Menuju konten utama

Bahaya Demonisasi di Medsos Ancam Keselamatan Pengungsi Rohingya

Sebanyak 137 pengungsi Rohingya yang didemo di BMA, akhirnya diangkut paksa menggunakan truk ke Kantor Kemenkumham Aceh.

Bahaya Demonisasi di Medsos Ancam Keselamatan Pengungsi Rohingya
Mahasiswa bersama polisi membantu menaikan sejumlah imigran etnis Rohingya ke truk saat berlangsung pemindahan paksa di penampungan sementara gedung Balai Meuseuraya Aceh (BMA), Banda Aceh, Aceh, Rabu (27/12/2023). Sebanyak 137 pengungsi imigran etnis Rohingya yang ditempatkan di penampungan sementara gedung BMA itu dipindahkan paksa mahasiswa setelah menggelar aksi damai ke kantor Kemenkumham Provinsi Aceh. ANTARA FOTO/Ampelsa/Spt.

tirto.id - Terkepung, menangis, dan ketakutan, ratusan pengungsi Rohingya meraung putus asa. Lemparan benda ringan terarah ke kepala mereka yang tersudut. Sebagian besar pengungsi merupakan anak-anak, perempuan, dan orang lanjut usia. Ratusan massa yang disebut dari kalangan mahasiswa, berdemo menolak kehadiran mereka dan menuntut agar para pengungsi dipindahkan ke lokasi lain.

Peristiwa memilukan ini terjadi, Rabu (27/12/2023) siang, di Gedung Balee Meuseuraya Aceh (BMA). Lokasi itu merupakan salah satu penampungan pengungsi Rohingya di Aceh. Sebanyak 137 pengungsi Rohingya yang didemo di BMA, akhirnya diangkut paksa menggunakan truk ke Kantor Kemenkumham Aceh.

Sebelumnya, 137 pengungsi Rohingya yang mayoritas diisi kelompok rentan seperti anak-anak dan perempuan ini, sudah mengalami sejumlah penolakan. Kehadiran mereka sempat ditolak di Ladong, lantas diboyong sementara ke kantor gubernur.

Ketika hendak dipindahkan ke kamp pramuka di kawasan gunung Seulawah, Pidie, warga juga menolak mereka. Akhirnya, para pengungsi ini menempati ruang basement BMA sejak 13 Desember 2023.

Sampai ratusan mahasiswa menggeruduk mereka ketika sebagian pengungsi tengah melaksanakan salat zuhur. Mahasiswa yang tadinya berdemo di Gedung BMA, merangsek masuk untuk memindahkan para pengungsi. Pihak keamanan di lokasi tidak mampu meredam aksi tersebut, nasib 137 pengungsi ini kembali dipingpong.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) Aceh, Azharul Husna, menyampaikan mulanya ratusan mahasiswa itu menyasar gedung DPRA. Setelah berorasi dan bertemu perwakilan dewan, mereka justru mengarah ke Gedung Balee Meuseuraya Aceh (BMA), di mana 137 pengungsi Rohingya berada.

“Mahasiswa menerabas barikade, bergerak menuju ke pusat penempatan pengungsi di mana sejumlah pengungsi laki-laki kala itu sedang salat zuhur berjemaah,” kata Nana, sapaan akrabnya, dihubungi reporter Tirto, Kamis (28/12/2023).

Kejadian itu, kata Nana, akan menjadi bumerang sendiri bagi para mahasiswa yang selama ini berada di garda depan mengangkat isu sosial di Aceh. Menurut Nana, mulai banyak suara tidak berkenan dengan sikap arogan yang dipertontonkan dalam kejadian itu.

“Di dalam video yang tersebar di medsos, mahasiswa menuju ke kumpulan pengungsi yang terdiri dari perempuan dan anak-anak, lalu mulai berteriak serta menendang sejumlah barang ringan,” tambah Nana.

Nana menilai, gerakan penolakan yang dilakukan mahasiswa tampaknya terkoordinasi dengan baik. Termasuk, serangan kebencian yang tidak saja menyasar pengungsi, namun menargetkan pekerja kemanusiaan dan pihak-pihak yang membantu pengungsi.

“Terlalu dini untuk menyatakan bahwa situasi ini akan berdampak terjadinya konflik horizontal dan persekusi. Namun, otoritas tentu saja harus memitigasi kemungkinan-kemungkinan seperti ini,” ujar Nana.

Dilansir Antara, Rabu (27/12), Korlap aksi mahasiswa, Teuku Wariza, menyatakan rencana awalnya para mahasiswa ingin membawa pengungsi Rohingya ke kantor imigrasi. Namun karena ada perbaikan gedung, para pengungsi dipindahkan ke halaman kantor Kemenkumham Aceh.

“Belum ada tindakan, jadi kita minta imigrasi untuk mendeportasi Rohingya,” kata dia.

Dipicu Disinformasi

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai ada indikasi bahwa aksi para mahasiswa dipicu maraknya disinformasi dan misinformasi soal pengungsi Rohingya. Usman menambahkan, fenomena pembingkaian narasi negatif di media sosial (medsos) terhadap pengungsi Rohingya juga terjadi di Malaysia.

“Jelas ada indikasi kuat ke arah itu, ada banyak serangan kepada saya dan Amnesty yang didasarkan pada misinformasi dan disinformasi, termasuk kebencian kepada Rohingya,” kata Usman kepada reporter Tirto, Kamis (28/12/2023).

Usman menjelaskan, fenomena ini mirip dengan kampanye kebencian dan disinformasi masif di platform Meta yang terjadi pada Agustus 2017 di Myanmar. Dalam bulan-bulan menjelang kampanye politik itu, terjadi aksi luas dan sistematis berupa pembunuhan, pemerkosaan, dan pembakaran rumah etnis Rohingya di Myanmar.

Kala itu, kata Usman, pengguna Facebook di Myanmar dibanjiri konten bernarasi anti-Rohingya. Aktor yang terkait dengan militer Myanmar dan kelompok nasionalis radikal, membanjiri platform dengan konten-konten anti-muslim Rohingya.

“Memposting disinformasi yang mengklaim akan ada pengambilalihan oleh muslim yang akan datang. Dan menggambarkan Rohingya sebagai penjajah, akibatnya lebih dari 700.000 Rohingya melarikan diri dari Rakhine,” jelas Usman.

Atas peristiwa yang dilakukan mahasiswa di Aceh, Usman meminta pemerintah menyampaikan posisi yang jelas dan berpihak pada kaidah-kaidah kemanusiaan soal penanganan pengungsi. Termasuk, kata dia, terkait perlindungan bagi para pengungsi dari persekusi dan diskriminasi.

“Harus menjadi pemantik pemerintah Indonesia untuk semakin mendorong negara-negara di kawasan menguatkan fungsi SAR dan pemberian bantuan kemanusiaan pada pengungsi, terutama yang mengarungi lautan,” tegas Usman.

Sementara itu, Peneliti Ilmu Sosial dan Pegiat Gerakan Adat cum peneliti isu pengungsi Rohingya, Affan Ramli, menyatakan apa yang dilakukan para mahasiswa telah mencoreng wajah Aceh. Affan menduga, kejadian itu tidak murni berangkat dari pemahaman atas ketidakadilan, sekaligus bertolak dari kekuatan moral mahasiswa.

“Mahasiswa enggak paham sama sekali kebudayaan Aceh, terutama adat Laot dan adat Gampong yang sangat humanis, manusiawi, berperadaban,” ujar Affan kepada reporter Tirto, Kamis (28/12/2023).

Affan menyatakan, mahasiswa tidak memahami dengan baik persoalan pengungsi Rohingya. Alhasil, mereka mudah terprovokasi hoaks yang menyasar keberadaan pengungsi Rohingya di Aceh. Dia menilai aksi mahasiswa yang menggeruduk dan memindahkan para pengungsi, diduga memiliki dalang di belakangnya.

“Investigasi siapa yang mendanai aksi itu, publikasi ke masyarakat. Investigasi juga betulkah mereka mahasiswa atau bawa-bawa nama mahasiswa. Tracking sementara oleh teman-teman, beberapa nama penggerak aksi mahasiswa itu, enggak terdaftar di Kemendikbud,” terang Affan.

IMIGRAN ETNIS ROHINGYA TERDAMPAR DI ACEH

Sejumlah imigran etnis Rohingya memilih pakaian layak pakai di Meunasah usai dievakuasi warga di Desa Lhok, Kecamatan Muara Batu, Aceh Utara, Aceh, Selasa (15/11/2022). Sebanyak 110 imigran etnis Rohingya terdiri dari 72 laki-laki, 32 perempuan, lima anak-anak, dan seorang balita menggunakan perahu motor terdampar di perairan Krueng Mane Aceh. ANTARA FOTO/Rahmad/tom.

Bahaya Demonisasi

Dosen Program Studi Hubungan Internasional Universitas Presiden, Nino Viartasiwi, melihat ada upaya-upaya pihak tertentu melakukan demonisasi yang menimbulkan ketakutan (fear mongering) di masyarakat. Nino menilai, narasi-narasi kebencian pada pengungsi Rohingya terorganisir rapi di medsos dan menyasar para Gen-Z.

“Ini membuat mereka berbuat dan bergerak karena ada ide-ide dari sosial media bukan karena merespons isu permasalahan yang ada di sosial langsung,” kata Nino dalam konferensi pers yang diikuti Tirto secara daring, Kamis (28/12/2023).

Selain itu, dia menilai kondisi saat ini tidak lepas dari atmosfer politik yang terjadi di Indonesia. Nino melihat isu pengungsi Rohingya seakan menjadi umpan bagi para elite politik yang sewaktu-waktu bisa digoreng pihak tertentu.

“Tujuannya sekuritisasi isu pengungsi, dari isu yang tadinya bukan keamanan menjadi isu keamanan (negara),” lanjut Nino.

Dalam kesempatan yang sama, Project Coordinator Program JRS Indonesia, Hendra Saputra, menyatakan bahwa tuduhan-tuduhan miring kepada pengungsi Rohingya di medsos banyak yang berupa informasi palsu. Menurut dia, ada beberapa isu utama yang digaungkan soal pengungsi Rohingya.

Isu-isu itu meliputi tudingan bahwa pengungsi Rohingya memakan anggaran daerah, soal perilaku tidak etis pengungsi, dan tudingan pengungsi penguasaan tanah Aceh.

“Narasi counter mesti dibangun dengan gencar. Saya diskusi dengan mahasiswa, mereka bilang alasannya pengungsi melakukan pelecehan seksual pada warga lokal, itu juga isu yang terus hadir,” kata dia.

Hendra menilai aksi mahasiswa yang memindahkan para pengungsi berlangsung tidak sporadik. Hal itu merupakan agenda tersusun dan terencana yang tidak datang tiba-tiba. “Kita cek pastikan ke lapangan tidak ada pelecehan ke warga lokal oleh pengungsi,” ujar Hendra.

Penampungan sementara imigran Rohingya di Aceh

Sejumlah imigran etnis Rohingya yang dipindahkan dari Pantai Ujong Kareung Sabang menunggu pendataan setibanya di tempat penampungan sementara di gedung eks kantor Imigrasi, Punteuet, Lhokseumawe, Aceh, Kamis (23/11/2023).ANTARA FOTO/Rahmad/nym.

Pengungsi Terus Dijaga

Juru Bicara Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) Indonesia, Mitra Salima Suryono, menuturkan penampungan Rohingya yang didatangi mahasiswa diisi kelompok rentan, yang mayoritasnya adalah anak-anak dan perempuan. Dia menyayangkan kejadian ini, karena membuat pengungsi tersentak dan mengalami trauma.

“UNHCR masih sangat mengkhawatirkan keselamatan para pengungsi dan menyerukan kepada aparat penegak hukum setempat untuk mengambil tindakan darurat guna memberikan perlindungan bagi semua individu dan staf kemanusiaan yang putus asa,” kata Mitra melalui keterangan resmi, Kamis (28/12/2023).

UNHCR menilai, aksi mahasiswa terhadap para pengungsi ini bukanlah sebuah tindakan yang terisolasi, namun merupakan hasil dari kampanye online yang terkoordinasi yang berisi misinformasi, disinformasi, dan ujaran kebencian terhadap pengungsi.

“Dan upaya untuk merusak upaya Indonesia dalam menyelamatkan nyawa orang-orang yang putus asa dalam kesulitan di laut,” tambah dia.

Pertengahan Desember 2023 ini, pemerintah Provinsi Aceh menyebut ada sebanyak 1.684 pengungsi Rohingya di Tanah Rencong. Mereka terseber di delapan titik pengungsian dan merupakan gelombang pengungsi Rohingya yang datang sejak November.

Pemprov Aceh menilai, ada kewajiban bagi pemerintah daerah menampung para pengungsi yang sudah mendarat dari laut agar ditempatkan di lokasi pengungsian. Hal ini sesuai dengan Perpres Nomor 125 tahun 2016.

Namun, pemerintah pusat harus ambil alih nasib pengungsi Rohingya dengan menentukan berapa lama mereka bisa ditempatkan ke lokasi yang layak, serta nasib kehidupan mereka ke depan.

Menanggapi aksi mahasiswa memindahkan paksa pengungsi Rohingya, Menkopolhukam, Mahfud MD, menyatakan pemerintah pusat sudah mencarikan tempat aman agar pengungsi Rohingya bisa dievakuasi.

“Hari ini saya sudah mengambil keputusan dan tindakan agar pengungsi-pengungsi Rohingya itu ditempatkan di satu tempat yang aman. Satu ditempatkan di Gedung PMI (Palang Merah Indonesia), sebagian lagi ditempatkan di gedung yayasan Aceh,” kata Mahfud kepada awak media di Sidoarjo, Kamis (28/12/2023).

Negara, kata dia, tidak mungkin membiarkan orang yang eksil terkatung-katung. Indonesia harus memberikan tempat pengungsian sementara walaupun tidak meratifikasi konvensi pengungsian. Dia menilai, negara memiliki keterikatan dengan kemanusiaan.

“Kita tampung dulu sementara, nanti dikembalikan melalui PBB. Karena yang punya aturan PBB,” tambah Mahfud.

Baca juga artikel terkait ROHINGYA atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Politik
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz