Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Catatan FSGI soal MK Perbolehkan Kampanye di Lembaga Pendidikan

FSGI pun mempertanyakan apakah kampanye di fasilitas pendidikan, seperti sekolah TK, SD, dan SMP, diperbolehkan.

Catatan FSGI soal MK Perbolehkan Kampanye di Lembaga Pendidikan
Petugas keamanan berjalan di halaman Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (3/10/2022). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/rwa.

tirto.id - Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengkritik keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan seperti sekolah dan kampus sepanjang tidak menggunakan atribut.

Hal itu merupakan bunyi Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang dibacakan mejelis hakim pada Selasa (15/8/2023).

“Padahal selama ini, tempat pendidikan, dan fasilitas pemerintah menjadi ruang netral untuk kepentingan publik, sehingga dilarang menggunakan fasilitas pendidikan dan fasilitas pemerintah dijadikan tempat kampanye saat pemilihan umum,” kata Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti melalui keterangan tertulisnya, Senin (21/8/2023).

Sekretaris Jenderal FSGI, Heru Purnomo juga menyayangkan keputusan MK tersebut.

“Secara teknis nantinya juga akan sulit bagi sekolah saat lembaganya digunakan untuk tempat kampanye saat proses pembelajaran sedang berlangsung. Hal ini juga berpotensi membahayakan keselamatan peserta didik nantinya,” ujar Heru.

FSGI pun mempertanyakan apakah kampanye di fasilitas pendidikan, seperti sekolah TK, SD, dan SMP, diperbolehkan. Seharusnya hal tersebut tidak boleh terjadi, karena siswa TK hingga SMP belum termasuk usia memilih atau belum memiliki hak pilih.

Bahkan, di SMA dan SMK pun hanya sebagian peserta didik yang sudah memiliki hak pilih karena sudah berumur 17 tahun. Mereka adalah pemilih pemula, yang jumlahnya cukup besar dan menjadi target banyak caleg, cabup/cawalkot, cagub dan capres.

Menurutnya, tempat ibadah, tempat pendidikan, dan fasilitas pemerintah seharusnya menjadi ruang netral untuk kepentingan publik. Dengan kata lain, tempat-tempat tersebut tidak dipakai untuk kepentingan elektoral tertentu. Larangan penggunaan ketiga jenis sarana tersebut harus bersifat mutlak tanpa syarat.

Ia menyatakan, apabila MK berdalil bahwa tempat ibadah tidak layak digunakan untuk kepentingan kampanye tanpa syarat karena menjadi salah satu upaya untuk mengarahkan masyarakat menuju kondisi kehidupan politik yang ideal sesuai dengan nilai ketuhanan berdasarkan Pancasila, begitu pun seharusnya dengan tempat pendidikan dan fasilitas pemerintah.

Tempat pendidikan memang boleh menjadi tempat untuk mempelajari ilmu politik. Namun demikian, tidak untuk kepentingan politik elektoral tertentu.

“Fasilitas pemerintah boleh digunakan untuk pencerdasan politik bangsa, tetapi tidak untuk kepentingan elektoral tertentu," ucapnya.

Retno menambahkan, mengenai persyaratan "tanpa atribut" dalam berkampanye di kampus, itu tidak menghilangkan relasi kuasa dan uang. Sebab, dua hal itu bisa saja disalahgunakan oleh institusi pendidikan untuk mengomersialkan panggung politik di dalam tempat pendidikan.

“Kondisi tersebut jelas berbahaya bagi netralitas lembaga pendidikan ke depannya. Apalagi jika yang berkampanye adalah kepala daerah setempat, relasi kuasa ada dan bahkan bisa menggunakan fasilitas sekolah tanpa mengeluarkan biaya. Jika menggunakan aula yang berpendingin udara, maka beban listrik menjadi beban sekolah,” kata Retno.

Atas kondisi tersebut, FSGI meminta kepada KPU agar harus segera merevisi peraturan kampanye terkait tempat kampanye.

FSGI mendorong peran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Pusat dan Daerah untuk mengawasi pelaksanaan kampanye di lembaga-lembaga pendidikan, terutama sekolah negeri yang tak mungkin menolak perintah kepala daerah petahana melalui Kepala Dinas Pendidikan setempat untuk menggunakan Lembaga Pendidikan, ada relasi kuasa di sini.

Bahkan, sekolah-sekolah negeri di jenjang SMA/SMK yang memiliki pemilih pemula berpotensi menjadi target kampanye di tempatnya bersekolah saat kampanye dilangsungkan di sekolahnya;

Selain itu, FSGI mendorong KPU yang akan merevisi peraturan kampanye pasca keputusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 untuk mendetailkan aturan kampanye di Lembaga Pendidikan.

Seperti diperbolehkan dijenjang pendidikan yang mana, apakah hanya boleh dijenjang SMA/SMK yang peserta didiknya ada yang sudah memiliki hak pilih, waktu penggunaan misalnya di hari Sabtu/Minggu di saat aktivitas pembelajaran sedang tidak ada sehingga tidak mengganggu, dan sebagainya.

Lalu, FSGI mendorong pemerintah menjamin keamanan warga sekolah oleh penegak hukum, ketika kampanye di lembaga pendidikan dengan batasan persyaratan jaminan yang ketat oleh pihak berwenang.

Apabila penyelenggara negara bersepakat menjadikan SMA dan SMK untuk tempat kampanye tidak masalah sepanjang risiko kerugian dapat diminimalisir dan ada jaminan keamanan dari penegak hukum, pemerintah, dinas pendidikan, dan kepala sekolah.

Saat kegiatan kampanye di sekolah, penegak hukum wajib mengamankan peserta didik per sekolah SMA, SMK sebanyak 200-350 orang. Jumlah peserta didik pemilih pemula yang sebanyak ini tidak akan menyulitkan Polsek, Polres, dan Koramil dalam penjagaan keamanan.

“Apabila pemerintah dapat menjamin ada manfaat pendidikan politik yang lebih besar kepada pemilih pemula dan risiko kerugian dapat diperkecil dengan adanya jaminan keamanan oleh penegak hukum,maka silahkan adakan kampanye di sekolah dengan batasan persyaratan jaminan yang ketat oleh pihak berwenang,” kata Guntur Ismail, Ketua Tim Kajian Hukum FSGI.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz