tirto.id - Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Sarmidi Husna menyatakan sikap para kiai yang menolak kampanye politik di lingkungan pesantren. Sikap ini ia tegaskan dalam forum 1.000 pengasuh pesantren di Ponpes Al Muhajirin, Purwakarta, Jawa Barat pada Minggu (24/9/2023). Sarmidi beralasan, kehadiran capres maupun cawapres serta peserta pemilu di masa kampanye selalu berujung pada mudarat.
Dia menolak klaim capres dan cawapres yang datang dalam rangka pendidikan politik. Sebab, Sarmidi melihat para politikus kerap bersikap pragmatis, hadir ke pesantren untuk mendulang suara, bukan untuk pendidikan politik. Situasi ini menurut para pengasuh pesantren bisa menimbulkan gejolak dan ketegangan, baik antarpesantren, alumni pesantren maupun masyarakat secara luas.
Sarmidi berpendapat, saat ini aturan kampanye di lembaga pendidikan cukup longgar. Para capres dan cawapres dapat dengan leluasa berkampanye di pesantren bilamana diizinkan oleh pengasuh atau pimpinannya. Dia juga menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi terkait fasilitas lembaga pendidikan boleh digunakan untuk kampanye, termasuk pesantren dengan izin dari penanggung jawab.
“Para pengasuh pesantren, karena itu menolak pelaksanaan kampanye di lingkungan pesantren dengan mempertimbangkan mudarat-nya jauh lebih besar daripada kemanfaatannya," kata Sarmidi dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi pada Minggu (24/9/2023).
Apa yang disampaikan oleh Sarmidi merupakan bentuk sikap atas fenomena politikus yang kerap hadir ke pesantren di setiap hajatan lima tahunan tersebut. Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mendukung sikap tersebut.
Titi menyoroti pesantren sebagai lembaga pendidikan dengan kultur kepatuhan yang tinggi kepada kiai atau pimpinannya. Sehingga kondisi tersebut rawan dimanfaatkan oleh politikus pragmatis baik dari kalangan partai Islam maupun nasionalis.
“Selain itu, lingkungan pesantren cenderung memiliki kultur kepatuhan yang lebih kuat kepada ulama, pemimpin pesantren atau figur berpengaruh di institusi mereka. Sehingga ketika pesantren dibiarkan melakukan aktivitas politik praktis, kemungkinan pilihan ulama atau pemimpin pesantren akan serta merta diikuti ketaatan oleh peserta didik atau warga pesantren,” kata Titi saat dihubungi Tirto pada Senin (25/9/2023).
Titi khawatir bila fenomena tersebut disalahgunakan dan menjadi ajang mobilisasi masa untuk memilih capres-cawapres atau politikus tertentu dalam pemilu. Kondisi kultural tersebut bisa memicu pesantren jadi rebutan politik dari peserta pemilu.
“Bukan tidak mungkin peserta pemilu akan mengambil jalan pintas pragmatis yaitu pendekatan transaksional kepada pimpinan pesantren untuk memobilisasi warga pesantren bagi kepentingan pemenangan dirinya. Itu sangat berbahaya. Maka, saya mendukung sikap 1.000 kiai pesantren tersebut,” kata Titi.
Titi yang juga dosen kepemiluan di Universitas Indonesia (UI) ini menyebut, dalam lingkungan pesantren banyak santri yang belum memiliki hak pilih. Dengan dalih Undang-Undang Pemilu, politikus tidak boleh berkampanye di lingkungan yang di dalamnya terdapat warga yang belum punya hak untuk memilih. Melalui aturan tersebut, Titi berharap pesantren dapat diproteksi dari politikus yang hendak berkampanye.
“Sementara UU Pemilu melarang kampanye pemilu mengikutsertakan warga yang tidak punya hak pilih. Ancaman hukumannya pidana penjara dan denda," ujarnya.
Ke depan, kata Titi, aturan larangan kampanye di pesantren akan ditetapkan dalam Peraturan KPU (PKPU) yang akan disahkan DPR dalam sidang paripurna. Aturan tersebut memerintahkan KPU untuk melarang adanya kampanye di sekolah dan pesantren.
“Sama seperti saya mendukung KPU tidak membolehkan kampanye di sekolah dalam Rancangan Peraturan mereka yang merupakan tindak lanjut atas Putusan MK No.65/PUU-XXI/2023,” kata Titi menjelaskan.
Direktur Pusat Studi dan Kajian Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari menambahkan, Putusan MK No.65/PUU-XXI/2023 hanya membolehkan kampanye di perguruan tinggi. Oleh karenanya, lembaga pendidikan di bawah itu termasuk pesantren tidak boleh dipergunakan sebagai area kampanye, apa pun alasannya.
“Kalau kita merujuk pada Putusan MK No.65/PUU-XXI/2023 yang diperbolehkan hanya perguruan tinggi, di bawah itu tidak boleh," kata Feri.
Respons Partai Politik soal Penolakan Kampanye di Pesantren
Meski pihak pesantren mengikrarkan diri untuk menolak adanya kampanye politik di lembaga pendidikan mereka, tapi para politikus selalu berusaha untuk masuk. Salah satu alasan yang digunakan adalah silaturahmi.
Ketua Harian DPP Partai Perindo sekaligus tokoh agama dari Nusa Tenggara Barat (NTB), Tuan Guru Bajang Zainul Majdi tak menafikan hal itu terjadi. Namun, dia menegaskan bahwa silaturahmi kepada pesantren dan kampanye adalah dua hal yang berbeda. Silaturahmi tidak boleh memiliki motif atau tendensi politik tertentu atau ajakan memilih tokoh tertentu.
“Perdefinisi, kampanye itu ajakan memilih. Silaturahmi tidak," kata Zainul Majdi saat dihubungi reporter Tirto pada Senin (25/9/2023).
Di sisi lain, Wakil Ketua MPR RI sekaligus anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid mengingatkan penolakan kampanye cukup mengikuti aturan yang telah ditetapkan KPU maupun Bawaslu.
Hidayat berharap para santri dan kiai yang ada di dalam pesantren tetap mendapat hak pilih secara jujur dan adil. Di antara caranya adalah dengan memberikan fasilitas pemilu yang memadai dan melaporkan hasil pemilihan secara transparan.
“Agar para santri dan kiai diberikan hak memilihnya secara benar secara proses pendaftaran calon pemilih hingga penghitungan hasil pilihan di setiap TPS (Tempat Penghitungan Suara), sebagaimana diberikan kepada calon pemilih yang lain. Juga agar mereka dimudahkan mempergunakan hak pilihnya, dengan diadakannya TPS-TPS yang memadai di pesantren," ungkapnya.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Abdul Aziz