tirto.id - Seruan aksi boikot terhadap produk-produk terafiliasi maupun pro Israel menggema seantero dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Aksi ini merespons perang antara Hamas (Palestina) dengan Israel di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023, yang menyebabkan ribuan korban jiwa melayang.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan sudah mengeluarkan fatwa haram mendukung Israel dan tindakan agresinya ke Palestina. MUI juga mewajibkan umat Islam untuk mendukung Palestina dalam perjuangan kemerdekaannya.
Sebagai bentuk nyata pengharaman dukungan kepada Israel, MUI meminta umat Islam untuk menghindari segala transaksi dan penggunaan produk Israel atau yang terafiliasi pada negara tersebut.
Sejak fatwa haram MUI itu keluar, beberapa daftar produk boikot pun berseliweran di media sosial mulai dari Facebook, Instagram, X, dan lainnya. Produk yang diboikot mulai dari ritel makanan cepat saji, produk customer goods, produk penyedap makanan, hingga produk minuman.
“Pemerintah harus cepat bertindak, dengan melakukan observasi, yang dibilang produk yang terafiliasi ya pemerintah harus buktikan,” ujar Ketua Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo), Roy Mandey, kepada Tirto, Selasa (28/11/2023).
Roy mengatakan terjadi penurunan penjualan sejak adanya gerakan boikot produk tertentu yang dituding pro-Israel lewat media sosial. Penjualan produk dengan merek-merek tertentu itu, bahkan telah merosot 15-20 persen dalam waktu kurang dari sebulan.
“Itu produk yang disebut di sosmed itu sudah turun 15-20 persen penjualannya,” ujar dia.
Aprindo sendiri telah menyesuaikan proyeksi pertumbuhan kinerja ritel kuartal IV-2023 menjadi lebih rendah dari target sebelumnya. Pada awalnya, Roy optimistis kinerja ritel dapat tumbuh sekitar 6 persen pada kuartal IV-023. Namun, ekspektasi itu harus diturunkan menjadi sekitar 3,5 persen - 4 persen.
“Jadi secara total full year mungkin hanya sekitar 4 persen" tukas dia.
Di sisi lain, Roy mengatakan, hak konsumen akan terancam imbas seruan boikot produk-produk tertentu yang memiliki keterkaitan dengan eskalasi konflik Hamas-Israel. Dia menganalogikan, fatwa MUI akan menyulitkan kebutuhan tertentu seperti produk customer goods.
Misalnya, bayi membutuhkan produk susu tertentu yang tidak bisa digantikan dengan produk lain yang dikecualikan dalam fatwa yang beredar. Dalam kondisi demikian, menurut Roy, pemerintah harus adil membaca dan melihat situasi dan kondisi, dan diperlukan langkah yang adaptif dalam merespons situasi.
Misalnya, kata dia, bagaimana menggerakkan misi kemanusiaan bersamaan dengan melihat dari sisi konsumen. Ia menyayangkan pengabaian hak konsumen dan dampak domino ke depan.
“Pengurangan tenaga kerja atau PHK, kalau produktivitas turun ya pasti hubungannya secara langsung, sementara tenaga kerja terus tumbuh," ucap dia.
Hal ini yang secara ekosistem perlu dilihat pemerintah secara adil, mulai langkah misi perdamaian dan kemanusiaan yang mengikutsertakan masyarakat, sehingga mempertimbangkan hak konsumen.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta W Kamdani, membeberkan bahwa aksi boikot akhir-akhir ini tidak memiliki kepastian, apakah produk yang diisukan benar mendukung Israel atau tidak. Menurut dia, tidak adanya keterangan secara resmi daftar produk yang diharamkan membuat beberapa produk yang tidak berkaitan ikut terimbas.
“Ini kan sekarang yang keluar nama-nama brand dan lain-lain yang sebenarnya enggak secara resmi seperti itu,” kata Shinta.
Shinta sendiri mendapati bahwa produk Indonesia justru ikut terdampak aksi boikot akibat ketidakpastian daftar boikot dari pemerintah. “Malah paling lucunya, produk buatan Indonesia sendiri bisa dianggap sebagai kaitannya dengan produk Israel padahal itu enggak ada kaitannya sama sekali," kata dia.
Saat ini, kata Shinta, Apindo akan mencoba meluruskan hoaks yang beredar, yang mana telah berdampak pada penjualan. “Nanti kita takutnya berdampak pada PHK dan lain-lain," ucap dia.
Berdampak ke Dalam Negeri
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE), Mohammad Faisal, mengamini bahwa aksi boikot akan jelas berdampak di dalam negeri. Karena produk-produk yang disinyalir mendukung agresi militer Israel itu adalah produk mendunia dan sudah beragam jenisnya yang digunakan juga oleh konsumen Indonesia.
"Jadi bukan hanya produk-produk kecil atau pinggiran atau yang bukan merupakan produk-produk utama dari teknologi sampai produk seperti makanan dan minuman," kata Faisal kepada Tirto, Selasa (28/11/2023).
Oleh karenanya, untuk meminimalisasi dampak terhadap industri ritel dalam negeri perlu ada penetapan produk-produk mana saja yang jelas mendukung agresi terhadap Israel. Hal ini menjadi penting agar kemudian memilah produk yang masih belum terbukti.
Faisal khawatir, jika hanya mengandalkan informasi dari media sosial, ini bisa menjadi bola liar karena tidak ada panduan jelas. Sehingga harus dipilah produk-produk mana saja yang sifatnya masih belum terbukti.
“Bahkan bisa juga masuk hoaks atau bisa juga dipakai oleh para pesaing bisnis untuk menjatuhkan mereknya, itu kan malah menjadi tidak sehat,” kata Faisal.
Kendati begitu, kata Faisal, bukan berarti boikot ini harus dihentikan juga. Karena memang ada beberapa produk itu sudah jelas jelas mendukung terhadap agresi militer Israel. Tapi untuk meminimalisir dampak dalam negeri, tetap perlu kalkulasi investigasi produk mana yang sudah pasti diboikot.
“Sehingga meminimalis dampak nya di dalam negeri oleh pemerintah,” kata dia.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, menambahkan secara tren saat ini memang ada penurunan terhadap produk-produk langsung dari aksi boikot di dalam negeri. Hal ini tentu memukul sebagian pelaku ritel di Indonesia.
“Kalau melihat itu pasti turun ya. Tapi tidak semua komoditas dan produk. Tapi saya kira ada produk produk langsung turun lumayan lah,” kata Tauhid kepada Tirto, Selasa (28/11/2023).
Tauhid menuturkan hal pertama mesti dilakukan adalah klarifikasi produk mana saja yang terafiliasi terhadap Israel. Seluruh brand-brand pemegang nama yang dianggap pro terhadap Israel wajib menyampaikan hal tersebut supaya ada titik terang.
“Baik pemegang saham, bisnis, SDM dan lainnya tidak berkaitan dengan Israel. Jadi masing-masing harus sampaikan. Jadi kalau tidak ada yang menyampaikan itu sesungguhnya punya keterkaitan," kata dia.
Ia menambahkan, “Jadi masyarakat tahu clear kalau mereka tidak beli tidak memiliki dampak lain.”
Sejumlah perusahaan yang diduga terafiliasi dengan Israel sebenarnya sudah membantah. Corporate Communication Director Danone Indonesia, Arif Mujahidin, menyatakan bahwa pihaknya sebagai entitas swasta, tidak memiliki afiliasi dengan politik di mana pun.
Arif mengatakan Danone memiliki misi untuk meningkatkan kesehatan masyarakat melalui produk makanan dan minuman. Dia menjelaskan, Danone berkomitmen untuk menjadikan bisnis sebagai kekuatan untuk mengalirkan kebaikan kepada masyarakat.
Arief bilang Danone terus berkomitmen untuk mengembangkan investasinya di Indonesia demi turut membantu ekonomi, sosial, dan kesehatan bangsa Indonesia. Kemudian, ditegaskan pula bahwa Danone tidak memiliki pabrik atau operasional yang berkedudukan di Israel.
Sementara pihak Coca-Cola Europacific Partners (CCEP) Indonesia melalui Public Affairs, Communication & Sustainability Director for Indonesia and PNG, Lucia Karina, menerangkan jika segala produk Coca-Cola di Indonesia selama ini diproduksi oleh orang lokal dan menggunakan produk asli Indonesia. Ia pun turut mendoakan agar segera tercipta perdamaian dan kedamaian di dunia.
“Yang jelas gini, apa pun yang terjadi, semua produk-produk itu diproduksi oleh orang-orang Indonesia dengan menggunakan produk lokal Indonesia untuk Indonesia. Itu aja,” sambungnya.
“Yang jelas, namanya dunia selalu bergerak dengan segala itu. Yang penting mari kita doakan untuk perdamaian dan kedamaian," lanjut Lucia.
Bagaimana Respons Pemerintah?
Terlepas dari itu, Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, menegaskan pemerintah sendiri tidak melarang atau memboikot produk-produk yang dianggap pro terhadap agresi militer Israel terhadap Palestina. Ia menjelaskan, hak memboikot ada di masyarakat.
“Saya kira jelas, terang, tidak abu-abu, kami tak larang produk mana pun, selama sesuai ketentuan yang ada, silakan saja, tapi masyarakat itu hak mereka, silakan," kata dia saat Rapat Kerja Bersama Komisi VI DPR RI, Jakarta, Senin (27/11/2023).
Zukifli merespons terkait aksi boikot itu saat anggota Komisi VI DPR RI menanyakan soal respons pemerintah terhadap kondisi akhir-akhir ini, termasuk soal daftar produk-produk apa saja yang diboikot masyarakat di Indonesia.
Ia menegaskan, pemerintah tak melakukan boikot dari produsen mana pun.Selama produk yang dijual mematuhi aturan di Indonesia, maka tidak ada larangan.
“Soal daftar produk-produk yang diboikot, pemerintah tidak memboikot produk mana pun. Kalau ada pendapat masyarakat, silakan saja, pemerintah tak ada melarang," ucap dia.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Isy Karim, mengatakan bahwa penyusunan daftar boikot terhadap produk-produk yang terafiliasi dengan Israel harus dilakukan secara selektif agar informasi yang beredar di masyarakat tidak setengah-tengah.
Karim menyampaikan, fatwa MUI tentang pelarangan penggunaan produk yang terafiliasi dengan Israel sejalan dengan sikap pemerintah yang membela kemerdekaan Palestina. Namun demikian, perlu kajian yang lebih dalam untuk memilih produk mana yang terafiliasi langsung dan tidak.
“Boikot itu sifatnya harus secara selektif, syarat ini agar tidak membuat yang beredar di media sosial itu menjadi liar. Nah ini yang perlu kita ini kan lebih dalam, produk mana yang terafiliasi langsung dan tidak langsung," ujar Karim.
Menurut Karim, produk-produk yang beredar di masyarakat tidak berhubungan langsung dengan agresi Israel. Hubungan Indonesia dan Israel pun hanya sebatas hubungan dagang business to business (B to B) dan tidak memiliki hubungan diplomatik (G to G).
Lebih lanjut, daftar produk yang beredar di media sosial merupakan produk-produk dalam negeri, di mana tenaga kerjanya berasal dari Indonesia. Oleh karenanya, Kemendag akan lebih mendalami produk mana yang benar-benar terafiliasi dengan Israel.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz