tirto.id - Hati Farida Hariyani teriris melihat sejumlah bocah terkulai lemas telanjang dada. Angin pantai di Desa Kulam, Kecamatan Batee, Kabupaten Pidie, pikir Farida, menusuk ke dalam kulit mungil bocah-bocah itu. Mereka adalah bagian dari para pengungsi Rohingya yang berlabuh ke wilayah Pidie pada Minggu (19/11/2023).
Perempuan yang menjabat sebagai Direktur Pengembangan Aktivitas Sosial Ekonomi Aceh (PASKA) itu, akhirnya memutuskan menghimpun warga setempat untuk menyumbangkan baju dan makanan seadanya. Terutama, baju layak untuk menghangatkan anak-anak yang ada dalam rombongan pengungsi.
“Kasihan itu anak-anak awalnya keanginan dingin di pantai juga pada tidak ada baju. Masyarakat (Pidie) pun kekurangan namun kemanusiaan ini kan,” kata Farida dihubungi reporter Tirto, Jumat (24/11/2023).
Kedatangan para pengungsi Rohingya ini mulanya mendapat penolakan oleh warga. Karenanya, mereka sempat terlunta-lunta tanpa kepastian di pinggir pantai. Belakangan, para pengungsi Rohingya gelombang tiga di Pidie sepekan terakhir ini, akhirnya disediakan tenda pengungsian oleh pemerintah daerah Pidie.
Menurut Farida, penolakan warga harus dilihat dari sudut pandang sosial yang ada. Masyarakat di Pidie, kata Farida, bukan menolak karena tidak ingin membantu pengungsi Rohingya. Namun, keadaan masyarakat yang sedang sulit secara ekonomis, ditambah absennya peran pemerintah pusat membuat warga khawatir jika harus menerima pengungsi Rohingya.
“Kami dari nenek moyang kami penerima tamu yang baik, tapi provokator berkata lain. Penolakan utama kan justru pemerintah, pusat tidak ada kejelasan dan kebijakan untuk bagaimana Aceh bisa menampung Rohingya,” ujar Farida.
Warga khawatir menerima pengungsi Rohingya justru akan menambah beban hidup mereka. Akhirnya warga berpikir, kata Farida, daripada pengungsi Rohingya kekurangan bantuan dan justru mengalami perburukan kondisi kesehatan, maka lebih baik dikembalikan saja. Namun, ia menegaskan bahwa warga Pidie tetap akan membantu semampunya ketika para pengungsi Rohingya ini mendarat di bibir pantai.
“Mereka menolak, bukan tidak terima, menolak untuk agar Rohingya ke tempat lebih selamat,” ungkap Farida.
Farida merasa heran dengan sikap pemerintah pusat yang terkesan angkat tangan dengan persoalan pengungsi Rohingya. Padahal, ini masalah internasional yang tidak bisa samata-mata dibebankan semua pada pemerintah daerah Aceh.
“Jangan berikan beban yang menyudutkan kepada orang Aceh padahal ini tanggung jawab pemerintah,” tegas dia.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Tirto, dalam sepekan terakhir terjadi gelombang kedatangan pengungsi Rohingya di sejumlah daerah di Aceh. Awalnya, pada Selasa dan Rabu (14-15/11/2023) pekan lalu, dua kapal mendarat di Kabupaten Pidie membawa sekitar 343 pengungsi.
Menyusul, Kamis (16/11/2023), kapal pengungsi Rohingya kembali mendarat di Desa Aron, Kecamatan Muara Batu, Kabupaten Aceh Utara. Kapal itu membawa 249 orang dan sempat mendarat di Bireuen, namun warga menolak dan mendorong kembali kapal itu ke lautan.
Kapal itu akhirnya mendarat di Aceh Utara, namun warga di sana juga menolak mereka. Warga sempat membantu logistik dan memperbaiki perahu, sebelum kapal tersebut dilarung kembali. Penolakan ini salah satunya disebut kekapokan warga karena pengungsi kerap kabur dari kamp pengungsian.
Lalu pada Minggu (19/11/2023) dini hari, kapal yang membawa 241 pengungsi Rohingya mendarat di Desa Kulee, Kecamatan Batee, Kabupaten Pidie. Kapal itu masuki perairan Pidie menjelang pagi.
Siangnya, sebuah kapal lain yang membawa 249 warga Rohingya mendarat di Desa Lapang Barat, Kecamatan Gandapura, Kabupaten Bireuen. Rombongan ini merupakan mereka yang sempat ditolak di Aceh Utara.
Teranyar, Selasa (21/11/2023), kapal pengungsi Rohingya lainnya mendarat di Sabang. Kapal ini mengangkut sekitar 219 pengungsi yang didominasi anak-anak dan perempuan. Adapun jumlah pasti pengungsi Rohingya yang datang pada periode 14-21 November 2023 tersebut masih belum selaras. Data yang dihimpun beberapa lembaga dan organisasi kemanusiaan, masing-masing memiliki beberapa perbedaan jumlah yang tipis.
Pemerintah Jangan Mengelak
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) Aceh, Azharul Husna, menyatakan jumlah pengungsi Rohingya yang datang ke Tanah Rencong sepekan terakhir ini sedikitnya 1.200 orang. Menurut Nana, sapaan akrabnya, para pengungsi yang datang sudah tidak lagi berada di bibir pantai atau masih terombang-ambing di perairan.
“Jumlahnya sekitar 1.200-an dan sudah terkonsentrasi di tiga penampungan. Ada di kantor eks imigrasi Lhokseumawe, di desa Kulam kabupaten Pidie, dan di Gedung Mina Raya Kabupaten Pidie,” kata Nana dihubungi reporter Tirto, Jumat (24/11/2023).
Nana menilai, riak-riak penolakan warga Aceh pada pengungsi Rohingya akibat ketidakhadiran pemerintah pusat dalam permasalahan ini. Pemerintah daerah juga dinilainya lambat dalam menangani pengungsi.
“Selain itu, ada oknum-oknum tertentu yang sangat aktif mempromote stigma-stigma negatif soal pengungsi Rohingya,” lanjut Nana.
Menurut dia, alasan pemerintah pusat bahwa pengungsi Rohingya bukan tanggung jawab Indonesia sangat mencoreng kemanusiaan. Hal ini merespons pernyataan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal, bahwa Indonesia tak memiliki kewajiban untuk menerima pengungsi Rohingya. Alasannya, Indonesia tidak ikut meratifikasi Konvensi 1951 soal pengungsi.
“Tentu saja pernyataan seperti itu mencoreng wajah Indonesia, jadi seperti menaruh arang ke wajah sendiri. Begitu juga pernyataan-pernyataan lain misalnya seolah-olah Indonesia tidak punya kewajiban ini kan amat sangat disayangkan,” kata Nana.
Padahal, Indonesia memiliki Peraturan Presiden (Perpres) 125/2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Menurut Perpres ini, pengungsi yang ditemukan di daratan harus diamankan oleh kepolisian, sementara jika mereka ditemukan di perairan, terutama dalam kondisi kedaruratan, maka tanggung jawab koordinasi ada pada Basarnas.
“Sementara di pemerintah daerah jelas, kewajibannya hanya menunjuk tempat yang dapat digunakan untuk penempatan pengungsi,” jelas Nana.
Ia menyatakan, bibit-bibit konflik sosial antara warga dan pengungsi Rohingya seharusnya menjadi sinyal pemerintah untuk segera turun tangan. Perpres 125/2016 perlu dijalankan sekaligus diperjelas teknis implementasinya dalam kasus pengungsi Rohingya.
Dalam konferensi pers daring, Selasa (21/11/2023), Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyampaikan meski tidak meratifikasi konvensi pengungsi, Indonesia berkewajiban melindungi mereka yang mengulur tangan. Mengusir para pengungsi Rohingya sama saja mengabaikan rasa kemanusiaan.
Selain itu, Indonesia masih memiliki banyak instrumen HAM, seperti pernyataan-pernyataan internasional dan telah meratifikasi pelbagai konvensi kemanusiaan.
Misalnya, prinsip non-refoulement, ketentuan-ketentuan penyelamatan nyawa pada hukum laut atau UNCLOS, ketentuan-ketentuan pada Bali Process dan konvensi-konvensi HAM yang melindungi perempuan, anak-anak, dan kelompok disabilitas.
Indonesia juga bisa mengambil peran dalam kepemimpinan di Asia Tenggara (ASEAN). Yakni, dengan memastikan bahwa lima poin konsensus yang Indonesia prakarsai di dalam pertemuan tingkat tinggi ASEAN benar-benar diterapkan pelaksanaannya
“Syukur-syukur bisa ada semacam resolusi di tingkat Dewan Keamanan (PBB), untuk memastikan bahwa kejahatan junta di Myanmar terhadap oposisi, terhadap minoritas, terhadap eksodus Rohingya,” ujar Usman.
Respons Pemerintah dan PBB
Reporter Tirto sudah mencoba menghubungi Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal dan Staf Khusus Mensesneg, Faldo Maldini, ihwal tindakan intervensi pemerintah terhadap pengungsi Rohingya di Aceh. Namun, hingga berita ini dirilis, pesan yang dilayangkan ke ponsel keduanya hanya berstatus terkirim.
Sementara itu, Pj Gubernur Aceh, Achmad Marzuki, meminta kepada masyarakat Aceh untuk bersabar terkait kedatangan pengungsi Rohingya. Menurut dia, pengaturan soal permasalahan ini sedang digodok bersama pihak-pihak terkait.
“Sudah diimbau oleh bupati dan diharapkan juga masyarakat bisa bersabar sambil mengatur semuanya,” kata Achmad Marzuki, di Banda Aceh, Rabu (22/11/2023) sebagaimana dikutip Antara.
Menurut dia, penanganan pengungsi Rohingya tersebut merupakan urusan kemanusiaan. Marzuki menambahkan, pihak Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) sejauh ini telah berkomunikasi dengan Kemenkumham terkait penempatan para pengungsi tersebut.
“Sudah ada surat dari Kemenkumham untuk penempatan pengungsi Rohingya, untuk sementara agar dibantu oleh IOM (Organisasi Internasional untuk Migrasi) dan UNHCR,” tutur Marzuki.
Di sisi lain, Juru Bicara Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) Indonesia, Mitra Salima Suryono, menuturkan pihaknya selalu berkoordinasi dengan pemerintah pusat dan berterima kasih atas arahan yang diberikan. Pengungsi Rohingya yang tiba di Aceh, kata dia, menghadapi kondisi sulit setelah melakukan perjalanan laut berbahaya selama berminggu-minggu.
Banyak di antara para pengungsi itu adalah perempuan dan anak-anak yang rentan dan membutuhkan perlindungan serta uluran bantuan.
“Karena itu kami berharap agar semangat solidaritas dan kemanusiaan warga dapat terus disampaikan kepada para pengungsi,” kata Mitra dihubungi reporter Tirto, Jumat (24/11/2023).
Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Urusan HAM, Thomas Andrews, memuji Indonesia yang bersedia memberikan keamanan, perlindungan, dan dukungan kepada pengungsi Rohingya. Ia mendesak negara-negara di kawasan untuk mengikuti jejak Indonesia dengan membantu pengungsi Rohingya yang tiba ke wilayah mereka dengan aman.
“Pemerintah Indonesia patut diberi ucapan selamat karena kembali menjunjung tinggi hak-hak etnis Rohingya,” kata dia melalui keterangan resmi, dikutip Jumat (24/11/2023). “Tetapi mereka tidak bisa melakukannya sendiri. Ini adalah keadaan darurat, dan tanggap darurat diperlukan, termasuk operasi pencarian dan penyelamatan,” lanjut Thomas.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz