tirto.id - Nur Azizah harus memutar otak. Ia harus mencari makanan pengganti nasi yang bisa menjadi alternatif sumber karbohidrat lain seperti singkong dan umbi-umbian. Langkah ini diambil ketika harga beras di tingkat pasar kian mencekik isi kantong.
Wanita yang memiliki empat orang anak itu mengaku, sejak tiga bulan ke belakang pengeluarannya selalu membengkak. Penyebabnya tak lain akibat mengkonsumsi beras untuk pemenuhan salah satu kebutuhan pokok di rumahnya.
“Semenjak harga beras mahal, beban secara pengeluaran juga berasa,” kata dia kepada reporter Tirto, Selasa (3/10/2023).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2023, perubahan rata-rata harga beras terjadi hampir di semua lini. Secara detail pada bulan lalu, harga beras di tingkat konsumen sebesar Rp13.799 dan di tingkat grosir sebesar Rp13.037. Sementara rata-rata harga beras di penggilingan kualitas premium tercatat sebesar Rp12.900 per kg, naik sebesar 9,75 persen dibandingkan bulan lalu.
Demikian pula, rata-rata harga beras kualitas medium di penggilingan sebesar Rp12.685 per kg, naik sebesar 10,55 persen, dan rata-rata harga beras di penggilingan luar kualitas sebesar Rp11.746 per kg, naik sebesar 11,59 persen.
“Semenjak harga beras mahal kualitasnya juga kurang bagus. Terakhir beli biasanya Rp9 ribu sudah bagus ini jelek banget hitam, Rp10 ribu juga hitam,” kata Nur Azizah.
Komoditas beras belakangan memang selalu menjadi penyumbang utama inflasi. Pada September 2023 misalnya, rilis BPS menunjukan secara bulanan inflasi beras menjadi tertinggi sejak Februari 2018 dan secara tahunan tertinggi sejak 2014.
Inflasi beras pada September 2023 mencapai 5,61 persen secara bulanan (mtm) dengan andil inflasi 0,18 persen. Sedangkan secara tahunan (yoy), inflasi beras sebesar 18,44 persen dan memberikan andil inflasi 0,55 persen.
Melambungnya harga beras, membuat Presiden Joko Widodo atau Jokowi bersikap. Dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) IV PDI Perjuangan 2023, kepala negara itu menekankan pentingnya memiliki visi taktis dengan rencana kerja yang detail untuk membangun bangsa terutama dalam hal kedaulatan pangan.
Pernyataan Jokowi tersebut tentu mengingatkan kita dengan janji politiknya yang mencantumkan kedaulatan pangan sebagai salah satu program prioritas dalam Nawacita. Pada 2014, saat baru menjabat sebagai presiden, Jokowi menargetkan swasembada sejumlah komoditas pangan strategis yang salah satunya adalah beras.
Masalah Pangan Tidak Mudah Diselesaikan
Jokowi menuturkan bahwa masalah pangan merupakan sesuatu yang tidak mudah untuk diselesaikan. Karena hal tersebut menyangkut ancaman perubahan iklim yang sangat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari saat ini.
“Kenaikan suhu bumi, kekeringan di mana-mana, kemarau panjang, sehingga menyebabkan gagal tanam, menyebabkan gagal panen, dan super el nino yang ada di tujuh provinsi di negara kita juga memengaruhi pasokan pangan pada rakyat kita Indonesia,” kata Jokowi di Rakernas PDIP, Jumat (29/9/2023).
Selain perubahan iklim, Jokowi melanjutkan, geopolitik dunia juga berpengaruh pada pasokan pangan. Kondisi itu tidak lepas dari situasi perang antara Rusia dan Ukraina yang mengakibatkan sejumlah negara di dunia menghadapi krisis pangan.
“Di Afrika, di Asia, maupun di Eropa sendiri kekurangan pangan itu betul-betul nyata dan terjadi. Harga yang naik secara drastis, bahkan kemarin saya membaca di sebuah berita di satu negara maju di Eropa anak-anak sekolah banyak yang sudah tidak sarapan pagi,” ujarnya.
Mantan Wali Kota Solo itu menjelaskan bahwa kenaikan harga pangan juga disebabkan oleh banyaknya negara yang berhenti mengekspor bahan pangan. Termasuk salah satunya adalah beras yang belakangan ini menjadi mahal.
“Bukan 19 (negara) lagi, tetapi 22 negara sekarang ini sudah tidak mau mengekspor bahan pangannya termasuk di dalamnya adalah beras. Ada Uganda, Rusia, India, Bangladesh, Pakistan, dan Myanmar terakhir juga akan masuk lagi tidak mengekspor bahan pangannya. Betapa nanti kalau ini diteruskan-teruskan semua harga bahan pokok pangan semuanya akan naik," tuturnya.
Oleh sebab itu, dia menegaskan pentingnya membuat rencana secara detail. Dengan cara menyiapkan sejumlah infrastruktur yang diperlukan untuk menjaga ketahanan pangan.
“Plan yang detail, rencana yang detail itu harus kita miliki sehingga jelas berapa waduk yang harus kita siapkan, berapa embung yang harus kita siapkan, berapa kilometer irigasi yang harus kita siapkan," tandas Jokowi.
Melihat Fakta Penyebab Kenaikan Harga Beras
Pengamat pangan dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Khudori melihat persoalan kenaikan harga beras saat ini terjadi karena jumlah produksinya yang terus menurun. Sementara sebaliknya, kebutuhan konsumsi masyarakat meningkat tajam.
“Bahwa produksi terus turun. Bahwa luas panen terus turun. Bahwa produktivitas stagnan. Bahwa total konsumsi terus naik. Itu semua fakta. Saat kebutuhan konsumsi naik, produksi turun," ujarnya kepada reporter Tirto, Selasa (3/10/2023).
Menurutnya kunci dari permasalahan beras adalah pada produksinya. Karena sekalipun sudah ada operasi pasar bernama Stabilitas Pasokan dan Harga Pasar (SPHP), ada bantuan pangan beras juga, tapi harga masih terus naik itu tercermin karena pasokan terbatas.
“Kalau stok cukup dan memadai, pasar mestinya dipenuhi. Berapapun kebutuhan pasar dicukupi. Jika itu dilakukan, harga agar tertahan untuk naik. Berikutnya harga potensial turun," ujarnya.
Jika dilihat berdasarkan produksi padi di Indonesia dari hasil survei Kerangka Sampel Area (KSA) yang dilakukan BPS pada Agustus 2023, jumlah produksi-konsumsi beras mengalami defisit sejak Juli 2023. Pada periode tersebut produksi beras tercatat hanya 2,42 juta ton. Sementara konsumsinya mencapai 2,55 juta ton, sehingga ada defisit 0,13 juta ton beras.
Pada Agustus 2023, jumlah produksi beras dihasilkan Indonesia tercatat 2,45 juta ton. Namun kebutuhan konsumsinya tembus hingga 2,55 juta ton, sehingga ada defisit 0,10 juta ton beras.
Pada September hingga November, hasil survei KSA juga menunjukkan jumlah produksi-konsumsi beras defisit. September tercatat defisit 0,21 juta ton beras. Lalu Oktober dan November diperkirakan defisit masing-masing 0,35 juta ton beras, dan 0,90 juta ton beras.
Surplus atau defisit di atas dihitung berdasarkan jumlah produksi beras dikurangi konsumsi beras dan belum termasuk impor.
Sementara produksi beras dihitung menggunakan konversi Gabah Kering Panen (GKP) ke Gabah Kering Giling (GKG) dan GKG ke Beras hasil SKGB 2018 per provinsi dan angka konversi susut/tercecer gabah berdasarkan NBM 2018-2020 level nasional.
Sedangkan konsumsi dihitung dari konsumsi perkapita dikali jumlah penduduk. Konsumsi per kapita 2022 menggunakan rata-rata konsumsi per kapita per provinsi hasil Susenas 2022 (rumah tangga) dan hasil BAPOK 2017 (luar rumah tangga); Konsumsi per kapita 2023 menggunakan pendekatan 2022.
Jumlah penduduk 2022 menggunakan jumlah penduduk bulanan 2022 hasil proyeksi SUPAS 2015; Jumlah penduduk 2023 menggunakan penduduk bulanan level kabupaten/kota Hasil Proyeksi Interim 2023. Perkiraan produksi dan konsumsi 2023 itu merupakan angka sementara.
Kedaulatan Pangan Jokowi Dipertanyakan
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis, Suroto mengatakan, apa yang dikonsumsi dalam hal ini beras menentukan seberapa daulat Indonesia. Sehingga pangan merupakan urusan penting dan strategis bagi kepentingan nasional.
“Bangsa dan negara yang tak memiliki posisi tawar untuk menentukan ketersediaan pangannya sendiri baik dalam kualitas dan kuantitas dapat dikatakan sebagai negara tidak berdaulat dalam pangan," ujarnya kepada Tirto, Selasa (3/10/2023).
Dalam pengertian ini, faktor penentu kedaulatan pangan suatu negara itu tentu bukan hanya soal kemampuan memproduksi pangannya sendiri dan atau bagaimana keamanan pangannya dipenuhi. Namun sangat tergantung dari faktor kepentingan ekonomi politik lainya.
“Kita pernah pada 1980-an swasembada beras. Tapi tidak berlangsung lama. Sebabnya adalah karena ketahanan pangan kita itu defisit kelembagaan sosial yang menjamin bagi keberlanjutan, keadilan dan juga kedaulatan pangan," terang dia.
Kegagalan dari konsep praktik revolusi hijau, dan juga program bombastis semacam Sejuta Lahan Gambut dan terakhir Food Estate menandakan betapa kacaunya sistem pengelolaan pangan di Indonesia.
“Kita selalu mengulang konsep-konsep kuno yang sudah gagal hipotesisnya sejak dibentuk, sejak tahap sebelum dilaksanakan," imbuh dia.
Dalam menopang swasembada beras, kata Suroto, dahulu Indonesia punya Koperasi Unit Desa (KUD). Akan tetapi, organisasi ini hanya dimanfaatkan sebagai instrumen kebijakan dan lupa dibangun sistem organisasinya agar kokoh. Pada akhirnya gagal dan sekarang kondisinya sebagian besar telah mati suri dan tidak banyak yang bergerak di sektor pangan.
“Untuk itu, pemerintah sebaiknya revitalisasi KUD ini kembali dan juga mendorong agar muncul koperasi di sektor pangan seperti Koperasi Pertanian dan Perikanan yang ‘genuine,’ lembaganya harus benar-benar diperhatikan,” kata Suroto.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz