pada 2009.

Berdasarkan Agreement for Sale and Purchase-BMG Project, nilai pembelian ini mencapai 31,92 juta dolar AS dengan tambahan biaya lain-lain 26,8 juta dolar AS. Secara keseluruhan, Pertamina menggelontorkan dana setara dengan Rp568,06 miliar.

Tetapi menurut majelis hakim, Pertamina tidak memperoleh keuntungan secara ekonomis lewat investasi di Blok BMG. Sebab, sejak 20 Agustus 2010, ROC selaku operator di blok BMG menghentikan produksi dengan alasan lapangan tersebut tidak ekonomis lagi.

Sementara dalam kasus PGN, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sempat menemukan kejanggalan dalam proyek-proyek PGN. Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas Pengelolaan Pendapatan, Biaya dan Investasi (PBI) Tahun 2017 hingga semester I 2022 pada PGN menunjukkan sejumlah masalah dalam tubuh perusahaan gas pelat merah tersebut.

Beberapa masalah yang ditemukan BPK, antara lain dugaan nilai akuisisi tiga lapangan kerja minyak dan gas bumi (migas) yang terlalu mahal. Kemudian, mangkraknya terminal gas alam cair Teluk Lamong, Surabaya, serta kerugian fasilitas penyimpanan dan regasifikasi terapung atau floating storage regasification (FSRU) Lampung.

“Sekarang mau akuisisi di Kamboja dan Brazil. Harus transparan, jangan-jangan perusahaan itu ada kaitannya dengan orang Indonesia,” ujar Herry.

Direktur Eksekutif Sinergi BUMN Institute, Achmad Yunus, mengatakan jika atas nama ketahanan pangan dan energi nasional rencana akuisisi perusahaan di luar negeri tersebut bukan pendekatan bisnis. Tapi merupakan bentuk penugasan dari pemerintah dan harus ada insentif terkait dengan rencana akuisisi tersebut.

“Termasuk jika kelak muncul kerugian, maka itu tidak boleh dipidana karena melaksanakan penugasan dari pemerintah,” ujar Achmad kepada Tirto, Selasa (11/6/2024).

Achmad menuturkan jika berkaca pada dua kasus Karen sebelumnya, hal itu merupakan bentuk penugasan murni dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat itu. Namun sayangnya, dikriminalisasi di era pemerintahan Jokowi.

“Kalaupun harus akuisisi perusahaan dimaksud, maka harus ditempuh mekanisme akuisisi korporasi dengan berdasar pada kajian bisnis dan mitigasi risikonya bagi korporasi,” ungkap Achmad.

Pengembangan Dalam Negeri

Sementara itu, Herry Gunawan, justru meminta agar pemerintah mengembangkan sentra beras dan gula di dalam negeri ketimbang melakukan akuisisi ke luar. Karena menurutnya, ini bukan persoalan yang sulit tetapi kemauan politik pemerintah.

“Beras yang perusahaannya mau diakuisisi di Kamboja, kemudian gula dan bioetanol yang perusahaan di Brazil, itu semua bisa kita lakukan di sini,” kata Herry.

Faktanya saat ini, kata Herry, terbukti komitmen pemerintah yang lemah. Lahan pertanian (sawah) dalam hal ini justru terus berkurang lantaran beralih fungsi jadi pabrik, perumahan, dan lain-lain, sehingga produksinya juga turun. Akibatnya, kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian pun ikut melemah.

Inovasi desa wisata kereta sawah Lokamerta di Klaten

Pengunjung menaiki wahana wisata kereta Lokamerta di Tirtomarto, Cawas, Klaten, Jawa Tengah, Rabu (5/6/2024).ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/aww.

Jika melihat data BPS kuartal I-2024, kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian nasional tersisa 11,61 persen. Padahal di 2014, masih sekitar 13,34 persen. Ini memperlihatkan pemerintah tidak serius soal ketahanan pangan.

“Sekarang kok ujug-ujug mau akuisisi perusahaan di luar negeri. Aneh,” kata Herry.

Herry menuturkan jika pemerintah mau mengembangkan di dalam negeri, tentu perusahaan lokal diyakini banyak yang mampu. Apalagi kalau didukung oleh kampus dengan hasil risetnya, begitu juga dengan dukungan fiskal pemerintah.

“Kalau dikembangkan di dalam negeri, untungnya lebih banyak. Empat aspek dalam ketahanan pangan bisa dipenuhi semua. Perusahaan lokal pun bergairah,” ujar Herry.

Selain itu, ada penyerapan tenaga kerja baru. Kemudian ada desentralisasi kegiatan ekonomi. Bahkan pemerintah juga menerima manfaat besar dari pajak dibandingkan akuisisi perusahaan di luar.

"Kita malah rugi. Batalkan saja rencana itu,” tambah Herry.

Sementara itu, Eliza Mardian, melihat penugasan pemerintah kepada BUMN untuk melakukan akuisisi atau investasi di luar memang akan memberikan efek penggandaan yang relatif sedikit jika dibandingkan investasi di dalam dengan melibatkan petani dalam negeri. Oleh karenanya, pemerintah perlu meninjau ulang kembali proses rencana akuisisi tersebut.

Outbound investment ini akan memberikan multiplier effect yang relatif sedikit,” ujar Eliza.

Eliza mengatakan setiap kebijakan selalu ada konsekuensinya. Pemerintah melakukan investasi keluar, tentu tujuannya agar harga bahan pangan relatif murah karena menganggap ekosistem menanam padi di dalam negeri kurang efisien sehingga menyebabkan harga di dalam negeri relatif lebih mahal akibat biaya produksinya tinggi.

“Orientasi pemerintah berarti hanya berfokus kepada penyediaan pangan murah saja, bukan semata mata ingin menggerakkan perekonomian dalam negeri,” ujar Eliza.

Eliza menuturkan sektor pertanian ini termasuk mesin pertumbuhan ketiga perekonomian nasional dan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Jika pemerintah hanya fokus pada penyediaan pangan murah untuk konsumsi tidak memperhatikan kesejahteraan dan keberlanjutan usaha tani produsen pangan, maka ekonomi akan stagnan.

“Sebab engine lainnya seperti sektor industri saat ini mengalami deindustrialisasi dan proporsi tenaga kerja yang bekerja di sana pun proporsinya relatif sama, tidak ada penambahan signifikan,” tukas Eliza.

Baca juga artikel terkait BUMN atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin