Menuju konten utama

Modus Membungkam Kebebasan Pers lewat Kriminalisasi Narasumber

Narasumber berita merupakan bagian dari produk jurnalistik. Oleh karena itu, narasumber tidak dapat dipidana karena dilindungi oleh Undang-undang Pers.

Modus Membungkam Kebebasan Pers lewat Kriminalisasi Narasumber
Puluhan jurnalis menggelar aksi hari kebebasan pers sedunia di jalan MT Haryono, Kendari, Sulawesi Tenggara, Rabu (3/5). Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kendari berharap peringatan Hari Kebebasan Pers Dunia (World Press Freedom Day) yang jatuh pada 3 Mei merupakan momentum kebebasan pers lebih baik. ANTARA FOTO/Jojon/pd/17.

tirto.id - Kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi di Tanah Air tengah menghadapi upaya pembungkaman.

Tidak hanya menyasar pewarta, kriminalisasi terhadap narasumber kini ikut digunakan sebagai senjata untuk menghasilkan efek bungkam dan jera. Padahal, narasumber merupakan salah satu unsur utama dari pemberitaan.

Kriminalisasi terhadap narasumber kali ini menimpa Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto. Hasto dipanggil kepolisian untuk pemeriksaan dugaan tindak pidana Penghasutan dan atau Menyebarkan Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik Yang Memuat Pemberitaan Bohong Yang Menimbulkan Kerusuhan di Masyarakat.

Hal itu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 KUHP dan atau Pasal 28 ayat (3) Jo. Pasal 45A ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang terjadi di Jalan Jenderal Gatot Subroto Nomor 1 (depan gedung DPR-MPR RI) dan Gambir, Jakarta Pusat pada tanggal 16 Maret 2024 dan tanggal 19 Maret 2024. Pelapor Hasto ialah Hendra dan Bayu Setiawan.

"Saya agak heran karena yang dipersoalkan itu adalah wawancara saya dengan salah satu media, yaitu dengan SCTV. Padahal, fungsi partai itu melakukan pendidikan politik, fungsi partai itu melakukan komunikasi politik, termasuk menyuarakan hal-hal yang tidak benar," tutur Hasto.

Pelaporan terhadap Hasto menjadi fenomena atau modus baru dalam membungkam dunia jurnalistik, yakni dengan melaporkan narasumber atas informasinya yang disajikan di media massa.

Dasar tersebut, kerap dijadikan pelapor sebagai landasan untuk memasukkan ke ranah pidana. Langkah ini menjadi krusial terhadap kebebasan berekspresi khususnya pers.

“Ini bukan sekali dua kali terjadi,” ujar Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Nany Afrida, kepada Tirto, Selasa (4/6/2024).

AJI sering mendapatkan narasumber pemberitaan yang justru berhadapan dengan hukum setelah wawancara dengan jurnalis dan pernyataannya ditayangkan.

Padahal pernyataan atau informasi narasumber dalam pemberitaan merupakan produk jurnalistik, dan yang bertanggung jawab adalah pemimpin redaksi (Pemred) media pers tersebut.

“Kasus yang paling baru, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mendatangi Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada Selasa petang, 19 Maret 2024 lalu,” ujar Nany.

Dalam perkara ini, Bahlil melaporkan narasumber Tempo yang mengungkap penyimpangan terkait kebijakan pencabutan dan pemulihan ribuan izin usaha pertambangan (IUP).

Ada 13 item pengaduan redaksional yang diadukan Bahlil terhadap Tempo, baik melalui platform majalah maupun ‘Bocor Alus Politik’ yang tayang pada Sabtu, 2 Maret 2024.

“Juga kasus-kasus kekerasan seksual, di mana narasumbernya yang menjadi korban kasus kekerasan seksual dilaporkan. Ini terjadi pada narasumber media Project Multatuli,” ujar Nany.

Berdasarkan catatan Tirto, narasumber Project Multatuli memang sempat dilaporkan dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) karena membeberkan kasus kekerasan seksual yang dialami anaknya.

Pelaporan itu dilakukan terduga pelaku yang memperkosa tiga anak di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan pada 2021.

Dalam produk jurnalistik Project Multatuli tahun ini, dua narasumber mereka juga dilaporkan ke polisi karena membeberkan kasus dugaan kekerasan seksual.

Narasumber itu, yang merupakan ibu korban dan pendamping hukum pihak korban, dilaporkan ke Polres Baubau dengan Pasal 310 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 27 Ayat 3 UU ITE juncto Pasal 45 UU 19/2016. Pelapor adalah A, yang menilai kedua narasumber itu menyebarkan berita bohong dan fitnah.

Selain itu, kriminalisasi terhadap narasumber juga sempat menyeret Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo. Agus dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh Persaudaraan Aktivis dan Warga (Pandawa) Nusantara.

Laporan tersebut terkait pernyataan Agus soal Presiden Joko Widodo yang mengintervensi kasus korupsi e-KTP. Agus ketika itu sedang menjadi narasumber dalam program Rosi di Kompas TV.

Hasto penuhi panggilan Polda Metro Jaya

Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto (tengah) bersama Tim Hukum PDI Perjuangan menunjukkan berkas undangan pemeriksaan di gedung Ditreskrimum Polda Metro Jaya, Jakarta, Selasa (4/6/2024). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/nym.

Preseden Buruk dan Ganggu Demokrasi

Nany mengatakan, banyaknya kasus kriminalisasi terhadap narasumber menjadi preseden buruk dan mengganggu demokrasi, terutama kebebasan berpendapat di Indonesia. Ancaman kriminalisasi narasumber pemberitaan ini, kata dia, akan merugikan bukan hanya jurnalis tetapi juga publik.

Selain menyulitkan jurnalis mendapatkan narasumber, kasus-kasus pelaporan seperti ini juga merugikan publik yang seharusnya mendapatkan informasi yang benar dan penting.

Jika ini terus dibiarkan, orang akan semakin takut menjadi narasumber, atau juga menjadi saksi untuk mengungkap sebuah kejahatan korupsi dan kejahatan lainnya.

“Karena yang dihadapi ancaman hukuman pidana maupun perdata,” ujarnya.

Dia menegaskan, narasumber berita dalam hal ini merupakan bagian dari produk jurnalistik. Oleh karena itu, narasumber tidak dapat dipidana karena dilindungi oleh Undang-undang Pers.

Jika kemudian, lanjut dia, ada pihak-pihak atau pelapor yang menolak isi berita atau terjadi sengketa harusnya diselesaikan dengan mekanisme hak jawab dan hak koreksi yang ada di UU Pers. Jika belum cukup, pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan, dapat melapor ke Dewan Pers untuk penyelesaian sengketa itu.

“Penyelesaiannya dengan hak jawab dan hak tolak sesuai dengan UU Pers, bukan malah mengkriminalisasi narasumbernya. Polisi juga seharusnya mengarahkan laporan itu ke Dewan Pers karena produk pers harusnya ditangani dengan UU Pers, bukan UU lain,” ungkapnya.

Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Ade Wahyudin, mengatakan harusnya memang jika terkait narasumber karya jurnalistik, mekanisme yang dilalui saat terjadi keberatan adalah mekanisme sengketa pers atau hak jawab. Karena jika penggunaan pasal 160 KUHP dan 28 ayat 3 UU ITE sangat tidak tepat.

“Karena delik informasi bohong di UU ITE delik materil. Harus ada kerusuhan secara fisik. Jadi jika hanya pro kontra di media sosial itu tidak masuk dalam unsur 28 ayt 3,” jelasnya kepada Tirto, Selasa (4/6/2024).

Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers, Yadi Hendriana, menambahkan dalam kasus pelaporan Hasto, polisi sudah melayangkan surat ke Dewan Pers sebelumnya.

Sedangkan Dewan Pers sudah menjawab tertanggal 1 April 2024 lalu yang kaitannya adalah: narasumber berita merupakan bagian dari produk jurnalistik dan tidak tidak dapat dipidana karena dilindungi oleh Undang-Undang Pers.

“Ada yurisprudensi juga dari Mahkamah Agung saat memutus perkara narasumber berita yang dilaporkan. Sebab, produk jurnalistik sepenuhnya menjadi tanggung jawab pers, bukan narasumber,” kata Yadi kepada Tirto, Selasa (4/6/2024).

PERINGATAN KEBEBASAN PERS INTERNASIONAL

Sejumlah jurnalis yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Jember (AJJ) melakukan aksi damai memperingati Hari Kebebasan Pers Internasional (World Press Freedom Day) di Alun-alun Jember, Jawa Timur, Rabu (3/5). Mereka menolak segala bentuk kekerasan terhadap jurnalis serta menuntut penuntasan laporan kekerasan jurnalis menggunakan UU Pers, dan menuntut perlindungan keamanan untuk jurnalis. ANTARA FOTO/Seno/aww/17.

Polisi Harus Berhati-hati

Peneliti Human Rights Watch, Andreas Harsono, meminta kepolisian untuk berhati-hati dalam menghadapi laporan terhadap Sekjen PDIP, Hasto, terkait dugaan tindak pidana Penghasutan dan atau Menyebarkan Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik Yang Memuat Pemberitaan Bohong Yang Menimbulkan Kerusuhan di Masyarakat.

“Polisi perlu berhati-hati dalam hadapi laporan soal Hasto Kristiyanto,” ujar dia kepada Tirto, Selasa.

Dalam perkara ini, lanjut Andras, perlu diketahui siapa orang sebenarnya di balik pelaporan Hasto Kristiyanto kepada polisi. Karena intimidasi terhadap politikus yang berseberangan dengan pemerintah, tentu akan menimbulkan kesan bahwa dia sedang diintimidasi.

“Padahal pejabat pemerintahan Jokowi sering klaim bahwa Indonesia adalah negara demokratis,” ujarnya.

Dia mengatakan, jika pemerintahan Presiden Jokowi benar-benar ingin memperkuat demokrasi di Indonesia, maka Kepala Negara perlu memberitahukan secara publik bahwa laporan tersebut tidak perlu.

“Atau setidaknya mengatakan bahwa dia tak setuju dengan laporan dari individu yang melaporkan Hasto,” pungkasnya.

Dalam perkara ini, Tirto sudah mencoba menghubungi Deputi IV dan V Kantor Staf Kepresidenan (KSP), Wandy N Tuturoong dan Rumadi Ahmad, untuk meminta pendapat mengenai fenomena kriminalisasi terhadap narasumber. Namun, hingga berita ini tayang, keduanya tidak merespons pertanyaan yang dilayangkan.

Baca juga artikel terkait KEBEBASAN PERS atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Hukum
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Irfan Teguh Pribadi