Menuju konten utama

Perbedaan Sikap Indonesia atas Palestina, Xinjiang, dan Rohingya

Sejumlah pakar menilai jawaban atas kontradiksi sikap Indonesia terkait Palestina, Xinjiang, dan Rohingya yang cukup mencolok ini memiliki banyak sisi.

Perbedaan Sikap Indonesia atas Palestina, Xinjiang, dan Rohingya
Para pengungsi imigran Rohingya yang terdampar di pantai Lamreh Kabupaten Aceh Besar masih menempati Balee Meurseuraya Aceh (BMA) di Banda Aceh, Aceh, Selasa (12/12/2023). ANTARA FOTO/Irwansyah Putra/nz.

tirto.id - Sebuah perahu kayu yang penuh sesak membawa 250 orang warga Rohingya berusaha mendarat di Provinsi Aceh, Indonesia pada 16 November lalu. Namun setibanya di darat, mereka tak disambut dengan baik, bahkan penduduk lokal sempat menolak perahu tersebut.

Rohingya adalah kelompok etnis minoritas Myanmar yang beragama Islam. Ribuan warga Rohingya setiap tahunnya terpaksa mempertaruhkan nyawa untuk menghindari penganiayaan dan pembunuhan brutal.

Dunia terkejut menyaksikan perlakuan masyarakat Indonesia terhadap pengungsi Rohingya. Kondisi tersebut membuat sejumlah pengamat garuk-garuk kepala. Mengapa Indonesia, negara mayoritas muslim dan pendukung setia Palestina, menolak menerima pengungsi dari Rohingya? Sebagian pihak menilai bahwa situasi ini sama membingungkannya dengan sikap diam Indonesia terhadap etnis Uighur di Cina.

Sejumlah pakar menilai bahwa jawaban atas kontradiksi sikap Indonesia yang cukup mencolok ini memiliki banyak sisi. Alasan yang melatarbelakangi hal ini mungkin lebih rumit daripada apa yang tampak di permukaan.

Menurut Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, dosen di University of Queensland dan Griffith University, sikap Indonesia terhadap etnis Uighur dan Rohingya dibatasi oleh “kompleksitas hubungan luar negeri dan politik di dalam negeri.”

Cina merupakan variabel signifikan dalam permasalahan ini. Faktor lain yang memengaruhi perbedaan sikap ini berdasarkan analisis dan informasi yang dikumpulkan oleh tim CGSP yaitu minimnya kapasitas manajemen pengungsi, tidak adanya dukungan dunia internasional, dan kurangnya informasi atas konflik yang dihadapi oleh muslim Uighur maupun Rohingya.

Pertama, kita perlu memahami awal mula dan alasan Indonesia berjanji memberikan dukungan yang tegas dan tak tergoyahkan untuk Palestina. Menurut peneliti CSIS, Muhammad Habib Abiyan Dzakwan, membawa isu Palestina ke Indonesia seperti membawa isu Cina ke orang Amerika. Isu ini dapat mempersatukan seluruh warga negara dan menjamin dukungan bipartisan kelompok nasionalis dan agama di Indonesia.

Palestina mampu mempertahankan tempat istimewanya di hati rakyat Indonesia karena sejarah kolonial dan akses informasi yang cukup luas selama puluhan tahun seputar masalah tersebut. Ini adalah faktor utama yang tidak ada pada (kasus) Uighur dan Rohingya.

Palestina adalah negara pertama yang mendukung kemerdekaan Indonesia sejak 1944, setahun sebelum deklarasi kemerdekaan secara resmi pada 17 Agustus 1945. Palestina juga aktif melobi negara-negara Arab lainnya untuk mengakui kemerdekaan Indonesia.

Bagi Indonesia, keberadaan Israel yang kemudian menimbulkan perpindahan massal dan perampasan hak milik warga Palestina pada peristiwa Nakba 1948 merupakan praktik kolonialisme. Dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955, Indonesia menolak usulan untuk mengundang Israel. Hingga saat ini, Indonesia belum mengakui Israel sebagai sebuah negara.

Seiring berjalannya waktu, khususnya setelah Reformasi 1998, kelompok muslim konservatif Indonesia menumbuhkan kebiasaan memanfaatkan isu Palestina. Isu ini biasanya digunakan untuk berkampanye setiap pemilu demi mendapatkan suara dan kekuatan politik.

Karena politisasi ini, persepsi terhadap isu Palestina bergeser menjadi isu domain kelompok konservatif muslim dan ultra-konservatif. Kelompok sekuler, non-muslim, dan kelompok muslim moderat menghindari pembicaraan tentang konflik di Palestina karena enggan dianggap bersekutu dengan kelompok ultra-konservatif.

Namun, situasi terbaru pemboman Israel di Gaza – yang disiarkan secara langsung di media sosial – telah mengingatkan masyarakat akan inti masalah kolonialisme di Palestina bukanlah agama. Hal ini memicu gelombang dukungan baru, termasuk dari generasi muda yang melek teknologi. Dua juta masyarakat Indonesia berunjuk rasa pada 5 November 2023 untuk menunjukkan solidaritasnya terhadap Palestina.

Berita di negara-negara Arab menulisnya sebagai “demonstrasi pro-Palestina terbesar yang pernah terjadi sejauh ini.” The Jakarta Post, surat kabar berbahasa Inggris terbesar di Indonesia, menyebutnya demonstrasi lintas agama yang menekankan dukungan dan solidaritas untuk Palestina dari Indonesia.

“Palestina tidak lagi dianggap sebagai isu agama, tapi masalah kemanusiaan,” ucap Ahmad, dosen University of Queensland. “[Partai politik yang berkuasa di Indonesia] PDIP, bersama dengan golongan anti-imperialis Sukarno kini melihat masalah Palestina sebagai masalah pendudukan, di mana rakyat Palestina tidak diberi hak untuk menentukan nasibnya sendiri,” lanjutnya menjelaskan.

Oleh karena itu, kenangan akan penjajahanlah yang menopang dukungan masyarakat Indonesia untuk Palestina. Peneliti CSIS, Abiyan, menyarankan masalah Palestina sudah lama dikenal masyarakat Indonesia mulai dari rezim presiden pertama Sukarno. Inilah sebabnya mengapa orang-orang dari generasi ke generasi, dan dari beragam latar belakang, di daerah pedesaan maupun perkotaan, lebih akrab dengan hal tersebut.

Sementara informasi terkait masalah Uighur dan Rohingya baru muncul belakangan. Bahkan dalam kelompok yang memiliki kesadaran (isu), keduanya dipandang sebagai kasus represi yang dilakukan oleh negaranya sendiri. Artinya, kasus Uighur dan Rohingya dianggap sebagai masalah sosial dalam negeri dan bukan praktik kolonialisme yang didukung oleh dunia Barat.

Pada 2019, Cina mengundang Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersama dua orang organisasi Islam terbesar di negara ini, Muhamadiyah dan Nahdlatul Ulama, untuk mengunjungi Xinjiang. Ini adalah kunjungan yang, menurut The Wall Street Journal, dianggap sebagai upaya Cina untuk membungkam umat Islam di Indonesia.

Di satu sisi, mereka tidak menemukan kamp konsentrasi mirip Nazi seperti yang diberitakan oleh media Barat. Namun, di sisi lain, mereka mengakui adanya hambatan untuk melakukan praktik keagamaan di provinsi tersebut.

“Masalahnya bagi kami adalah saudara-saudara muslim kami di sana tidak mendapatkan hak penuh, khususnya dalam hal ibadah. Ini menjadi masalah bagi kami,” ungkap Masduki Baidlowi dari perwakilan Nahdlatul Ulama, seperti dilansir BBC Indonesia. “Jika Anda berhijab dan keluar ruangan, Anda dianggap radikal. Jika Anda radikal, maka Anda berhak dikirim ke pusat pendidikan ulang,” ujar Ketua Hubungan Internasional MUI, Muhyiddin Junaidi, dalam laporan yang sama.

Delegasi tersebut menyangkal bahwa mereka telah “dibeli” oleh Cina. Mereka mengatakan bahwa mereka menggunakan “diplomasi lunak” untuk menekan Cina.

Indonesia secara resmi sebenarnya mendukung Uighur dan Rohingya. “Hanya saja selama 10 tahun terakhir Indonesia memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Cina, dan hal ini menghambat posisi Indonesia (tentang Uighur),” kata Ahmad.

Sementara itu, mengenai Rohingya, Indonesia sebenarnya merupakan pendukung vokal. Negara dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara ini acap kali memimpin diskusi mengenai Rohingya di forum ASEAN dan PBB.

Indonesia juga telah menerima ribuan pengungsi Rohingya sejak 2009 dengan hampir 40 pendaratan kapal, sebagian besar di Aceh, menurut data yang diberikan oleh Azharul Husna, dari KontraS Aceh. Pada 2020, nelayan Aceh dengan heroik menyelamatkan hampir seratus pengungsi Rohingya, menentang pihak berwenang.

Namun, kedatangan pengungsi baru-baru ini ditolak oleh beberapa warga Aceh dalam peristiwa yang jarang terjadi karena kamp yang penuh sesak dan perselisihan sosial dengan populasi pengungsi yang sudah ada di wilayah tersebut.

“Penolakan ini memerlukan pemahaman atas kompleksitas situasi di tingkat lokal, provinsi, dan nasional,” ujar Gading Gumilang, juru bicara Jesuit Refugee Service (JRS) kepada CGSP.

Komunitas lokal telah menghadapi tantangan selama bertahun-tahun dalam menangani pengungsi. Kebingungan, ketakutan, kurangnya dukungan dari pihak berwenang, dan terbatasnya sumber daya adalah beberapa faktor penyebab penolakan.

“Rasa iba orang-orang masih terlihat saat proses pemberangkatan para pengungsi kembali ke kapal, makanan dan pakaian masih disediakan,” ucap Gilang.

Beberapa pengungsi Palestina juga mengalami penolakan di Indonesia. Untuk itu, siapa yang cukup “beruntung” untuk mencapai Indonesia dan diizinkan tinggal, hidupnya belum tentu lebih baik. Hal ini sebenarnya menunjukkan bahwa permasalahan utama terletak di kapasitas pengelolaan pengungsi.

Semua pengungsi di Indonesia hidup dalam ketidakpastian, menunggu pemukiman tanpa hak untuk bekerja atau menikah, dan memiliki akses terbatas terhadap pendidikan. Hal ini karena, Indonesia hanyalah negara transit dan bukan merupakan pihak yang menyepakati 1951 UN Refugee Convention.

Indonesia telah berulang kali menyerukan negara-negara maju untuk meningkatkan tanggung jawab dan bantuan mereka dengan menerima pengungsi. “Sistem penganggaran kami dan sistem perundang-undangan nasional tidak dirancang sedemikian rupa sehingga belum memungkinkan kita untuk membantu pengungsi,” ujar Direktur Jenderal Kerjasama Multilateral Kementerian Luar Negeri, Febrian Alphyanto Ruddyard.

Gumilang, juru bicara JRS, sekali lagi menyerukan kepada komunitas internasional untuk mengingat tanggung jawab bersama akan pengungsi. “Melepaskan pengungsi ke laut bukanlah solusi yang manusiawi,” kata dia.

Ia menambahkan, “Ini saatnya berkolaborasi untuk saling melengkapi dan mengambil keputusan di tingkat nasional mengenai kondisi di lapangan.”

Dengan kata lain, Palestina mampu mempertahankan tempat istimewanya di Indonesia karena aspek kolonialisme yang dihadapinya dan informasi yang dapat diakses selama puluhan tahun seputar masalah tersebut. Inilah faktor-faktor utama yang tidak ada di Uighur dan Rohingya, di mana justru sarat dengan kompleksitas (hubungan) Cina dan kesulitan pengungsi yang lebih besar.

Mengomentari unjuk rasa pro-Palestina yang belum pernah terjadi sebelumnya di Indonesia bulan lalu, Ahmad menyimpulkan bahwa, “[Ini] adalah hasil upaya diplomasi yang gigih dan tumbuhnya kesadaran atas isu-isu kemanusiaan dalam politik dunia,” yang kini didukung oleh kelas menengah Milenial Indonesia yang kritis.

Catatan:Artikel ini tayang pertama kali di CGSP oleh Antonia Timmerman dengan judul Explaining Indonesia’s Different Response To Palestine, Xinjiang, and Myanmar’s ROhingya.

Baca juga artikel terkait ROHINGYA atau tulisan lainnya dari The China Global South Project

tirto.id - Politik
Penulis: The China Global South Project
Editor: Dwi Ayuningtyas