Menuju konten utama

Kriminalisasi Narasumber Berita Ancam Kebebasan Pers & Demokrasi

Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, menegaskan narasumber tidak bisa dipidana dan seluruh produk pers yang terpublikasi jadi tanggung jawab redaksi.

Kriminalisasi Narasumber Berita Ancam Kebebasan Pers & Demokrasi
Sejumlah wartawan mengumpulkan kartu Pers ketika berunjuk rasa sebagai aksi solidaritas atas tindak kekerasan terhadap jurnalis akibat pemberitaan, di Lhokseumawe, Aceh. Rabu (15/1/2020). ANTARA FOTO/Rahmad/hp.

tirto.id - Ancaman kebebasan pers datang tidak hanya langsung menghunus meja redaksi perusahaan pers. Kriminalisasi terhadap narasumber dalam pemberitaan media, marak digunakan untuk menghasilkan efek bungkam dan jera. Langkah itu tentu mengancam dan mengekang kebebasan pers, sebab narasumber merupakan salah satu unsur utama pemberitaan.

Hadirnya narasumber pada pemberitaan pers menghasilkan validitas produk pers yang telah melalui tindakan konfirmasi serta verifikasi informasi. Jika narasumber yang buka mulut diancam bayang-bayang bui, tidak heran kebebasan pers sekaligus iklim demokrasi negeri ini ikut diguncang. Sayangnya, kejadian ini masih ditemui dalam sejumlah kasus.

Narasumber Project Multatuli contohnya, sempat dilaporkan dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) karena membeberkan kasus kekerasan seksual yang dialami anaknya. Pelaporan itu dilakukan terduga pelaku yang memperkosa tiga anak di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan pada 2021.

Dalam produk jurnalistik Project Multatuli tahun ini, dua narasumber mereka juga dilaporkan ke polisi karena membeberkan kasus dugaan kekerasan seksual. Narasumber itu, yang merupakan ibu korban dan pendamping hukum pihak korban, dilaporkan ke Polres Baubau dengan Pasal 310 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 27 Ayat 3 UU ITE juncto Pasal 45 UU 19/2016. Pelapor adalah A, yang menilai kedua narasumber itu menyebarkan berita bohong dan fitnah.

Teranyar, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo, dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh Persaudaraan Aktivis dan Warga (Pandawa) Nusantara. Laporan tersebut terkait pernyataan Agus soal Presiden Joko Widodo yang mengintervensi kasus korupsi e-KTP. Agus ketika itu sedang menjadi narasumber dalam program Rosi di Kompas TV.

Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Sasmito Madrim, menyatakan memang masih ditemui pihak-pihak yang mengkriminalisasi narasumber pemberitaan pers. Menurut dia, hal ini dikarenakan kokohnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang melindungi pekerja pers, sehingga pihak yang keberatan justru mengincar narasumber pemberitaan pers.

“Karena UU Pers begitu kuat akhirnya yang disasar narsumnya. Ini strategi yang digunakan beberapa orang,” kata Sasmito dihubungi reporter Tirto, Jumat (29/12/2023).

Ancaman kriminalisasi narasumber pemberitaan pers, menurut Sasmito, akan merugikan publik. Kriminalisasi akan menciptakan kebuntuan dalam mencari narasumber yang valid.

Padahal, kata dia, ada hak mencari dan mendapatkan informasi dijamin oleh konstitusi. Secara internasional, hak atas kebebasan berpendapat dan menyampaikan informasi juga dijamin pada Pasal 19 dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Komentar Umum Nomor 34 terhadap Pasal 19 ICCPR.

Hak tersebut juga dijamin dalam Pasal 28E dan 28F UUD, serta pada Pasal 14 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

“Dikriminalisasi ini membuat orang semakin takut bagi narasumber, saksi, dan sebagainya. Karena yang dihadapi ancaman hukuman baik pidana maupun perdata,” ujar Sasmito.

Angin Segar Putusan MA

Sasmito menyampaikan, dalam produk pers sudah sangat jelas, narasumber pemberitaan masuk ke dalamnya. Maka sesuai dengan UU Pers, jika terjadi protes, dapat diselesaikan dengan mekanisme hak jawab dan hak koreksi. Jika belum cukup, pihak yang berkeberatan atas suatu pemberitaan, dapat melapor ke Dewan Pers untuk penyelesaian sengketa.

“Cukup jelas dan clear bahwa terkait pemberitaan itu menjadi tanggung jawab media yaitu pemimpin redaksi. Ketika ada masyarakat merasa dirugikan, maka menggunakan mekanisme UU Pers,” jelas Sasmito.

Di sisi lain, Mahkamah Agung (MA) sudah pernah menetapkan bahwa narasumber berita tidak bisa dijerat dengan pasal penghinaan nama baik di UU ITE. Hal ini terdapat dalam putusan kasasi perkara terdakwa Mohammad Amrullah yang dilaporkan perusahaan tambang karena pernyataan sebagai narasumber di salah satu pemberitaan pers pada 2016.

Putusan dengan nomor 646 K/Pid.Sus/2019 itu menghasilkan amar yang membebaskan Mohammad Amrullah dari dakwaan. Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan narasumber berita tidak bisa dikenakan Pasal Pencemaran Nama Baik di UU ITE. Selain itu, produk jurnalistik sepenuhnya menjadi tanggung jawab media pers, bukan narasumber.

Kasus ini bermula ketika Mohammad Amrullah, bekerja sebagai advokat, membela warga Sumber Agung, Banyuwangi yang menolak penambangan di lingkungannya. Amrullah menyampaikan kekhawatiran warga atas aktivitas tambang di lingkungan mereka pada beberapa awak media.

Perusahaan tambang tidak berkenan dan melaporkan Amrullah dengan Pasal Pencemaran Nama Baik di UU ITE. Kasus tersebut naik ke pengadilan dan PN Banyuwangi menjatuhkan hukuman 6 bulan penjara dengan denda Rp1,5 juta subsider 2 bulan kurungan kepada Amrullah. Hukuman juga dikuatkan dalam tingkat banding.

Amrullah akhirnya mengajukan kasasi dan dikabulkan oleh MA. Majelis hakim yang menanganinya perkara Amrullah terdiri dari Andi Samsan Nganro dengan anggota Desnayeti dan Sumardijatmo, serta panitera pengganti Maruli Tumpal Sirait.

“Orang yang diwawancara kemudian diliput, disiarkan dan ditulis bukanlah perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik selama ia tidak secara langsung memasukkannya ke dalam sistem elektronik. Pertanggungjawaban atas karya jurnalistik berada pada pengelola media, bukan pada narasumber,” bunyi petikan putusan kasasi itu.

Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin, merasa putusan MA ini sebagai angin segar karena memperjelas bahwa posisi narasumber di dalam karya jurnalistik dilindungi oleh UU Pers. Pihaknya sejak lama menyoroti pola serangan terhadap kebebasan pers salah satunya dengan menyerang narasumber.

“Apakah menggunakan kekerasan fisik, siber maupun menggunakan pasal pidana untuk mengkriminalisasi,” ujar Ade kepada reporter Tirto, Jumat (29/12/2023).

Ade menyatakan, fenomena kriminalisasi dan intimidasi terhadap narasumber bisa dianggap sebagai intervensi terhadap independensi ruang redaksi. Sebab, kata dia, narasumber bisa gamang dan takut dalam membeberkan pernyataan kritis terhadap isu sosial-politik.

Akibatnya, kata dia, publik bisa kehilangan akses pada informasi yang mendalam, karena narasumber sudah melakukan sensor mandiri pada pernyataannya. “Sehingga publik tak punya lagi referensi informasi yang kuat.”

Selain itu, kriminalisasi akan memantik ketegangan antara perusahaan pers dengan narasumber. Keduanya berusaha saling lepas dari tanggung jawab menghadapi tuntutan hukum.

Kendati demikian, meski sudah ada putusan MA di atas, Ade menilai, setiap tahun selalu ada kasus kriminalisasi narasumber pemberitaan pers. Dia mencontohkan, misalnya kasus mantan aktivis ICW, Emerson Yuntho dan Adnan Topan Husodo, yang dilaporkan karena dianggap mencemarkan nama baik Romli Atmasasmita.

Selain itu, perkara mantan Dirdik KPK, Aris Budiman, yang melaporkan mantan aktivis ICW, Donal Fariz, karena dianggap mencemarkan nama baik saat menjadi narasumber program Aiman Kompas TV. Kemudian pada 2018, terdapat kasus pelaporan mantan Jubir Komisi Yudisial, Farid Wajdi, karena menjadi salah satu narasumber di sebuah media massa.

“Dari semua kasus di atas, sempat dibawa ke Dewan Pers dan menyatakan bahwa pernyataan orang yang menjadi narasumber sebuah karya jurnalistik adalah bagian dari karya jurnalistik, oleh karenanya mekanisme yang haru ditempuh adalah keberatan melalui sengketa pers,” jelas Ade.

Mengancam Demokrasi

Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ), Erick Tanjung, menegaskan bahwa ketika narasumber memberikan informasi dan dimuat, maka sudah menjadi karya jurnalistik. Maka dari itu, redaksi perusahaan media yang akan bertanggung jawab jika ada sengketa.

Dia menyayangkan masih adanya pelaporan narasumber pemberitaan media, meski sudah jelas dilindungi oleh UU Pers. Kriminalisasi mengancam kebebasan pers dan preseden buruk bagi demokrasi.

“Jika dibiarkan bahkan sampai akan dipenjara, berdampak buruk terhadap demokrasi dan kebebasan pers. Narasumber ke depan akan jadi khawatir dan takut jika diwawancarai oleh pers,” ujar Erick dihubungi reporter Tirto, Jumat (29/12/2023).

Dia menyatakan, pihaknya akan mengadvokasi kasus-kasus yang mengkriminalisasi kerja-kerja pers. Saat ini, kata dia, KKJ tengah mendampingi seorang narasumber di Sidoarjo yang dipolisikan karena wawancaranya dengan salah satu media nasional.

“Ini belum terlalu naik, mungkin nanti kita akan naikkan rilisnya jika sudah proses,” kata Erick.

Dia berharap jika ada pihak yang tidak suka dengan pemberitaan pers, maka harus mengikuti mekanisme UU Pers. Jika sengketa belum menghasilkan titik temu, bisa dilanjutkan di Dewan Pers yang akan menilai apakah suatu pemberitaan termasuk produk jurnalistik dan telah memenuhi kaidah etika.

“Bukan dilaporkan ke kepolisian apalagi kejaksaan,” tambah Erick.

Sementara itu, Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, menegaskan bahwa narasumber tidak bisa dipidana. Seluruh produk pers yang terpublikasi oleh suatu perusahaan pers menjadi tanggung jawab pemimpin redaksi.

Sebabnya, kata dia, berita yang sudah naik telah melalui proses editing di ruang redaksi. Maka, pernyataan narasumber sudah beralih menjadi tanggung jawab redaksi.

“Seluruh produk jurnalistik yang sudah terpublikasi di media adalah tanggung media, termasuk narasumber sesuai ketentuan Pasal 12 (UU Pers) dan penjelasannya,” kata Ninik kepada reporter Tirto, Jumat (29/12/2023).

Baca juga artikel terkait KEBEBASAN PERS atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Politik
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz