tirto.id - Diskursus mengenai dinasti politik kembali ramai diperbincangkan di media sosial. Hal ini dipicu oleh viralnya potongan video episode siniar ‘Total Politik’ yang dipandu Arie Putra dan Budi Adiputro dengan tamu, Pandji Pragiwaksono. Dalam episode yang tayang di YouTube pada 4 Juni 2024 itu, Pandji mendesak pandangan Arie Putra soal dinasti politik yang marak terjadi di Indonesia.
Arie yang tergagap didesak Pandji menyatakan bahwa opininya terkait dinasti politik berkaca dari pandangannya soal Asian Value. Menurutnya, dinasti politik adalah bagian dari Human Rights alias hak asasi manusia (HAM). Pernyataan Arie sontak memantik gaduh di media sosial, dan warganet mayoritas menuding bahwa pendapat tersebut keliru.
Pendapat Arie dinilai melakukan pembenaran dan pengaburan pada bahaya dinasti politik di negara demokrasi. Selain itu, dia dinilai serampangan menyebut Asian Value dan hak asasi manusia sebagai pembenaran untuk eksistensi dinasti politik di Indonesia.
Manajer Hukum dan Advokasi dari Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Dila Farhani, menilai menyandingkan dinasti politik dengan hak asasi manusia akan sangat bertentangan dengan nilai demokrasi. Dinasti politik sering melibatkan pemilihan anggota keluarga yang memegang kendali atas negara atau wilayah, di mana ciri ini melanggar nilai HAM dan demokrasi.
“Meskipun tetap melalui sistem pemilu, tetapi pelanggengan kekuasaan terus dilakukan,” kata Dila kepada reporter Tirto, Jumat (7/6/2024).
Menyeret nilai HAM sebagai pembenaran melakukan praktik dinasti politik merupakan bentuk melanggengkan kebuntuan demokrasi Indonesia hari ini. Mulanya, diskursus dinasti politik memanas di Pilpres 2024 dengan majunya putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden sebab dimuluskan oleh putusan MK Nomor 90/2023 soal batas usia capres-cawapres.
Putusan ini sendiri diketuk oleh eks Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, yang merupakan besan Jokowi alias paman dari Gibran. Belakangan, Majelis Kehormatan MK mencopot Anwar Usman dari kursi ketua MK karena terbukti melanggar etik dalam polemik putusan Nomor 90/2023. Gibran, berhasil menjadi wakil presiden terpilih periode 2024-2029 mendampingi presiden terpilih, Prabowo Subianto.
Presiden Jokowi sendiri berkali-kali dituding tidak netral dalam Pilpres 2024 karena dinilai cawe-cawe memenangkan pasangan Prabowo-Gibran. Bahkan empat menteri kabinet Jokowi diseret ke hadapan hakim konstitusi dalam sidang PHPU pilpres, sebab pemerintah dituding mengerahkan program bansos demi kemenangan anak presiden. Namun, putusan hakim konstitusi menolak semua gugatan PHPU pilpres atas kemenangan Prabowo-Gibran.
“Argumen pemerintah mendukung dinasti politik selalu tujuannya disebut ingin menciptakan stabilitas pemerintahan. Padahal faktanya, karena pemerintahan diwariskan dari generasi ke generasi, hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian dan [mengundang] konflik pemilu,” kata Dila.
Belum lagi, kata dia, cara para elit berpolitik hari ini begitu pragmatis. Mereka mengabaikan pendidikan politik kepada kader-kader partai politik (parpol) maupun pemilih. Elite sibuk berorientasi pada bagaimana mengamankan dan melanggengkan kekuasaan.
“Politik dinasti justru melanggar konstitusi, bukan hak asasi. Demokrasi kita merupakan demokrasi yang konstitusional, artinya mengakui keberadaan individu yang mempunyai kebebasan dan hak yang sama, namun tetap dengan menaati konstitusi,” terang Dila.
Faktor Dinasti Politik
Peneliti utama politik BRIN, R Siti Zuhro, menilai demokrasi yang sesungguhnya seharusnya memberikan kepastian dan keterukuran dalam proses pemilu. Maka dinasti politik, datang untuk menghancurkan aturan main demokrasi dan bertindak seakan pemerintahan monarki atau otoritarianisme.
“Ini adalah malapetaka demokrasi karena dikuasai oleh ‘lo lagi, lo lagi’ alias keluarganya aja. Kita sudah capek banget padahal [dengan dinasti politik],” ujar dia kepada reporter Tirto, Kamis (6/6/2024).
Wiwik, sapaan akrab Siti Zuhro, menyatakan bahwa praktik dinasti politik di Indonesia sudah lama terjadi dan bukan hanya pada pemilu 2024. Setiap menjelang pemilu/pilkada, kata dia, dinasti politik pasti selalu saja menjadi isu hangat.
Menurutnya, praktik dinasti politik semakin seperti keran bocor sejak dilakukannya pilkada langsung. Dinasti politik tumbuh subur di daerah-daerah dan diperkirakan mencapai ratusan kasus. Padahal dulu pihaknya bersama pemerintah dan DPR, sudah pernah berhasil menelurkan aturan revisi UU Pilkada yang melarang dan membatasi adanya praktik politik dinasti.
Proses revisi terjadi pada 2014, kata dia, dan menelurkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada terkait larangan calon kepala daerah yang memiliki hubungan kerabat dengan petahana. Pasal itu melarang sosok yang memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan, dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan petahana; yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, dan menantu. Mereka boleh maju setelah melewati masa jeda satu kali masa jabatan.
“Sayangnya pasal tersebut dibatalkan MK ya dengan alasan serupa, dinilai tidak sesuai hak asasi lah, membatasi hak warga, sayang sekali. Ini yang menggugat salah satu calon pada 2015 dari Sulawesi Selatan kalau nggak salah, sayang sekali dikabulkan MK,” kata Wiwik.
Dengan begitu, baik dalam Pilkada dan Pemilu, tidak ada aturan yang benar-benar tegas melarang politik dinasti. Demokrasi yang menjunjung tinggi hak asasi manusia atau individu, justru dijadikan tameng pembenaran bahwa semua orang bebas berkompetisi dalam kancah politik. Tentu tak salah, dan memang benar semua memiliki hak, namun lain kasus kalau hal itu dilakukan oleh kerabat petahana dengan cara-cara culas menabrak etika dan konstitusi.
“Ini [dinasti politik] jadi diminati para politisi karena orang cenderung memilih kekerabatan tadi. Alasan popularitas misalnya menjadi faktor sehingga akan menarik pemilih,” ujar Wiwik.
Politik dinasti dan lahirnya calon tunggal adalah bukti demokrasi Indonesia belum mencapai demokrasi substantif dan masih terjebak pada demokrasi prosedural. Ini menyebabkan cara-cara demokratis justru dijadikan pintu masuk untuk menghancurkan esensi dari demokrasi itu sendiri.
Wiwik menjelaskan, dinasti politik cenderung akan memunculkan multiplikasi aktor politik dari satu keluarga, bukan pluralisme aktor politik yang variatif dari berbagai latar belakang. Dinasti politik merupakan perwujudan dari neopatrimonial. Regenerasi kekuasaan tidak dilakukan melalui penunjukan seperti dalam masyarakat patrimonial, namu cukup melalui demokrasi prosedural.
“Pimpinannya dipilih rakyat, tetapi persoalannya yang menentukan siapa calonnya adalah partai politik,” kata Wiwik.
Wiwik menerangkan, Menurut catatan Kementerian Dalam Negeri, ada 60 (11 persen) kasus dinasti politik sejak era pilkada langsung selama 2005-2014. Jumlah tersebut cenderung meningkat selama 2015-2018 menjadi 117 (21,5 persen) dan 2020 bertambah menjadi 175 (32 persen).
Data peningkatan tersebut cukup sejalan dengan temuan Yoes C Kenawas, peneliti dari Northwestern University, yang khusus meneliti dinasti politik. Penelitian Yoes menunjukkan, pada Pilkada 2013 ada 39 kerabat pejabat publik yang maju dan memenangi kontestasi.
Angka ini melonjak pada periode Pilkada 2015 sampai 2018. Dalam rentang waktu itu, ada sebanyak 202 calon kepala dan wakil kepala daerah yang merupakan kerabat pejabat publik. Dari angka tersebut, 117 orang berhasil terpilih dan 85 lainnya gagal.
“Masalahnya saat RI 1 [presiden] menganggap enteng dinasti politik, maka daerah-daerah akan mengikutinya sebagai role model. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Itu lah pentingnya role model pemimpin teladan untuk masyarakat luas,” tegas Wiwik.
Bahaya untuk Demokrasi
Analis politik dari Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo, menyatakan praktik dinasti politik merupakan parasit dan benalu dalam sistem demokrasi. Artinya, dinasti politik sangat tampak dan ada untuk terus melemahkan nilai demokrasi di negeri ini.
Menurutnya, negara dengan demokrasi mapan seperti Amerika Serikat juga tidak lepas dari dinasti politik, namun mereka melakukannya dengan minor dan tetap melalui sistem merit politik yang ketat.
“Hukum masih dijunjung tinggi, pemilu masih berjalan dengan adil dan jujur, pelaksana atau penyelenggara pemilunya juga akuntabilitas terjaga. Sehingga hak-hak warganya masih diakui dan dilindungi, sehingga demokrasinya masih tumbuh dengan baik,” kata Kunto kepada reporter Tirto.
Sedangkan di Indonesia, dinasti politik merupakan ancaman serius bagi demokrasi. Di sini, dinasti politik menghilangkan banyak hak masyarakat sipil dan pemilih hanya sebatas suara semata yang bisa dibeli. Praktik ini memunculkan politik uang yang masif dengan sistem politik gentong babi, di mana pemilih digiring dengan kucuran bansos atau uang untuk mau memilih kandidat tertentu.
Kunto berujar, meski klasik, yang harus pertama dikuatkan untuk mencegah dinasti politik adalah pendidikan politik. Kedua, perlu perbaikan institusi-institusi politik dan pemilu, terutama parpol. Parpol seharusnya menjalankan juga nilai demokratis di internal partai.
Mereka harus partisipatif dengan rakyat, dan tidak memandang pemilih sebatas angka di kotak suara. Parpol harus memastikan merit sistem dalam penunjukan calon terjaga dan pengusungan calon kontestasi pemilu/pilkada disaring sesuai integritas dan kapabilitas, bukan popularitas apalagi kekerabatan semata.
Maka, omong kosong asian value dan hak asasi manusia sebagai kedok penyamaran dinasti politik. Kerugian dinasti politik yang memperpanjang praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme lebih besar dan nyata merugikan rakyat. Tidak ada tempat bagi demokrasi tumbuh sebagai nilai yang substantif, jika parpol dan elit tidak membabat dinasti politik di tubuh dan pikiran mereka.
“Di Indonesia, partai politik hanya semacam menyediakan tiket, dan tiket itu diobral murah sehingga politik dinasti bisa membelinya sekaligus juga membeli suara rakyat. Dan akhirnya ya sudah kita masuk ke lingkaran setan politik dinasti,” tutur Kunto.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang