Menuju konten utama
Bisnis Perbankan

Menilik Potensi Risiko Usai Peralihan Dana Muhammadiyah dari BSI

Arianto menilai dalam jangka pendek keputusan Muhammadiyah menarik dananya akan berdampak pada BSI.

Menilik Potensi Risiko Usai Peralihan Dana Muhammadiyah dari BSI
Petugas melayani nasabah saat bertransaksi di Bank Syariah Indonesia (BSI) Kantor Cabang Thamrin, Jakarta, Selasa (1/11/2022). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/hp.

tirto.id - Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah memutuskan menarik atau mengalihkan dana mereka dari Bank Syariah Indonesia (BSI) ke sejumlah bank, seperti Bank Syariah Bukopin, Bank Mega Syariah, Bank Muamalat, dan bank syariah lainnya. Keputusan penarikan itu, diketahui dari Memo Muhammadiyah bernomor 320/1.0/A/2024 tentang Konsolidasi Dana yang mereka keluarkan pada 30 Mei 2024.

Ketua PP Muhammadiyah, Anwar Abbas, mengatakan, peralihan dana ke beberapa bank syariah lainnya merupakan bentuk kerja sama yang tengah dijalankan pihaknya. Terlebih, Muhammadiyah juga sudah terlalu banyak menempatkan dana di BSI sehingga perlu dilakukan pemerataan.

“Secara bisnis dapat menimbulkan risiko konsentrasi (concentration risk), sementara di bank-bank syariah lain masih sedikit,” kata Anwar, dalam keterangan persnya, Rabu (5/6/2024).

Anwar mengatakan, langkah peralihan ini juga sejalan dengan komitmen tinggi Muhammadiyah untuk mendukung perbankan syariah. Muhammadiyah, lanjut Anwar, terus melakukan rasionalisasi dan konsolidasi terhadap masalah keuangannya agar bisa berkontribusi bagi terciptanya persaingan yang sehat di antara perbankan syariah yang ada.

Masalahnya, kata Anwar, selama ini bank-bank syariah lain tidak bisa berkompetisi dengan margin yang ditawarkan oleh BSI, baik dalam hal yang berhubungan dengan penempatan dana maupun pembiayaan. Bila hal ini terus berlangsung, menurut dia, persaingan di antara perbankan syariah tentunya menjadi tidak sehat.

“Untuk itu, Muhammadiyah perlu menata banyak hal terkait keuangannya, termasuk yang terkait dengan penempatan dana dan pembiayaan yang diterima,” ujar dia.

Pengamat Ekonomi Digital, Heru Sutadi, menganalogikan bentuk peralihan dana yang dilakukan Muhammadiyah itu hanya soal membagi-bagi keranjang telur saja. Artinya Muhammadiyah berpikir untuk tidak menempatkan telur dalam satu keranjang saja.

“Karena kalau keranjangnya jatuh, habis semua telurnya,” kata Heru kepada reporter Tirto, Kamis (6/6/2024).

Hal ini pun, kata Heru, sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Muhammadiyah bahwa penempatan dana terlalu banyak berada di BSI secara bisnis dapat menimbulkan risiko konsentrasi. Sementara di bank-bank syariah lain masih sedikit tingkat risikonya.

PRODUK GADAI DAN CICIL EMAS BANK SYARIAH INDONESIA

Pegawai Bank Syariah Indonesia (BSI) Kantor Cabang Mayestik menjelaskan fitur gadai dan cicil emas di BSI Mobile Banking kepada nasabah pemilik toko emas pada kegiatan Grebek Pasar BSI di Pasar Mayestik, Jakarta Selatan, Rabu (15/12/2012). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/hp.

Berdampak ke Likuiditas & Kepercayaan Nasabah BSI

Pengamat Perbankan dan Praktisi Sistem Pembayaran, Arianto Muditomo, justru melihat keputusan Muhammadiyah yang notabene organisasi Islam besar di Indonesia mengalihkan dananya dari BSI menimbulkan kekhawatiran. Terutama tentang potensi efek domino dan risiko konsentrasi bagi nasabah BSI.

“Sebagai bank syariah terbesar di Indonesia, BSI memiliki peran penting dalam sistem keuangan. Penarikan dana besar oleh Muhammadiyah dapat berdampak pada likuiditas dan kepercayaan nasabah BSI,” ujar dia kepada Tirto, Kamis (6/6/2024).

Arianto mengatakan, dalam jangka pendek kebijakan ini tentunya akan berdampak pada BSI. Karena, maraknya pemberitaan dan komentar akan menimbulkan pertanyaan bagi nasabah segala segmen.

“Sebagaimana diketahui risiko yang paling cepat memengaruhi bank adalah risiko saat terjadinya kejadian yang berpengaruh pada likuiditas,” ujar dia.

Krisis likuiditas akibat penarikan dana multi nasabah adalah fenomena global. Maka, setidaknya kata dia, BSI dapat belajar dari pengalaman bank lain untuk memperkuat tata kelola dan manajemen risikonya. Karena tidak sedikit, ditemukan bahwa krisis likuiditas akibat penarikan dana multi nasabah terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia.

Oleh karenanya, penarikan dana besar oleh Muhammadiyah ini harus mampu dipenuhi BSI untuk menunjukkan kemampuannya menjaga likuiditasnya. BSI, kata Arianto, harus memastikan kepercayaan nasabah atau publik bahwa dana mereka di BSI aman.

“BSI memiliki aset yang besar dan diharapkan mampu mengatasi dampak dari penarikan dana ini,” ujar dia.

Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menambahkan, penarikan atau peralihan dana Muhammadiyah dari BSI menjadi alarm bagi perusahaan pelat merah tersebut. Karena, dengan likuiditas yang menurun, bisa memicu rush terhadap nasabah lainnya.

“Isu ini harus disikapi dengan tepat oleh BSI sehingga meyakinkan nasabah lainnya untuk tidak ikutan narik uangnya dari BSI,” ujar dia kepada Tirto, Kamis (6/6/2024).

Menurut Huda, dana Muhammadiyah cukup besar yang ditempatkan dan perputarannya cukup kuat dengan berbagai badan usaha yang didirikan. Maka, dampak yang langsung dirasakan tentu saja ke likuiditas dan pembiayaan oleh BSI.

Kemudian dari sisi kemampuan pembiayaan BSI juga dikhawatirkan berkurang karena kemampuan pembiayaan yang menurun. Ini berpotensi pada seretnya pendapatan dari margin yang bisa menurun akibat kemampuan pembiayaan dari BSI.

“Sebenarnya memang niatnya baik untuk pemerataan pendanaan di bank syariah, namun perbankan tetap membutuhkan dana pihak ketiga yang cukup guna likuiditas dan pembiayaan,” ujar dia.

Huda mengatakan, ketika dana pihak ketiga turun apalagi dalam jumlah besar di waktu tertentu, bisa membuat bank tersebut kering likuiditas. Maka penting bagi BSI juga mendiversifikasi DPK-nya bukan hanya dari satu pihak yang besar.

Dalam hal ini, lanjut Arianto Muditomo, ada beberapa pelajaran bisa diambil. Pertama, penting bagi bank untuk menjaga kemampuan likuiditasnya setiap saat. Karena penarikan dana oleh nasabah dapat terjadi kapan saja, dan bank harus siap untuk mengatasinya.

Kedua, penting juga bagi bank untuk menjaga kepercayaan nasabah (dan debitur). Kepercayaan ini dapat dijaga dengan menjaga likuiditas dan memberikan layanan yang baik kepada nasabah.

“Bank harus memiliki strategi untuk menghadapi krisis likuiditas. Strategi ini dapat mencakup diversifikasi sumber pendanaan, meningkatkan cadangan likuiditas, dan menjalin kerja sama dengan bank lain,” tutup Arianto.

PENERAPAN LAYANAN SATU SISTEM BSI

Karyawan PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) melayani nasabah di kantor BSI Regional XI Makassar di Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (1/11/2021). ANTARA FOTO/Arnas Padda/yu/wsj.

Likuiditas BSI Masih Cukup Aman

Chief Economist BSI, Banjaran Surya Indrastomo, memastikan bahwa likuiditas BSI masih cukup aman. Hal ini tercermin dari kondisi keuangan perusahaan masih cukup stabil dengan total aset per April 2024 Rp350,67 triliun dengan growth 11,94 persen secara tahunan.

Sementara posisi Dana Pihak Ketiga sebesar Rp293,2 triliun dengan growth 9,41 persen. Adapun pembiayaan BSI Rp251,58 dengan growth 17,94 persen, sehingga posisi FDR Perusahaan 85,72 persen sehingga cukup ample.

“[Likuiditas BSI) sangat aman,” ujar Banjaran saat dikonfirmasi Tirto, Kamis (6/6/2024).

Jika melihat secara keseluruhan, menurut data OJK DPK sektor perbankan mengalami pertumbuhan positif, baik secara bulanan dan tahunan. Pada Februari 2024, DPK tercatat tumbuh sebesar 0,30 persen mtm atau meningkat sebesar 5,66 persen yoy (Januari 2024: 5,80 persen yoy) atau menjadi Rp8.441 triliun, dengan giro menjadi kontributor pertumbuhan terbesar yaitu 7,33 persen yoy.

Likuiditas industri perbankan pada Februari 2024 juga tercatat memadai dengan rasio Alat Likuid/Non-Core Deposit (AL/NCD) dan Alat Likuid/Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) masing-masing sebesar 121,98 persen (Januari 2024: 123,42 persen) dan 27,41 persen (Januari 2024: 27,79 persen), atau jauh di atas threshold masing-masing sebesar 50 persen dan 10 persen.

Meski begitu, ke depan, tetap perlu diperhatikan risiko perbankan utamanya risiko pasar dan dampaknya pada risiko likuiditas terkait sentimen suku bunga global yang masih tetap tinggi, serta potensi peningkatan risiko kredit pasca berakhirnya masa relaksasi kredit restrukturisasi terkait COVID-19 pada akhir Maret 2024.

Untuk itu, OJK meminta perbankan meningkatkan daya tahannya melalui penguatan permodalan dan menjaga coverage CKPN secara memadai, serta secara rutin melakukan stress test untuk mengukur kemampuan permodalannya dalam menyerap potensi risiko.

Baca juga artikel terkait PERBANKAN atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz