Menuju konten utama

Hakim MK Usulan DPR Bukan Perpanjangan Tangan Dewan, Pak Arsul

Peneliti PSHK, Rizky Argama mengingatkan, hakim MK usulan DPR bukan perpanjangan tangan legislatif. Arsul Sani jangan sampai diintervensi DPR.

Hakim MK Usulan DPR Bukan Perpanjangan Tangan Dewan, Pak Arsul
Calon Hakim Konstitusi Arsul Sani menjalani uji kelayakan dan kepatutan di ruang Komisi III DPR, kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (26/9/2023). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/Spt.

tirto.id - Komisi III DPR RI memutuskan memilih Wakil Ketua MPR yang juga anggota Komisi III dari Fraksi PPP, Arsul Sani sebagai hakim konstitusi usulan legislatif. Arsul menyisihkan enam kandidat lain sebagai calon hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menggantikan Wahihuddin Adams yang pensiun pada Januari 2024.

“Komisi III memutuskan bahwa calon yang diusulkan oleh DPR menjadi hakim konstitusi menggantikan Bapak Dr. Wahiduddin Adams adalah Bapak Dr. Arsul Sani,” kata Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Adies Kadir usai sidang uji kelayakan dan kepatutan hakim konstitusi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (26/9/2023).

Keputusan tersebut dilakukan setelah 9 fraksi di DPR sepakat memilih Arsul, koleganya sesama anggota dewan. Arsul menyisihkan kandidat lain yang ikut seleksi, antara lain: Reny Halida Ilham Malik, Firdaus Dewilmar, Elita Rahmi, Aidul Fitriciada Azhari, Abdul Latif, dan Haridi Hasan.

Usai dipilih sebagai calon hakim konstitusi usulan DPR, Arsul mengatakan, dirinya akan mundur dari parlemen dan juga partai politik. “Kalau misalnya saya dipilih, konsekuensinya ya berhenti dari DPR, mundur sebagai pimpinan MPR, mundur sebagai anggota partai, itu ya karena undang-undang,” kata Arsul.

Arsul mengingatkan bahwa Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) mensyaratkan agar hakim konstitusi tidak boleh menjadi anggota partai politik dan pejabat negara. Karena itu, Arsul akan mundur dari keanggotaan sekaligus kepengurusan PPP. Ia memastikan tidak akan ikut sengketa pemilu berkaitan partai berlambang ka'bah itu.

“Saya harus menghindari posisi benturan kepentingan, konflik kepentingan. Jadi, kalau sengketanya pemilu itu pileg misalnya, yang menyangkut PPP, saya tidak boleh ada di situ. MK kan biasanya sembilan orang, itu kan dibagi dalam panel-panel,” kata Arsul Sani.

Potensi Konflik Kepentingan

Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari menilai, status hakim konstitusi menjadi beban bagi Arsul yang merupakan eks petinggi partai politik. Ia tidak memungkiri publik akan bertanya soal kredibilitas Arsul ketika menjadi hakim konstitusi.

“Tentu sebagai politisi senayan akan timbul pertanyaan besar, apakah seorang politisi yang menjadi hakim mampu mewujudkan kemerdekaan kekuasaan kehakiman ke depannya, terutama Mahkamah Konstitusi dan harus diakui ini menjelang Pemilu 2024,” kata Feri kepada Tirto.

Secara kapasitas, Feri tidak meragukan kredibilitas Arsul. Sebab, kata Feri, Arsul sudah paham konsep hukum, memiliki penafsiran konstitusi, dan wawasan hukum.

Akan tetapi, ia menilai tantangan terbesar adalah potensi kemandirian dalam memutus perkara, apalagi ada sejumlah hal yang menjadi sorotan saat pemilihan Arsul sebagai hakim konstitusi.

Salah satu poin yang disorot adalah apakah wajar pergantian dilakukan di tengah posisi Adams yang baru pensiun pada 2024. Ia mengaitkan dengan salah satu regulasi di MK bahwa pergantian hakim dilakukan tiga bulan sebelum pensiun. Akan tetapi, kata Feri, pergantian Adams oleh Arsul tidak bisa disamakan dengan kasus Aswanto yang dicopot secara sepihak oleh DPR.

“Hakim Aswanto itu tunggal, dipecat demikian saja tanpa kemudian ada proses pelanggaran etik, lalu calon pengganti calon tunggal, tidak ada proses pemilihan. Tidak ada porses seleksi,” kata Feri.

Feri menambahkan, “Kali ini, kan, proses seleksi itu ada walaupun tentu secara politik itu tidak terlalu fair bagi calon lain karena mereka berangkat dari ruang yang berbeda.”

Feri menekankan bahwa pemilihan Arsul tidak ada masalah secara kualitas. Akan tetapi, muncul persoalan dari sisi proses politiknya.

“Memang secara individu yang terpilih mungkin tidak banyak perdebatan, tapi proses politik bahwa itu akan memengaruhi kekuasaan kehakiman yang mandiri akan sangat dipertanyakan. Mampukah seorang Arsul Sani beranjak dari ruang-ruang politik dan menjadi yang lebih mandiri? Ini tentu saja akan dijawab dengan putusan-putusan ke depan,” kata Feri.

Hakim MK Usulan DPR Bukan Perpanjangan Tangan Legislatif

Berdasarkan UU MK, hakim konstitusi terdiri dari sembilan orang hakim yang diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh DPR, Presiden dan Mahkamah Agung. Usulan ini kemudian ditetapkan oleh presiden lewat Keputusan Presiden (Kepres). Artinya, Arsul yang diusulkan sebagai hakim MK oleh DPR sudah sesuai aturan yang berlaku.

Akan tetapi, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) mengingatkan bahwa DPR hanya mengusulkan, bukan mengintervensi keputusan-keputusan yang nantinya akan diambil oleh hakim MK yang diusulkan dewan. Peneliti PSHK, Rizky Argama menegaskan, hakim MK usulan DPR bukan perpanjangan tangan legislatif.

Terkait pemilihan Arsul, PSHK memberikan sejumlah catatan. Salah satunya adalah seleksi hakim konstitusi usulan DPR terkesan terburu-buru, dipaksakan, tidak cukup transparan, dan tidak partisipatif.

PSHK menilai proses seleksi tak sesuai amanat Pasal 20 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, khususnya terkait seleksi hakim konstitusi yang dilakukan secara objektif, akuntabel, transparan, dan terbuka.

“Berdasarkan pemantauan PSHK pada agenda DPR, tidak ditemukan informasi mengenai pembukaan seleksi, nama-nama calon secara tiba-tiba muncul. Selain itu, proses yang terburu-buru dan singkat, tidak cukup memungkinkan adanya partisipasi publik secara luas dalam setiap tahapan seleksi, bahkan untuk melakukan pemantauan secara langsung di DPR,” kata Rizky dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Rabu (27/9/2023).

PSHK juga menyoroti model seleksi yang dilakukan panel Komisi III DPR. Mereka khawatir ada konflik kepentingan dalam proses seleksi, apalagi calon kandidat merupakan anggota DPR dan petinggi partai politik. Hal itu memicu kritik dari soal objektivitas.

Selain itu, kata Rizky, PSHK juga menyoal paradigma anggota Komisi III bahwa hakim konstitusi perpanjangan tangan DPR di MK. Hal ini merupakan kekeliruan konstitusional yang fatal dan merusak logika checks and balances kekuasaan negara, sebab hakim konstitusi bersifat independen dan bukan representasi lembaga pengusul.

“Paradigma ini diperkuat dengan narasi pertanyaan dan komentar sejumlah anggota Komisi III DPR yang meminta komitmen kandidat untuk berkonsultasi ke DPR sebelum memutus perkara pengujian undang-undang, mempertahankan undang-undang yang diujikan di MK kelak, dan mendorong kecenderungan judicial restraint dalam memutus perkara pengujian undang-undang," kata Rizky.

Selain itu, kata Rizky, pertanyaan yang disampaikan tidak cukup menyentuh problem kontekstual saat ini, terutama mengenai peran MK dalam membendung democratic backsliding dan autocratic legalism.

Rizky juga menilai proses seleksi tidak optimal lantaran tidak melibatkan kandidat yang berintegritas dan semangat antikorupsi. PSHK mengungkit bagaimana Akil Mochtar maupun Patrialis Akbar yang notabene hakim konstitusi pilihan DPR, tetapi terlibat kasus korupsi.

Oleh karena itu, kata Rizky, ke depan PSHK mendesak proses seleksi dilakukan dengan panel ahli demi menghilangkan unsur konflik kepentingan. Mereka ingin tidak ada penarikan hakim konstitusi saat ini karena berpotensi menggangu independensi hakim dan memanfaatkan seleksi hakim konstitusi untuk mengganggu MK.

“DPR hanya lembaga negara yang berwenang mengusulkan calon hakim konstitusi dan hakim konstitusi yang terpilih independen dan tidak bertanggung jawab kepada DPR,” kata dia.

Dinilai Sarat Kepentingan Politik

Analis politik dari Universitas Al Azhar Jakarta, Ujang Komarudin mengaku tidak heran bila DPR memilih Arsul sebagai hakim konstitusi. Ia mencontohkan kejadian DPR saat memilih Akil Mochtar yang saat itu sebagai angota DPR dari Fraksi Partai Golkar.

Ujang menilai, pemilihan Arsul memang boleh dan bagus dari sisi kapasitas. Namun, pemilihan Arsul tentu memicu tanda tanya dan persepsi politis jelang Pemilu 2024 dan putusan uji materi UU Pemilu terkait batas umur capres-cawapres yang hingga kini belum ada putusan.

“Di situ titik pangkal masalahnya, kritikan publik kepada DPR di tengah isu akan diputusnya batas usia minimal capres-cawapres. Ya di sini memunculkan persepsi bahwa dipilihnya temannya sendiri, koleganya sendiri. Kan, publik mengatakan itu ada kepentingan politik. Kan, itu yang selama ini menjadi pengingat dari masyarakat,” kata Ujang.

Ujang menilai, pemilihan hakim konstitusi harus melihat aturan. Jika dilakukan sesuai aturan, tentu tidak akan muncul persoalan. Akan tetapi, lain cerita bila pemilihan dilakukan secara buru-buru.

Ujang mengatakan, pemilihan Arsul sebagai hakim konstitusi akan membawa dampak persepsi publik terhadap MK dan DPR. Ia menilai, DPR bisa saja ditafsirkan menempatkan orang-orang untuk memperbesar pengaruh di luar parlemen. Publik pun bisa mempersepsikan ada unsur politik atau permainan, apalagi jelang pemilu.

“Biasa. pasti akan terjadi kritik dan tuduhan seperti itu kepada MK dan DPR. Ya itu kenyataannya yang terjadi di masyarakat kita. Masyarkaat semakin kritis dalam melihat fenomena-fenomena yang ada baik di DPR maupun di MK saat ini ke depan,” kata Ujang.

Baca juga artikel terkait HAKIM MK atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz