tirto.id - Kementerian Keuangan akhirnya memberikan penjaminan untuk mengatasi pembengkakan biaya (cost overrun) proyek Kereta Cepat Jakarta - Bandung (KCJB). Jaminan itu diberikan lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 89 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Penjaminan Pemerintah untuk Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Antara Jakarta dan Bandung.
Aturan yang dirilis pada 11 September 2023 tersebut, mengatur soal penyediaan jaminan pemerintah bagi pencarian pendanaan dalam rangka menutup kenaikan atau perubahan biaya proyek KCJB.
Penjaminan nantinya diberikan terhadap seluruh kewajiban keuangan PT Kereta Api Indonesia (KAI) yang timbul akibat pembengkakan biaya proyek tersebut. Baik pokok pinjaman, bunga atau biaya lain yang timbul akibat utang-utang tersebut.
Kenaikan biaya atau cost overrun proyek KCJB diketahui senilai 1,2 miliar dolar AS atau setara sekitar Rp18 triliun. Awalnya, Cina mengajukan biaya pembangunan proyek KCJB senilai 5,5 miliar dolar AS atau sekitar Rp83,6 triliun. Namun dalam perjalanannya, biaya proyek KCJB tersebut membengkak menjadi 7,5 miliar atau Rp114,1 triliun per November 2022.
“Jaminan diberikan dengan mempertimbangkan berbagai prinsip. Kemampuan keuangan negara, kesinambungan fiskal dan pengelolaan risiko fiskal,” demikian Pasal 3 PMK tersebut, dikutip Tirto, Jumat (29/9/2023).
Namun, untuk mendapatkan jaminan pemerintah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan beberapa persyaratan khusus yang diatur dalam PMK tersebut. Permohonan penjaminan, dalam hal ini KAI harus memuat keterangan minimal lampiran Keputusan Komite Kereta Cepat Antara Jakarta-Bandung mengenai pemberian dukungan berupa penjaminan pemerintah kepada KAI untuk mengatasi masalah kenaikan dan/atau perubahan biaya proyek.
KAI juga harus menyertakan alasan diperlukannya penjaminan, nilai pinjaman yang akan dimintakan penjaminan, calon kreditur, serta pernyataan mengenai kebenaran atas segala informasi, keterangan, dan/atau pernyataan yang termuat dalam dokumen permohonan penjaminan pemerintah.
Selanjutnya melampirkan surat pernyataan menteri perhubungan yang menyatakan dukungan kepada PT KAI terkait kebijakan sektor perkeretaapian, melampirkan rencana peruntukan pendanaan melalui pinjaman, melampirkan rancangan final perjanjian pinjaman, menyertakan profil calon kreditur.
Selain itu, KAI juga harus memuat proyeksi keuangan PT KAI sampai dengan masa pinjaman berakhir, proyeksi keuangan proyek kereta cepat antara Jakarta dan Bandung, serta rancangan dokumen rencana mitigasi risiko gagal bayar.
Bentuk penjaminan diberikan pemerintah terhadap proyek kereta cepat ini sangat berbalik dengan awal perencanaan dan permulaan proyek. Presiden Joko Widodo saat itu menyatakan, proyek tersebut akan dibangun tanpa menggunakan dana APBN. Melainkan diserahkan ke badan usaha milik negara (BUMN).
“Kereta cepat tidak gunakan APBN. Kita serahkan BUMN untuk business to business (B to B). Pesan yang saya sampaikan kereta itu dihitung lagi,” kata Jokowi kala itu.
Jokowi mengatakan, pengembangan kereta di Indonesia memang sangat dibutuhkan, tapi pemerintah tidak ingin membebani anggaran, sehingga ia memilih pendekatan bisnis ke bisnis (business to business/B toB).
“Kita tidak ingin beri beban pada APBN. Jadi sudah saya putuskan bahwa kereta cepat itu tidak gunakan APBN, tidak ada penjaminan dari pemerintah. Oleh sebab itu, saya serahkan kepada BUMN untuk melakukan yang namanya B to B, bisnis," ungkap Jokowi.
Namun faktanya, pembengkakan biaya tersebut ujung-ujungnya juga membuat pemerintah memutuskan untuk menyertakan APBN dalam dana proyek KCJB. Penyertaan APBN tersebut dapat dilihat melalui Penyertaan Modal Negara atau PMN yang disalurkan ke KAI.
KAI setidaknya telah menerima PMN senilai Rp3,2 triliun untuk penambahan setoran modal ke PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia atau PSBI. PSBI adalah konsorsium perusahaan negara dalam proyek KCJB.
Plt Direktur Utama PT KAI, John Robertho menjelaskan, penambahan setoran modal tersebut dilakukan sebagai pemenuhan cost overrun. Namun di tengah jalan terjadi penurunan nilai cost overrun pada Juni 2023 dan membuat dana setoran diubah menjadi Rp2,7 triliun.
“PMN yang diberikan pada 2022 senilai Rp486 miliar akan digunakan sebagai penyangga untuk penjaminan KAI dalam pembayaran pinjaman kepada China Development Bank," kata John dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VI DPR.
Secara total, dalam perhitungannya negara telah menanamkan dana senilai Rp7,5 triliun melalui Penyertaan Modal Negara pada 2021-2022. Secara rinci, sejumlah Rp4,3 triliun digunakan untuk kebutuhan energi dan modal awal proyek KCJB.
Terperangkap Utang
Pemerhati BUMN, Herry Gunawan melihat, tampaknya pemerintah saat ini sudah terjebak dan sulit keluar dari 'perangkap' utang untuk kereta cepat. Akibatnya, pemerintah menerima APBN jadi jaminan pinjaman untuk membiayai kereta cepat.
Cina sebelumnya memang sempat meminta APBN sebagai jaminan dari pinjaman utang proyek itu, yang diberikan China Development Bank sebesar 560 juta dolar AS atau Rp8,3 triliun untuk membiayai cost overrun yang besarannya setara Rp18 triliun. Negeri Tirai Bambu tersebut bahkan mematok bunga utang sebesar 3,4 persen, jauh lebih tinggi dari harapan pemerintah Indonesia sebesar 2 persen.
“Dengan Cina minta jaminan APBN, membuktikan bahwa proyek ini tidak menguntungkan setidaknya dalam jangka pendek dan menengah,” kata Herry kepada reporter Tirto, Jumat (29/9/2023).
Menurutnya, masalah ini cukup serius. Dengan menjamin pinjaman, berarti pemerintah harus mengalokasikan dana sejumlah pinjaman yang dijamin. Ketika tidak terbayar, maka harus nombok.
“Dengan adanya alokasi penjaminan atas pinjaman itu, maka ada potensi alokasi anggaran untuk kementerian/lembaga atau program lain, berkurang jatahnya," terang dia.
Namun yang lebih bahaya, kata Herry, adalah jika yang jadi korban di anggaran, yaitu subsidi. Kalau ini terjadi, maka dampaknya akan sangat nyata. Barang subsidi, misalnya BBM, listrik, pupuk, atau lainnya bisa naik. Pada akhirnya, rakyat yang tanggung bebannya.
“Jadi, kebijakan 'menggadaikan' APBN ini bisa menjerumuskan rakyat," katanya.
Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR, Anis Byarwati mengingatkan, sejatinya APBN adalah amanah konstitusi yang harus dipergunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan masyarakat. Dia menegaskan bahwa proyek KCJB tidak punya tingkat signifikansi yang tinggi terhadap kebutuhan masyarakat yang harus didanai oleh APBN.
“Masih banyak persoalan bangsa yang patut dan layak dibiayai oleh APBN untuk membantu kehidupan masyarakat, di antaranya: kemiskinan ekstrem, stunting, fasilitas puskesmas, tenaga honorer, membantu petani, nelayan dan lainnya,” kata dia dalam keterangan persnya.
Ia menilai KCJB yang merupakan proyek mercusuar pemerintah belum dibutuhkan masyarakat saat ini. Terlebih biaya atau cost-nya jauh lebih besar ketimbang manfaat yang bisa dirasakan masyarakat luas.
Penjelasan Kemenkeu: Bukan yang Pertama Kali
Staf Khusus Kementerian Keuangan, Yustinus Prastowo justru meminta semua pihak tidak mempersoalkan penjaminan pemerintah untuk percepatan penyelenggaraan prasarana dan sarana KCJB. Sebab, penjaminan proyek ini bukan pertama kali dilakukan oleh pemerintah.
Pemerintah, kata Yustinus, sudah biasa memberikan penjaminan proyek infrastruktur. Seperti Proyek Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Batu Bara PT PLN 10.000 MW tahap I dan II, Proyek Jalan Tol Trans Sumatera, Proyek LRT Jabodebek, Proyek Gothermal/PLTP Dieng II dan Patuha, Proyek Penguatan Jaringan Kelistrikan, dan lain-lain.
“Lalu masalahnya di mana? Tidak ada. Selama ini dijamin aman karena tata kelola dan manajemen risiko sangat dijaga. Yang bermasalah itu pikiran jorok, seolah APBN digadaikan ke Cina," tulis Yustinus di Twitter sebagaimana dikutip Tirto dan sudah diizinkan untuk mengutip.
Dia menjelaskan, pada dasarnya pemerintah memberikan penjaminan kepada KAI sebagai pemegang saham mayoritas KCJB agar dapat meningkatkan reputasinya ke pemberi pinjaman. Tujuannya untuk meningkatkan kepercayaan pemberi pinjaman terhadap proyek yang terkait sehingga dapat mengurangi biaya pinjaman.
“Jelas ya, yang meminjam PT KAI ke kreditur, bukan pemerintah, apalagi seolah APBN langsung digunakan," katanya.
Pemerintah memahami keterlambatan penyelesaian proyek KCJB menyebabkan tambahan biaya atau cost overrun. Untuk mengatasi cost overrun ini, maka pemerintah memberikan dukungan berupa penjaminan terhadap pinjaman PT KAI.
Kebijakan pemberian penjaminan pemerintah nantinya akan mengacu kepada keputusan Rapat Komite Kereta Cepat Jakarta Bandung. Di mana para anggotanya adalah: Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi; Menteri Keuangan; Menteri Perhubungan dan Menteri Badan Usaha Milik Negara.
“Ini forum kolegial-formal agar keputusan yang diambil tata kelolanya baik,” kata Yustinus.
Dalam upaya mitigasi risiko atas pelaksanaan penjaminan, pemerintah pun melaksanakan monitoring dan evaluasi secara berkala atas penjaminan yang diberikan. Penjaminan oleh Pemerintah Indonesia diklaim Yustinus sudah sesuai dengan tata kelola dan peraturan yang berlaku, serta mencakup kemampuan keuangan negara, keberlanjutan fiskal, dan manajemen risiko fiskal.
Sementara untuk memperkuat peran penjaminan dan mengurangi risiko fiskal, pemerintah akan memanfaatkan peran PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PT PII) secara lebih optimal. PT PII akan aktif dalam memberikan penjaminan dan bertindak sebagai lapisan perlindungan utama.
“Dalam konteks ini, PT PII akan berfungsi sebagai perisai pertama dalam menghadapi risiko dan mengurangi dampak finansialnya pada APBN," terang dia.
Yustinus menjelaskan besarnya cost overrun telah melalui review oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Pendanaan cost overrun ditanggung secara proporsional oleh pemilik saham KCJB, di mana Konsorsium BUMN memiliki saham 60 persen. Untuk pemenuhan kontribusi BUMN atas pendanaan KCJB dimaksud telah diberikan PMN kepada PT KAI dan sisanya sebesar 543 juta dolar AS melalui pinjaman dari China Development Bank (CDB).
“Jadi jelas peran APBN untuk mendukung permodalan PT KAI. Ini sifatnya investasi. Semoga menjadi jelas dan tidak perlu imajinasi liar dengan narasi menakut-nakuti rakyat," katanya.
Penjaminan Berdampak Langsung ke APBN?
Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah melihat, tidak ada dampak langsung terhadap APBN dari penjaminan yang dilakukan pemerintah. Sebab, pemerintah tidak menggunakan secara langsung APBN untuk menanggung kenaikan biaya proyek strategis tersebut.
“Jadi tidak ada tambahan beban APBN langsung yang disebabkan costoverrun tersebut," kata Piter kepada reporter Tirto, Jumat (29/9/2023).
Dia mengatakan, kenaikan biaya yang disebabkan oleh proyek KCJB adalah fakta yang tidak bisa ditolak. Karena hal itu sudah terjadi dan memiliki konsekuensi yang juga tidak bisa dihindari, sehingga yang harus dilakukan adalah mencari solusinya.
“Kita perlu pahami dulu permasalahannya dan solusi yang diambil oleh pemerintah,” imbuhnya.
Dalam persoalan ini, yang menanggung langsung pembengkakan biaya proyek KCJB adalah KAI. Maka untuk menanggung beban tersebut, KAI memiliki opsi melakukan utang dan pemerintah ikut membantu memberikan penjaminan.
Dia meyakini, KAI dengan kondisi usaha dan keuangannya saat ini mampu menyelesaikan tambahan utang akibat pembengkakan biaya KCJB. Terlebih penjaminan oleh pemerintah lebih ditujukan untuk meningkatkan keyakinan pemberi utang sekaligus menurunkan biaya bunga.
“Karena risiko yang lebih rendah. Jadi saya tidak melihat dampak langsung ke APBN. Dampak ke APBN baru terjadi apabila PT KAI tidak mampu menyelesaikan utangnya," tutup Piter.
Sementara jika dilihat dari hasil proyeksi keuangan KAI tanpa memperhitungkan pendapatan tambahan dari angkutan batu bara, menunjukkan bahwa kemampuan cash flow KAI cukup untuk mendukung kegiatan operasional. Ini tercermin dari pembayaran debt service dari pinjaman yang ada saat ini dan tambahan debt service dari pinjaman CDB.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz