Menuju konten utama

Niat Ekspor di Tengah Sulitnya Petani Dapat Akses Pupuk Subsidi

Di tengah ketersediaan stok pupuk yang melimpah, para petani justru kesulitan mendapatkan akses pupuk subsidi. Mengapa hal ini terjadi?

Niat Ekspor di Tengah Sulitnya Petani Dapat Akses Pupuk Subsidi
Pekerja mengangkut karung pupuk urea di gudang lini 3 Jatibarang, Indramayu, Jawa Barat, Jumat (19/8/2022). ANTARA FOTO/Dedhez Anggara/aww.

tirto.id - Syahrul Munir, masih sangat bergantung kepada pupuk subsidi untuk menaburi areal pekarangan kebunnya. Pupuk subsidi dinilai menjadi hal penting selain harganya pas di kantong, juga mampu meningkatkan hasil panen dan produktivitas dari hasil tanam miliknya.

“Tanaman kita sangat bergantung pada [pupuk] subsidi,” kata Munir saat dihubungi reporter Tirto, Senin (16/10/2023).

Akan tetapi, ketergantungan itu perlahan mulai dikurangi. Lantaran pendistribusian pupuk di tingkat petani masih sering terkendala. Mulai dari telatnya pengiriman hingga jumlah yang terus dikurangi dengan alasan pengurangan subsidi.

Tahun ini, pemerintah memang membatasi jenis pupuk subsidi yang sebelumnya lima jenis menjadi dua, yaitu Urea dan NPK. Pembatasan ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 10 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penetapan Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian.

Dalam Permentan tersebut juga mengatur tentang komoditas yang mendapatkan pupuk bersubsidi yang sebelumnya terdapat 70 komoditas, kini hanya sembilan. Sembilan komoditas tersebut antara lain: padi, jagung, kedelai, bawang merah, bawang putih, cabai, kakao, tebu, dan kopi. Komoditas ini dipilih karena merupakan pokok dan strategis yang memiliki dampak terhadap laju inflasi.

“Makanya jadi aneh bila dalam kondisi seperti ini, kok tiba-tiba ada rencana ekspor,” kata pria yang hafiz Al-Quran ini.

Rencana ekspor tersebut memang telah dibunyikan oleh Kementerian Pertanian. Plt Menteri Pertanian, Arief Prasetyo Adi membuka pertimbangan ekspor bisa dilakukan di tengah produksi Pupuk Indonesia yang sedang alami kelebihan pasokan atau surplus.

Menurut Arief, langkah ini juga dapat membantu negara lain untuk bersama-sama meningkatkan sektor pertanian. Ia berencana melakukan ekspor dengan mekanisme business to business (B2B). Namun, rencana ini akan direalisasikan apabila kebutuhan pupuk dalam negeri sudah terpenuhi.

“Bila sampai terjadi kelangkaan pupuk pada tahun politik 2024, tentu akan berakibat pada banyak hal,” kata Munir yang juga merupakan mantan aktivis mahasiswa 98 yang memilih pulang kampung dan menjadi petani.

Stok Melimpah, tapi Petani Sulit Akses

Direktur Utama Pupuk Indonesia, Rahmad Pribadi menjamin, bahwa ketersediaan pupuk bersubsidi masih aman. Mulai dari Gudang Lini I sampai Lini III, tersedia sebanyak 1.442.553 ton.

Stok per 10 Oktober 2023, bahkan setara dengan 263 persen dari ketentuan minimum yang ditetapkan oleh pemerintah. Rinciannya, urea sebanyak 941.712 ton, NPK 500.841 ton.

“Sekarang ini stok itu cukup banyak, untuk pupuk subsidi saja hampir 3 kali lipat dari ketentuan, dan serapannya sekarang sudah mencapai 70 persen. Karena ada penundaan musim tanam, maka akan ada penyerapan di November,” kata dia dalam keterangan tertulis, dikutip Senin (16/10/2023).

Ia menambahkan, “Dan kami akan all out, sekarang sudah 60 persen kios juga menyediakan pupuk non-subsidi.”

Rahmad juga memastikan pupuk bersubsidi akan terdistribusi dengan baik dari produsen ke kios-kios resmi. Dalam pendistribusian, Pupuk Indonesia menggunakan 13 kapal dengan 179 rute, 8.107 truk sewa dengan 1.049 rute, serta mengoperasikan 4 komplek pelabuhan khusus. Seluruh jaringan distribusi tersebut terpantau secara digital dan realtime.

Sayangnya, di tengah ketersediaan stok pupuk yang melimpah, para petani justru kesulitan mendapatkan akses pupuk subsidi. Mengingat syarat untuk mendapat pupuk bersubsidi sesuai dengan Permentan 10/2022 adalah wajib tergabung dalam kelompok tani, terdaftar dalam Sistem Informasi Manajemen Penyuluh Pertanian (SIMLUHTAN), serta menggarap lahan maksimal dua hektare.

“Untuk yang subsidi, mengikuti data kartu tani. Untuk petani yang masuk kartu tani, ini tidak semua petani masuk kartu tani, hanya sekitar 60 persen petani,” ujar Kepala Pusat Pengkajian dan Penerapan Agroekologi Serikat Petani Indonesia (SPI), Muhammad Qomarun Najmi, kepada Tirto, Senin (16/10/2023).

Persoalannya, kata Qomarun, petani saat ini sulit mengakses pupuk subsidi karena memang belum semuanya terdata. Sehingga untuk mereka yang belum terdata dan masuk ke dalam kartu tani, tidak bisa mengakses pupuk tersebut.

“Petani yang masuk data, juga tidak semua datanya valid, dalam luasan lahannya,” kata dia.

Setidaknya terdapat dua hal yang diharapkan petani dalam kondisi sekarang ini. Pertama, tentu adanya perbaikan dan validasi data melalui sensus pertanian. Kedua, subsidi pupuk ini bisa langsung diberikan petani dengan cara transfer ke rekening langsung bersangkutan.

“Sekarang subsidi diberikan ke perusahaan pupuk. Petani dapat juga melalui rekening di kartu tani. Tapi yang didapat petani ini hanya bisa digunakan untuk membeli pupuk subsidi, dan dibatasi kuota dan sering terjadi, kuota belum diambil petani, tapi pupuk subsidinya sudah habis stoknya, sehingga dana di rekening kartu tani tidak bisa digunakan,” kata Qomarun.

Sementara itu, Ketua Pusat Perbenihan Serikat Petani Indonesia (SPI), Kusnan mengeluhkan pupuk subsidi saat ini yang didistribusikan baru 60 persen, sedangkan musim tanam kemarau sudah hampir panen. Sementara sisa pupuk 40 persen didistribusikan menghadapi musim tanam satu yang kemungkinan Desember.

“Kalau distribusi pupuk dari dulu, ya selalu tidak lancar, tidak tepat waktu, tidak sesuai kebutuhan akhirnya banyak petani juga malas untuk mendapatkan pupuk subsidi dari kios resmi,” kata Kusnan kepada Tirto, Senin (16/10/2023).

Dengan kondisi tersebut, akhirnya para petani banyak yang membeli pupuk subsidi ilegal dengan harga dua kali lipat. Para petani juga sebagian ada yang beli pupuk nonsubsidi dengan harga lebih mahal. “Ada juga petani yang beralih ke organik,” kata dia.

Hasil Kajian Ombudsman soal Tata Kelola Pupuk Bersubsidi

Masalah pupuk bersubsidi telah menjadi perhatian Ombudsman Republik Indonesia. Permasalahan yang menjadi sorotan Ombudsman adalah akar persoalan alias tata kelola Program Pupuk Bersubsidi. Tertuang dalam laporan Kajian Sistemik Ombudsman RI tentang Pencegahan Malaadministrasi dalam Tata Kelola Pupuk Bersubsidi, April 2021, Ombudsman mengungkap sedikitnya ada lima potensi malaadministrasi dalam tata kelola pupuk bersubsidi.

Sebagaimana diketahui, mekanisme alokasi subsidi dilakukan secara tidak langsung, yaitu dengan membayar selisih antara Harga Pokok Penjualan (HPP) dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk bersubsidi yang terjual kepada pelaksana subsidi pupuk, yaitu PT Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC).

Dalam kajian Ombudsman, lima potensi malaadministrasi itu, antara lain: pertama, tidak dituangkannya kriteria secara detail petani penerima pupuk bersubsidi dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 49 Tahun 2020 tentang Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2021.

Kedua, ditemukan ketidakakuratan data petani penerima pupuk bersubsidi. Pendataan petani penerima pupuk bersubsidi dilakukan setiap tahun dengan proses yang lama dan berujung dengan ketidakakuratan pendataan. Jika kondisi ini dibiarkan terus menerus, ada potensi malaadministrasi dalam proses pendataan, yang berakibat pada buruknya perencanaan dan kisruhnya penyaluran pupuk bersubsidi.

Ketiga, terbatasnya akses bagi petani untuk memperoleh pupuk bersubsidi serta permasalahan transparansi proses penunjukan distributor dan pengecer resmi.

Keempat, mekanisme penyaluran pupuk bersubsidi yang belum selaras dengan asas penyelenggaraan pelayanan publik dan prinsip 6T tepat jenis, tepat jumlah, tepat harga, tepat tempat, tepat waktu, dan tepat mutu. Kelima, belum efektifnya mekanisme pengawasan pupuk bersubsidi.

Solusi Tata Ulang Kelola Pupuk

“Merujuk temuan di atas, Ombudsman menyimpulkan perlunya reformasi kebijakan pupuk nasional secara fundamental,” ujar Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika.

Yeka menuturkan, reformasi kebijakan bisa dilakukan. Pertama adalah perlunya perbaikan kriteria petani penerima pupuk bersubsidi dengan beberapa opsi, misalnya pupuk bersubsidi alokasinya diberikan 100 persen kepada petani tanaman pangan dan hortikultura sesuai kebutuhan lahannya dengan luas lahan garapan di bawah 0,1 hektar.

Kedua, akurasi pendataan petani penerima pupuk bersubsidi. Caranya adalah dengan melakukan pendataan penerima pupuk subsidi dilakukan setiap lima tahun sekali dengan evaluasi setiap tahun. Selain itu, dapat dilaksanakan penyusunan mekanisme pelibatan aparatur desa dalam pendataan, verifikasi dan validasi rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK) pupuk bersubsidi. Ketiga, mengevaluasi mekanisme subsidi di semua tahapan.

Berdasarkan hal itu, sangat penting untuk dilakukan penataan, termasuk melakukan digitalisasi, sosialisasi atau komunikasi antara Kementan, Pupuk Indonesia, Himbara dan kios/petani calon penerima pupuk subsidi.

Tujuannya, selain untuk memastikan pembangunan ekonomi di sektor pertanian yang lebih inovatif dan adaptif terhadap kemajuan teknologi, sehingga penyaluran pupuk subsidi tepat sasaran sesuai ketentuan, serta mampu meningkatkan kesejahteraan petani penerima subsidi, juga membangun tata kelola pupuk secara prudent.

Bagaimanapun, kebijakan subsidi pupuk ini merupakan bentuk kehadiran pemerintah dalam membantu petani, di mana pupuk merupakan salah satu komponen biaya dalam usaha tani. Di sisi lain, diperlukan optimalisasi penyaluran pupuk bersubsidi yang memang didesain untuk membantu petani agar tetap mampu memiliki akses terhadap pupuk yang terjangkau.

Karena itu, sangat penting untuk mengoptimalkan penyaluran pupuk bersubsidi kepada petani, agar mampu mendorong optimalisasi hasil pertanian, menjaga ketahanan pangan, dan meningkatkan kesejahteraan petani Indonesia. Langkah dan kebijakan ini juga diambil agar produk hasil pertanian Indonesia terutama yang memiliki kontribusi terhadap inflasi bisa terus terjaga.

Baca juga artikel terkait PUPUK atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz