tirto.id - Pelanggaran netralitas aparatur sipil negara atau ASN menjadi hal yang lumrah terdengar menjelang pemilu. Untuk mengantisipasi terulangnya masalah yang sama pada Pemilu 2024, pemerintah menerbitkan aturan bagi ASN yang dibalut dalam surat keputusan bersama (SKB) berisi pedoman pembinaan dan pengawasan netralitas ASN dalam pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak nasional 2024.
Di dalamnya termaktub aturan yang salah satunya melingkupi aturan beraktivitas di dunia maya atau media sosial bagi ASN, termasuk kode etik yang perlu diperhatikan. SKB ini diteken oleh lima pimpinan kementerian/lembaga yang terdiri dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Abdullah Azwar Anas, Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian, Plt Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) RI Rima Haria Wibisana, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara Agus Pramusinto, dan Ketua Bawaslu Rahmat Bagja.
Dalam SKB tersebut ditegaskan bahwa ASN dilarang membuat unggahan, mengomentari, membagikan, menyukai, hingga bergabung atau mengikuti grup/akun pemenangan peserta pilpres, pileg, dan pilkada mendatang.
Meliputi juga grup atau akun pemenangan calon presiden dan wakil presiden, calon gubernur dan wakil gubernur, calon bupati atau wali kota, calon legislatif untuk DPR RI hingga DPRD tingkat II.
ASN juga dilarang menunjukkan keberpihakan kepada partai politik maupun salah satu kandidat peserta pemilu di semua level dengan mengunggah foto bersama di media sosial.
Bagi Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera, aturan ini berlebihan bila diterapkan. Mardani menilai, niat dari SKB ini baik dalam menjaga netralitas atmosfer pemilu. Namun, aturan di dalamnya justru terkesan kaku.
“Niatnya baik, tapi jadi kaku, ASN juga manusia punya hati dan pikiran. (Harusnya) yang enggak boleh kalau aktif berkampanye,” kata Mardani dihubungi reporter Tirto, Selasa (26/9/2023).
Mardani menilai, sudah ada Komite Aparatur Sipil Negara (KASN) yang menjaga profesionalitas dan integritas pada aparatur sipil negara. Tidak perlu lagi memberikan pengawasan ekstra pada ASN.
“Yang perlu diawasi (justru) kepala daerah dan para pejabat yang memiliki otoritas untuk menekan ASN,” tambah Anggota Komisi II DPR RI ini.
Mardani meminta pengawasan mengalir saja secara alami bagi para ASN. Ia justru menekankan agar pengawasan ekstra perlu dilakukan kepada para pemegang kekuasaan yang berpotensi memobilisasi ceruk suara para ASN.
Sementara itu, Juru Bicara PPP, Usman Tokan melihat, aturan SKB ini sebagai bentuk soliditas organisasi pemerintah saat ini agar bisa mengantarkan kondusifitas penyelenggara pemilu. Pihaknya, kata Usman, menilai wajar adanya penerbitan SKB soal netralitas ASN.
“ASN itu adalah pejabat atau pegawai pemerintah yang memiliki struktur organisasi sampai tingkat bawah dan semuanya dibiayai negara, semua infrastruktur dan fasilitasnya harus dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pemerintah,” ujar Usman dihubungi reporter Tirto, Selasa (26/9/2023).
Ia khawatir, jika tidak diatur lebih tegas, justru ASN berpotensi digunakan oleh kelompok tertentu untuk mendukung kandidat pilihan pribadi menggunakan fasilitas negara.
“Di alam demokrasi setelah reformasi, SKB ini memberikan jawaban atau solusi bahwa pemerintahan saat ini netral,” terang Usman.
Aturan main ini sebenarnya bukan hal baru yang dikeluarkan pemerintah untuk menjaga netralitas ASN jelang pemilu. Sebelumnya, pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, di mana ASN diamanatkan untuk memiliki netralitas.
Netralitas itu meliputi larangan menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik, atau berpihak kepada kepentingan seseorang atau kelompok tertentu.
Dinilai Terlalu Berlebihan
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Nurlia Dian Paramita menilai, aturan yang tertuang dalam SKB lima pimpinan kementerian/lembaga itu terlalu berlebihan.
“Sedikit berlebihan jika follow akun pemenangan dianggap melanggar netralitas ASN. Karena ASN juga memiliki hak pilih, tentu dalam menentukan pilihannya ASN butuh asupan informasi dan memahami visi misi calon kandidat,” kata Mita, sapaan akrabnya, dihubungi reporter Tirto, Selasa (26/9/2023).
Mita menyampaikan, ASN memiliki hak untuk mendapatkan informasi dari media sosial terkait informasi pemilu, selama mereka tidak bertindak aktif seperti berkomentar, menarasikan, atau memberikan informasi calon tertentu.
“Saya kira tidak masalah (follow), dengan syarat memang itu akun publik dan tidak tertutup (publik masih dapat mengawasi tindakan netralitas ASN-nya),” ujar Mita.
Lain hal jika ASN tersebut masuk ke dalam grup pemenangan calon tertentu, kata Mita. Ini sudah mengkhawatirkan, karena sifat grup yang tertutup dan publik tidak dapat mengontrol tindakan ASN di dalamnya.
“Prinsipnya dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia, meskipun ASN memiliki hak pilih, namun mereka didorong untuk netral. Hal tersebut agar pelayanan publik tidak terganggu oleh konstelasi pemilu,” terang Mita.
Kendati demikian, hadirnya SKB ini, dinilai Mita melengkapi rambu-rambu netralitas ASN yang diatur dalam UU ASN dan UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu, yang masih bersifat umum. SKB ini mendorong adanya upaya mengontrol tindakan ASN dalam menjaga netralitasnya di ruang digital atau media sosial.
“Ini menjadi penting mengingat proses demokrasi hari ini juga banyak dipengaruhi oleh tindakan-tindakan di ruang digital,” jelasnya.
Hal senada diungkapkan Direktur Imparsial, Gufron Mabruri. Ia sebut, yang menjadi persoalan pokok dari urgensi netralitas ASN adalah jangan sampai sistem pelayanan publik terganggu atau bahkan dipolitisasi.
“Namun, sejumlah larangan yang diatur dalam SKB dapat dikatakan juga berlebihan. Seharusnya larangan tersebut lebih fokus pada tindakan aktif, seperti kegiatan dukung mendukung, kampanye, mengajak untuk memilih paslon tertentu,” ujar Gufron dihubungi reporter Tirto, Selasa (26/9/2023).
Gufron menilai, penguatan kontrol dan pengawasan internal menjadi penting dilakukan untuk memastikan setiap ASN bekerja sesuai standar pelayanan publik yang telah dibuat oleh pemerintah.
“Jika ada keliru atau tidak sesuai aturan, tindakan korektif harus dilakukan,” terang Gufron.
Efektifkah Menjaga Netralitas?
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menyatakan, SKB tersebut masih belum efektif untuk menjaga netralitas ASN saat ini. Trubus menilai karena pengawasan yang dilakukan kurang tegas di lapangan dan yang mengawasi masih dalam jajaran ASN juga.
“Cuma kan inspektorat (pengawasan) dia juga sesama ASN, dan dia enggak bisa lakuin ini. Di daerah ASN masuk partai itu banyak,” kata Trubus dihubungi reporter Tirto, Selasa (26/9/2023).
Pemerintah dinilai perlu tegas dalam membuat aturan terkait netralitas ASN. Tidak boleh ada tebang pilih dalam menerapkan sanksi di lapangan. Trubus menilai, posisi ASN menjadi ambigu dengan aturan SKB tersebut, sehingga berpotensi masih banyak yang melanggar.
“Kalau mau tegas, langsung saja ASN enggak ada hak pilih. Namun, kan, enggak bisa, karena kalau dibebaskan gitu malah akan membuat persekongkolan bareng calon yang akan maju, itu yang repot. Jadi harus jelas aturannya,” terang Trubus.
Aturan dalam SKB yang menyinggung aturan beraktivitas di sosial media juga dinilainya tidak akan efektif membendung ASN dalam menjaga dari pelanggaran netralitas.
“Enggak nge-like dan comment, tapi kan pas kampanye bisa hadir di belakang. Bahkan ikut merancang ikut terlibat di penyusunan kampanye,” kata Trubus.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati menyatakan, masalah netralitas ASN selalu muncul dalam tiap pemilu atau pilkada. Dari sisi ASN, kata Khoirunnisa, terkadang ketidaknetralan ASN terjadi karena ingin mempertahankan jabatan, promosi, atau bahkan khawatir akan dimutasi dan intimidasi atasan.
“ASN bisa dimobilisasi, lalu ASN atau birokrasi adalah sumber daya yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan elektoral,” katanya.
Ia juga menilai ada potensi di mana ASN dikerahkan untuk jadi alat untuk mengerek atau mempertahankan elektoral penguasa tertentu. Hal ini sebagaimana rezim orde baru yang memobilisasi ASN untuk mempertahankan kekuasaan.
“Hal yang mempersulit netralitas ASN adalah jika kepala daerahnya yang memerintahkan untuk memenangkan calon tertentu, karena kepala daerah adalah pejabat pembina kepegawaian (PPK) di daerah,” tegasnya.
Upaya Menjaga Profesionalitas ASN
Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) mencatat, secara nasional selama 2020-2021 terdapat 2.034 laporan masuk soal pelanggaran netralitas ASN. Hasilnya, sekitar 1.596 kasus di antaranya adalah ASN yang terbukti melakukan pelanggaran netralitas terkait pemilu.
KASN juga melaporkan, berdasarkan pengawasan kurun waktu 2020-2023 mengenai jenis pelanggaran netralitas, lurah dan camat tercatat sebagai perangkat ASN yang paling banyak melanggar.
Jenis pelanggaran tersebut di antaranya mengadakan kegiatan yang mengarah pada keberpihakan (36,5 persen), kampanye atau sosialisasi di media sosial berupa posting/like/komentar (20,1 persen), menghadiri deklarasi bakal calon atau calon (15,8 persen), foto bersama bakal calon atau calon (11,1 persen), dan menjadi peserta kampanye (7,4 persen).
Pelaksana tugas (Plt) Kepala Biro Humas, Hukum dan Kerja Sama Badan Kepegawaian Negara (BKN) RI, Nur Hasan menyatakan, bahwa SKB yang mengatur netralitas ASN ini sebagai upaya bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik.
“Untuk menghasilkan pegawai ASN yang profesional, memiliki nilai dasar, maka harus bebas dari intervensi politik dan bersih dari KKN,” ujarnya dihubungi reporter Tirto, Selasa (26/9/2023).
Surat keputusan bersama lima kementerian dan lembaga tentang pedoman pembinaan pengawasan netralitas ASN, dimaksudkan untuk membangun sinergitas dan efektifitas dalam pembinaan dan pengawasan netralitas.
“Mendorong kepastian hukum terhadap penanganan pelanggaran asas netralitas pegawai ASN. Tujuannya adalah terwujudnya pegawai ASN yang netral dan profesional,” tukas Nur Hasan.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz