tirto.id - Jakarta sebagai ibu kota dan pusat ekonomi Indonesia masih menyisakan sejumlah permasalahan bagi warganya. Data yang dirilis Arus Survei Indonesia (ASI) baru-baru ini, merekam jelas bagaimana masalah perekonomian dan pokok persoalan yang dihadapi warga Jakarta di masing-masing regional.
Dalam acara Townhall Meeting Penyelenggaraan Kinerja Kewilayahan, Penjabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, mempertontonkan hasil survei tersebut kepada para lurah dan camat. Survei ini, sebenarnya menjadi agenda rutin evaluasi yang dilakukan pemerintah provinsi setiap tiga bulan sekali.
Berdasarkan data yang dipaparkan Heru, 35,6 persen masyarakat yang disurvei mengatakan kondisi ekonomi DKI Jakarta buruk (gabungan lebih buruk 32,8 persen dan jauh lebih buruk 2,8 persen). Sementara 41,1 persen mengatakan kondisi ekonomi hari ini sama saja.
“Jumlah masyarakat DKI Jakarta yang puas dengan keadaan ekonomi DKI Jakarta saat ini sebanyak 22,8 persen. Sementara yang mengatakan sama saja 41,1 persen,” urai Heru di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (22/11/2023).
Jika dilihat dari pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) DKI Jakarta per kuartal, sejak awal tahun tren pertumbuhan selalu berada di kisaran 5 persen. Pada kuartal I-2023 misalnya ekonomi DKI tumbuh 4,94 persen secara year on year atau tahunan. Pertumbuhan tersebut lalu meningkat menjadi 5,13 persen di kuartal II-2023. Selanjutnya kembali menurun di kuartal III-2023 menjadi 4,93 persen.
Kondisi buruk keadaan ekonomi DKI Jakarta, umumnya tidak serta merta melihat kondisi PDRB. Dalam survei tersebut, lima potret masalah utamanya justru ada di masalah bahan pokok (32,6 persen), macet (24,6 persen), susahnya mencari lapangan kerja (12,3 persen), polusi udara (10,3 persen), dan banjir (8,3 persen).
Bila dilihat persoalan dari masing-masing regional, masalah yang paling banyak disoroti oleh warga Jakarta Barat adalah mahalnya harga bahan pokok. Sebanyak 34,4 persen warga Jakarta Barat mengeluhkan mahalnya harga kebutuhan pokok. Sebanyak 30 persen warga Jakarta Barat memilih masalah macet dan hanya 8,9 persen yang menjawab masalah banjir.
Warga Jakarta Pusat juga memilih mahalnya bahan pokok sebagai persoalan paling utama, angkanya sebanyak 41 persen. Lalu, 12,8 persen warga mengeluhkan soal macet, dan 5,1 persen memilih mahalnya biaya pendidikan.
Sementara sebanyak 35,6 persen warga Jakarta Selatan mengeluhkan mahalnya bahan pokok, sebanyak 20 persen memilih masalah banjir, dan 18,9 persen mengeluhkan masalah kemacetan.
“Berbeda dengan tiga regional sebelumnya, masalah utama warga Jakarta Timur adalah kemacetan. Sebanyak 32,7 persen mengeluhkan masalah macet dan 30,9 persen memilih mahalnya bahan pokok,” urai Heru.
Masalah utama DKI Jakarta yang terekam hari ini, sebenarnya menjadi persoalan berulang. Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2022 sempat mengungkapkan tiga masalah utama yang terjadi di era pemerintahan Anies Baswedan dan Ahmad Riza Patria di DKI selama lima tahun belakangan.
Ada tiga masalah utama yang dihadapi dan dianggap mendesak untuk segera diselesaikan dan akan menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah selanjutnya. Pertama, harga kebutuhan pokok. Kedua, banjir. Ketiga, soal lapangan kerja.
Berdasarkan survei yang dilakukan LSI saat itu, sebanyak 52,4 persen masyarakat menilai melambungnya harga kebutuhan pokok di DKI sebagai permasalahan utama ibu kota. Kemudian, 17,3 persen masyarakat menyatakan banjir merupakan masalah pokok Jakarta. Tak hanya itu, sulitnya mencari pekerjaan juga dinilai menjadi masalah utama bagi 10,5 persen masyarakat atau responden.
“Ini jadi bahan evaluasi kita bersama untuk ke depannya agar persoalan di masing-masing daerah bisa diminimalisir," ujar Heru.
Oleh karena itu, Heru meminta agar para camat dan lurah bisa prioritaskan kebutuhan layanan masyarakat dengan mendorong partisipasi warga dalam perencanaan pembangunan wilayah, serta melibatkan pemberdayaan masyarakat.
“Camat dan lurah adalah lini terdepan yang berinteraksi langsung dengan masyarakat,” imbuh dia.
Heru juga mengimbau kepada seluruh jajaran dari tingkat provinsi hingga kelurahan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya inflasi menjelang akhir tahun. Selain itu, ia berharap ASN di DKI Jakarta dapat terus meningkatkan pelayanan dan kinerjanya dalam menangani pengaduan masyarakat.
“Oleh karena itu, bekerjalah secara rapi dan bertahap bisa dimulai dari hal yang kecil. Saya selalu memberikan apresiasi bagi yang konsisten bekerja dalam menjaga kinerja yang optimal,” ujar dia.
Butuh Komitmen Serius dan Solusi Atasi Masalah
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menilai persoalan utama di DKI Jakarta akan selalu berulang dan sulit diatasi. Sebab, kata dia, tidak ada satu komitmen untuk setiap kepemimpinan gubernur melaksanakan apa yang sudah ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
“Setiap pemimpin ganti kebijakan terus. Saya melihat masalah banjir dan macet dijadikan semacam gimmick politik. Jadi untuk membangun simpati masyarakat,” ucap Trubus saat dihubungi Tirto, Jumat (24/11/2023).
Trubus menuturkan, janji politik gubernur untuk mengatasi persoalan masalah utama Jakarta, seperti kemacetan, masalah bahan pokok, hingga banjir pada akhirnya tidak ada satupun yang berhasil. Sementara pemimpin selanjutnya juga tidak ada komitmen untuk melakukan suatu terobosan terbaru mengatasi berbagai permasalahan tersebut.
“DKI Jakarta ini penanganan banjir itu tidak disesuaikan dengan masa kepemimpinan,” ucap dia.
Oleh karena itu, menurut Trubus, perlu ada kebijakan atau regulasi yang memaksa pemimpin untuk melaksanakan kebijakan dalam mengatasi persoalan DKI Jakarta. Sehingga kebijakan tersebut bersifat kewajiban bukan sekadar melaksanakan rutinitas biasa.
“Dia harus melaksanakan, kalau tidak melaksanakan dikasih sanksi. Ini yang perlu dirumuskan bersama sanksi apa misalkan. Misal masyarakat buat mosi tidak percaya atau diturunkan,” terang dia.
Menurut Trubus, kondisi Jakarta hari ini akan menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemimpin selanjutnya. Utamanya dalam penanganan banjir Jakarta yang belum mengakar pada beberapa penyebabnya. Provinsi DKI Jakarta selalu menegaskan peningkatan efektivitas program penanggulangan banjir. Namun hingga saat ini, masih banyak permasalahan terkait banjir yang belum selesai.
Pendekatan dalam penanggulangan banjir, menurut Trubus, harus diubah dengan pelibatan warga agar proses perumusan solusi dapat dilakukan bersama-sama. Pertimbangan Daya Dukung Lingkungan (DDL) harus terimplementasi dalam pembangunan dan membuat Rencana Pengelolaan Risiko Banjir Berbasis Komunitas (RPRBBK) yang terintegrasi dengan rencana Tata Ruang.
Langkah Strategis Sudah Dilakukan Pemprov DKI
Terlepas dari permasalahan utama yang ada, Pemprov DKI mengklaim sudah melakukan berbagai penanganan, terutama untuk masalah banjir.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Sumber Daya Air Provinsi DKI Jakarta, Ika Agustin Ningrum, mengatakan pihaknya terus menyiagakan infrastruktur pengendali banjir. Saat ini, Pemprov DKI Jakarta memiliki 549 unit pompa stasioner di 195 lokasi, pintu air sebanyak 799 unit di 547 lokasi, pompa mobile sebanyak 566 unit, dan alat berat sebanyak 240 unit.
“Dalam mengendalikan banjir, strategi yang dilakukan dibagi menjadi tiga, yaitu prabanjir, saat banjir, dan pascabanjir,” kata Ika kepada Tirto, Jumat (24/11/2023).
Pada prabanjir, pihaknya mengeruk sungai/kali/waduk dan menyiapkan infrastruktur pengendali banjir, seperti normalisasi kali/sungai, optimalisasi danau dan waduk, menerapkan sistem polder, membangun kolam retensi dan sumur resapan, serta ruang terbuka hijau. Lalu, saat banjir, Pemprov DKI mengoperasikan pompa pengendali banjir dan menempatkan satuan tugas di titik genangan.
“Kemudian, pasca banjir, pompa tetap disiagakan dan bekerja sama dengan Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan untuk membersihkan lokasi terdampak," terang Ika.
Sedangkan di kawasan pesisir Jakarta yang rentan banjir rob lantaran topografinya yang cenderung di bawah permukaan laut, Pemprov DKI memaksimalkan keberadaan rumah pompa dan menggenjot proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD). Kehadiran tanggul pengaman pantai bisa menjadi solusi untuk melindungi Jakarta dari banjir rob yang meningkat akibat penurunan permukaan tanah dan kenaikan permukaan air.
Pemprov DKI Jakarta bersama Kementerian PUPR juga terus bersinergi menyelesaikan pembangunan tanggul pengaman pantai dan muara kali (NCICD Fase A). Adapun panjang trase tanggul pengaman pantai di titik kritis adalah 37,356 km.
Dari jumlah tersebut, yang sudah dibangun sepanjang 17,093 km dan yang belum dibangun sepanjang 20,263 km. Dari jumlah yang belum dibangun, sepanjang 9,151 km akan menjadi tugas Kementerian PUPR dan sepanjang 11,112 km menjadi tugas Pemprov DKI.
Di sisi lain, Heru Budi mengatakan, upaya penyelesaian kemacetan di Ibu Kota oleh pemerintah provinsi bersama pihak terkait juga sudah dilakukan secara bertahap. Karena masalah ini menurutnya tidak bisa diselesaikan dalam jangka pendek.
“Kami berkeinginan untuk menyelesaikan masalah kemacetan ini secara bertahap. Tidak bisa solusi itu selesai besok pagi, kemudian lalu lintas tidak macet, itu tidak bisa," kata Heru saat sambutan dalam Diskusi Grup Terfokus tentang Penanganan Kemacetan di DKI Jakarta.
Heru menyebut, Pemprov DKI dan DPRD Jakarta terus bersinergi dan berusaha untuk sama-sama menyelesaikan masalah kemacetan di Ibu Kota. Pelaksanaan diskusi ini, kata Heru, karena banyaknya keluhan masyarakat soal kemacetan di Jakarta.
Selain itu, Heru mengatakan adanya Transjakarta rute Bandara Soekarno Hatta-Terminal Kalideres dan penyambungan rute Transjakarta dan Transpakuan dari Bogor menuju Cibubur, Jakarta Timur dapat mengurangi kendaraan masuk ke Ibu Kota. TransJakarta mengoperasikan 10 bus dek rendah (low entry) untuk rute Bandara Soekarno Hatta-Terminal Kalideres dengan kapasitas pengangkutan penumpang mencapai 2.500 orang setiap hari.
“Sepuluh (bus) setiap hari. Kita lihat perkembangannya, kalau kurang kita tambah,” kata Heru.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz