Menuju konten utama

Menuju Pemberlakuan RUU KIA, Sedikit Girang Banyak Gamang

RUU KIA yang digadang-gadang sebagai baleid progresif yang bakal mendukung kesejahteraan ibu dan anak, nyatanya masih menyisakan sejumlah persoalan.

Menuju Pemberlakuan RUU KIA, Sedikit Girang Banyak Gamang
Pekerja perempuan memproduksi alat pelindung diri sebuah perusahaan garmen saat kunjungan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah di Jakarta, Rabu (1/7/2020). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/aww.

tirto.id - Keputusan DPR RI menyetujui RUU tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan disahkan menjadi undang-undang, seharusnya menjadi angin segar.

RUU KIA sempat digadang-gadang sebagai baleid progresif yang bakal mendukung kesejahteraan ibu dan anak. Hal tersebut tak lepas dari niat baik pemerintah menjamin kesejahteraan ibu dan anak, agar sumber daya manusia Indonesia yang unggul dapat terwujudkan.

Namun, seperti biasa, niat baik saja tidak cukup. Terlebih, jika niat baik tersebut belum mengakomodasi masukan-masukan masyarakat sipil yang mewakili suara perempuan, khususnya ibu. Ini terbukti dari munculnya pro-kontra yang timbul setelah RUU KIA disetujui untuk disahkan.

Gelombang kritik datang dari para aktivis dan pengamat hak perempuan yang menilai beleid ini justru berpotensi menimbulkan berbagai masalah baru.

Pemerintah dan legislatif diminta kembali mengevaluasi RUU KIA sebelum diteken oleh Presiden Jokowi. Pasalnya, RUU KIA bakal memengaruhi banyak peran perempuan, baik di lingkup sosial maupun domestik.

Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati, menilai niat untuk menjamin kesejahteraan ibu dan anak merupakan cita-cita yang baik, namun aturan yang dibuat harusnya tetap melihat konteks persoalan hulu ke hilir.

RUU KIA mesti melihat urgensi kebutuhan yang integratif, agar tidak mengulang aturan yang eksis namun lemah dalam implementasinya.

“RUU KIA awal disebut ibu melahirkan dapat cuti 6 bulan. Nah ternyata ini tetap 3 bulan, dan bisa ditambah 3 bulan dengan syarat dan ketentuan, seperti surat dokter. Ini kan sama saja cuti 3 bulan memang ada di UU Ketenagakerjaan,” kata Mike kepada Tirto, Rabu (5/6/2024).

RUU KIA memang mengatur cuti melahirkan untuk ibu dan suami. Dalam draft RUU KIA terbaru yang didapat Tirto, cuti melahirkan bagi ibu pekerja paling singkat 3 bulan pertama dan paling lama ditambah 3 bulan berikutnya jika ada kondisi khusus dibuktikan dengan surat dokter.

Selain itu, ibu pekerja yang menggunakan hak cuti melahirkan tidak dapat diberhentikan perusahaan dan berhak mendapat upah penuh selama tiga bulan pertama. Upah penuh juga di bulan keempat, serta 75 persen dari upah untuk bulan kelima dan keenam.

RUU KIA juga menegaskan kewajiban bagi suami mendampingi istri yang melahirkan. Maka diatur cuti untuk suami selama dua hari dan dapat diberikan tambahan paling lama tiga hari, sesuai kesepakatan pemberi kerja. Suami yang istrinya mengalami keguguran berhak mendapatkan cuti dua hari.

Mike memandang tidak ada yang progresif dari aturan ini karena cuti 3 bulan sudah diatur dalam aturan tenaga kerja. Meski ada tambahan 3 bulan berikutnya, ibu yang melahirkan harus dibebani syarat dan ketentuan dari dokter segala.

“Persoalannya begini, [cuti] 3 bulan saja kita tuh masih punya PR karena belum semua perusahaan pemberi kerja menjalankan kewajiban ini,” ujar Mike.

Dalam implementasi ketentuan cuti 3 bulan saja, kata Mike, perusahaan masih banyak yang tidak menerapkan regulasi. Ada yang mendapat cuti tiga bulan, namun cuma dibayar satu bulan gaji. Atau ada perusahaan yang tidak memperbolehkan cuti lebih dari dua bulan. Ini terjadi sebab lemahnya monitoring pemangku kebijakan, selain kondisi finansial perusahaan yang berbeda-beda.

Mike mendesak agar implementasi RUU KIA nanti tidak mengulang kesalahan yang sama. Jangan sampai perusahaan abai menjalankan kewajiban dan lepas dari tanggung jawab.

Lebih parah, jangan sampai muncul aturan perusahaan yang menutup peluang karier ibu pekerja dengan melarang perempuan pekerja hamil atau enggan merekrut ibu hamil.

“Dampak cuti ini membuat perusahaan mungkin menghindari merekrut pekerja perempuan. Nah, akhirnya ada diskriminasi kan? Atau perusahaan membuat pengaturan yang membuat mereka tidak perlu menjalani kewajiban ini,” ujar Mike.

Mike sadar, hadirnya UU KIA dengan ketentuan cuti hamil maksimal 6 bulan di dalamnya, memang terilhami negara-negara Eropa yang berhasil menjalankan kebijakan ini. Namun perlu diingat, negara seperti Belanda dan Swedia, misalnya, sudah memiliki jaminan perlindungan sosial yang baik sehingga tidak memunculkan ketegangan antara perusahaan dan pekerja perempuan.

RUU KIA diharapkan tak cuma terinspirasi konsep negara-negara maju, namun belum diiringi studi yang matang. Studi ini juga seharusnya memikirkan pula dengan konteks Indonesia, di mana perempuan dan ibu masih dalam posisi sosial yang dimarginalkan. RUU KIA juga masih terpaku pada kesejahteraan perempuan yang melahirkan dengan status ibu.

“Harusnya semua bisa ter-cover, undang-undang ini membingungkan ketika misalnya orang yang punya anak itu nggak cuma perempuan yang berstatus istri melahirkan. Bagaimana yang mengurus anak namun tidak atau bukan lagi seorang istri,” ujar Mike.

VAKSINASI COVID-19 BAGI IBU HAMIL

Petugas medis menyuntikkan vaksin COVID-19 kepada ibu hamil di Gedung TP-PKK Provinsi Kalteng, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Kamis (23/9/2021). ANTARA FOTO/Makna Zaezar/hp.

Tidak Progresif

Pakar hukum ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada, Nabiyla Risfa Izzati, memandang tidak ada langkah progresif dari RUU KIA yang saat ini sudah disahkan.

Dalam konteks cuti melahirkan bagi ibu yang bekerja, ketentuannya tidak berbeda dengan UU Ketenagakerjaan yang sama-sama memberikan maksimal cuti hamil tiga bulan.

Dalam RUU KIA, yang wajib diberikan oleh perusahaan hanya tiga bulan pertama, tambahan waktu hingga maksimal tiga bulan berikutnya berupa opsional dengan kondisi tertentu.

“Perhitungan ini juga membuka kemungkinan konflik regulasi karena di UU Ketenagakerjaan diaturnya 1,5 bulan sebelum dan 1,5 setelah melahirkan. Sedangkan di RUU KIA yang wajib tiga bulan pertama, sehingga asumsi orang itu tiga bulan sejak ibu melahirkan,” kata Nabiyla kepada Tirto, Rabu (5/6/2024).

Sementara itu, pemberian tiga bulan tambahan untuk cuti melahirkan bersifat opsional, itu pun harus disertai kondisi yang dikonfirmasi dokter. Masalahnya, berbagai data studi di lapangan menunjukkan ketentuan cuti maksimal tiga bulan dalam UU Ketenagakerjaan saja masih banyak dilanggar oleh perusahaan.

“Bahkan yang di sektor formal sekalipun masih banyak yang [melanggar]. Pelanggaran yang paling banyak terjadi, upah tidak dibayarkan penuh dan kedua tidak dikembalikan pada pekerjaan semula. Bisa jadi kemudian statusnya berubah atau di PHK,” jelas Nabiyla.

Ia menilai, RUU KIA tidak memberikan terobosan baru dalam konteks regulasi hukum. Selain itu, aturan cuti bagi suami yang istrinya melahirkan pun dipandang belum mendukung pembagian peran ibu dan ayah dalam pengasuhan. Pasalnya, RUU KIA cuma mewajibkan cuti bagi suami dalam waktu dua hari, itu pun dengan paradigma menemani istri melahirkan bukan cuti untuk mengurus anak yang baru lahir.

“Tidak cukup progresif untuk mendorong diskursus mengenai beban yang lebih seimbang antara peran ibu dan ayah,” kata Nabiyla.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati, menuturkan bahwa pada mulanya memang cuti untuk ayah sempat digadang-gadang bakal mencapai 40 hari.

Namun, temuan Koalisi Perempuan lewat survei pada ibu-ibu dan anggota mereka, cuti suami yang terlalu lama juga mengundang pro-kontra sebab banyak perempuan yang khawatir jika suami di rumah terlalu lama justru membebani istri yang habis melahirkan.

“Semangatnya kan supaya perempuan ditemani oleh suaminya, ada pembagian peran yang seimbang atau setara dalam keluarga. Misalnya perawatan anak, pengasuhan anak, seperti itu, tetapi problemnya seberapa jamin keluarga di Indonesia ini sudah memiliki kesadaran sampai situ? Bahwa urusan domestik itu merupakan beban bersama,” jelas Mike.

Ketua Badan Eksekutif Nasional Perserikatan Solidaritas Perempuan, Armayanti Sanusi, menyoroti bahwa RUU KIA bias sektor karena cuma menyoroti hak dan kesejahteraan bagi perempuan pekerja di sektor formal. Padahal, banyak perempuan Indonesia yang memiliki karier sektor informal, seperti nelayan, petani, buruh pasar, hingga pekerja rumah tangga.

“RUU KIA masih sangat sektoral, mengingat perempuan pekerja formal hanya 33,64 persen dan 66,36 persen perempuan merupakan pekerja informal,” kata Armayanti kepada Tirto, Rabu (5/6/2024).

Selain itu, RUU KIA tidak menjamin sanksi bagi perusahaan nakal yang melakukan PHK saat pekerja perempuan mendapatkan cuti melahirkan. Menurut Armayanti, di sana hanya disebut pada pasal 5 ayat 3, bahwa akan diberikan bantuan hukum bagi perempuan yang haknya dilanggar oleh perusahaan saat cuti melahirkan.

“Artinya sangat rentan bagi pekerja perempuan dapat di PHK,” ujarnya.

Koordinator Nasional JALA PRT, Lita Anggraini, turut mengamini bahwa RUU KIA belum menyentuh perempuan yang bekerja di sektor informal, terutama pekerja rumah tangga. Lita juga mempertanyakan mengapa niat menyejahterakan ibu dan anak hanya terbatas 1.000 hari pertama kelahiran.

Lita mendorong agar disahkan juga RUU Perlindungan PRT yang nasibnya luntang-lantung di DPR. Terlebih, dia menilai proses pengesahan RUU KIA belum mencakup partisipasi publik dan mendadak. Dia berharap RUU Perlindungan PRT dapat disahkan segera dengan wajib mengakomodasi masukan masyarakat sipil.

“RUU KIA masih mengatur tanggung jawab yang lebih banyak pada kewajiban ibu di sana, kewajiban ayah masih terasa kurang. Harusnya kesejahteraan bersama dalam pengasuhan bersama ibu dan ayah sebagai keluarga, bukan cuma ibu seperti judul aturannya,” tutur Lita kepada Tirto, Rabu (5/6/2024).

MENGURANGI ANGKA KEMATIAN IBU

Menteri Kesehatan Nila F Moeloek melihat kondisi ibu yang baru melahirkan di Puskesmas Siso, Timor Tengah Selatan, NTT, Rabu (3/5). Untuk mengurangi angka kematian ibu saat melahirkan, Kementerian Kesehatan menghimbau warga NTT khususnya yang berada di pedesaan agar melakukan persalinan dan pemeriksaan kandungan di tempat yang memiliki tenaga profesional seperti di Puskesmas. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/kye/17

Harapan Pemerintah

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, mengatakan RUU KIA merupakan wujud kehadiran negara meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak sebagai sumber daya manusia dan generasi penerus bangsa yang unggul di masa depan.

Menurut Bintang, saat ini ibu dan anak di Indonesia masih menghadapi berbagai persoalan, misalnya tingginya angka kematian ibu pada saat melahirkan, angka kematian bayi, dan tingginya kasus stunting.

“Kita perlu menata pelaksanaan kesejahteraan ibu dan anak pada fase seribu hari pertama kehidupan secara lebih komprehensif, terukur, terpantau, dan terencana dengan baik,” tutur Menteri PPPA dalam keterangan tertulis, Rabu (5/6/2024).

Ia menjelaskan, secara substansial RUU ini menjamin hak-hak anak pada fase seribu hari pertama kehidupan, sekaligus menetapkan kewajiban ayah, ibu, dan keluarga. Menurutnya, kesejahteraan ibu dan anak merupakan tanggung jawab bersama.

“Dan sebagai tindak lanjut, RUU ini mengamanatkan penyusunan tiga Peraturan Pemerintah dan satu Peraturan Presiden,” kata Bintang.

Dia berharap dengan hadirnya UU KIA nanti, ibu dan anak pada fase seribu hari pertama dapat menjalani kehidupan tenteram dan nyaman dalam berbagai keadaan.

“RUU ini akan menguatkan pelaksanaan kebijakan dan program, menjadikannya lebih sinergis dan komprehensif,” pungkas Bintang.

Baca juga artikel terkait RUU KIA atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Hukum
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Irfan Teguh Pribadi