Menuju konten utama
Pencemaran Udara di Jakarta

Bahaya Polusi Udara bagi Kesehatan Anak: Perlu Solusi Konkret

Upaya promotif dan preventif pada masyarakat seharusnya diutamakan dibanding penanganan terapeutik dan rehabilitasi korban.

Bahaya Polusi Udara bagi Kesehatan Anak: Perlu Solusi Konkret
Suasana gedung-gedung bertingkat yang tertutup oleh kabut polusi di Jakarta, Selasa (25/7/2023). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/nym.

tirto.id - Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-78 Kemerdekaan Republik Indonesia diwarnai dengan harapan untuk lepas dari jerat polusi udara. Sudah sejak awal Agustus, pembicaraan soal kualitas udara Jabodetabek – khususnya DKI Jakarta – yang memburuk, ramai diperbincangkan. Warga punya kekhawatiran yang kian membukit akan dampak buruk polusi udara yang mengintai kesehatan keluarga.

Jerat polutan jahat di wilayah Jabodetabek, warga rasakan dampaknya ketika anggota keluarga mulai jatuh sakit. Para orang tua tidak dapat menyembunyikan gelisah, curiga buah hati mereka yang tengah sakit, punya kaitan erat dengan kondisi kualitas udara yang memburuk akhir-akhir ini.

Fenti, bukan nama sebenarnya, adalah salah satu orang tua yang curiga polusi udara membuat kondisi kesehatan anaknya menurun. Alya, anak pertama Fenti yang berumur kurang dari setahun sudah mengalami pilek hampir sepekan ini. Ibu rumah tangga asal Kabupaten Bogor ini, merasa Alya jatuh sakit akibat kualitas udara yang buruk di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka.

“Karena ramai di media, saya instal aplikasi pengecek kualitas udara, dan memang berbarengan dia sakit (Alya), di sini lagi buruk (kualitas udara). Dokter saranin agar jangan banyak bawa keluar rumah apalagi saat siang bolong. Udara buruk nambah bikin parah sama batuk katanya,” kata dia kepada reporter Tirto, Jumat (18/8/2023).

Menurut Fenti, buah hatinya saat ini jadi jarang dibawa keluar rumah karena khawatir kondisinya memburuk. Fenti sendiri bahkan mulai merasakan sakit tenggorokan dan batuk akhir-akhir ini.

“Kalau saya sih enggak apa-apa deh (sakit), cuma ya kalau anak yang sakit, saya enggak tega lah,” ujar Fenti.

Penuturan senada juga diungkapkan Lilis. Wanita asal Cimanggis, Depok, yang pulang-pergi ke Jakarta untuk bekerja sehari-hari ini pun mengkhawatirkan kondisi anaknya. Lilis bercerita, anak keduanya tengah mengalami radang tenggorok hampir masuk dua pekan. Bocah yang duduk di kelas 2 bangku sekolah dasar itu bahkan sempat dirawat.

“Iya awalnya dirawat karena batuk-batuk enggak berhenti dan sakit kalau makan. Kata dokter di klinik, ada pengaruhnya dengan cuaca dan udara buruk belakangan ini,” ujar Lilis kepada reporter Tirto.

Meski sudah bisa masuk sekolah, Lilis kini meminta buah hatinya untuk memakai masker sehari-hari. Lilis khawatir kondisi anaknya dapat memburuk dan menjadi infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).

“Ini yang ngeri sih, kan, katanya bisa jadi ISPA polusi udara itu. Kata dokter memang ada kemungkinan dia menuju sana (ISPA), makannya pakai masker agar terhindar dari virus,” jelas Lilis.

Kekhawatiran para orang tua tersebut beralasan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, polusi udara berdampak pada anak-anak, seperti 14 persen kasus asma pada anak usia 5-18 tahun berkaitan dengan polusi udara. Serta tiap tahun, terdapat 543.000 kematian anak usia di bawah 5 tahun karena penyakit pernapasan berhubungan dengan polusi udara.

Dalam satu pekan terakhir hingga pada puncak perayaan momen kemerdekaan, Kamis (17/8/2023), indeks kualitas udara (AQI) di Jakarta berada pada level di atas 150 atau kategori tidak sehat. Kualitas udara di Jakarta sempat membaik pada sore harinya, berada di level sedang dengan angka AQI 99. Sehari setelahnya, Jumat (18/8/2023) sore, kualitas udara Jakarta kembali berada pada level tidak sehat bagi kelompok sensitif dengan AQI 117.

Masa Depan Anak Terancam

Ketua Kelompok Kerja Masalah Rokok Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Feni Fitriani Taufik menyatakan, polusi udara memiliki dampak pendek dan jangka panjang bagi anak-anak. Menurut Feni, anak-anak merupakan kelompok rentan, yang bilamana terkena pajanan polusi udara terus-menerus akan mempengaruhi tumbuh kembang anak di masa depan.

“Anak-anak menjadi rentan karena satu, kondisi anatomi dari saluran napasnya sendiri masih belum sempurna, sistem imunnya masih belum sempurna, jadi kalau terkena pajanan polusi udara jadi mudah sakit. Kemudian kondisi pajanan itu jadi PR (pekerjaan rumah), di masa hidupnya selanjutnya,” kata Feni dalam konferensi pers daring yang diikuti reporter Tirto, Jumat (18/8/2023).

Pajanan polutan sendiri bisa menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan anak. Hal ini memunculkan risiko ISPA dan pneumonia terhadap anak makin besar. Kejadian ISPA yang berulang, kata Feni, dapat menyebabkan tumbuh kembang anak terganggu.

“Dengan terulangnya terkena ISPA itu, dia akan mudah terjadi gangguan perkembangan fungsi paru. Makin dini terkena pajanan, maka makin sering ISPA dan sering inflamasi saluran napas akan mengganggu daya tahan tubuhnya dan fungsi paru-nya, maka saat dewasa akan jadi lebih rentan,” jelas Feni.

Menurut Feni, ada pula penelitian yang menyebutkan polusi udara berkaitan dengan risiko keterlambatan pertumbuhan, atau kondisi stunting pada anak. Selain itu, sebuah penelitian di Hong Kong pada 2012 menyatakan, terdapat hubungan PM2.5 dengan terjadinya kasus pneumonia pada anak.

“Ini penelitian di Hong Kong tahun 2012. Setiap peningkatan kadar PM 2.5 sebesar 10 mikrogram itu berkaitan dengan tingkat rawat anak akibat pneumonia sebanyak 3.3 persen,” sambung Feni.

Sementara itu, Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Respirasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Darmawan Budi Setyanto menyampaikan, polusi udara merupakan pembunuh senyap (silent killer). Kelompok rentan seperti anak-anak, ibu rumah tangga yang sering terkena pajanan polutan dari aktivitas dapur, serta pekerja lapangan adalah yang paling berisiko merasakan dampak panjang polusi udara.

Darmawan menyatakan, semakin dini terpajan polusi udara, maka makin besar dampak panjang terhadap gangguan kesehatan di masa depan.

“Pada anak berpotensi mengalami gangguan kesehatan, gangguan belajar mengajar, dan kesejahteraan anak secara umum,” ujar Darmawan dalam media briefing IDAI, Jumat (18/8/2023).

Polusi udara juga dapat memberikan dampak kesehatan bagi ibu hamil dan janin yang dikandungnya. Polutan seperti PM 2.5, kata Darmawan, lebih kecil dari sehelai rambut. Maka ketika masuk ke dalam tubuh akan mengakibatkan inflamasi atau peradangan pada organ selain sistem respirasi. Janin bisa terdampak pajanan polutan melalui plasenta, hal ini meningkatkan risiko kesehatan karena terpajan pada usia sangat muda.

“PM 2.5 bisa masuk menembus ke pembuluh darah dan zat lain bisa masuk terkontaminasi tubuh kita. Adanya polutan ini membuat tubuh menghasilkan respons, tapi jelas kalau ada benda asing ada interaksi, nah ini akan ada inflamasi atau peradangan kronik di seluruh tubuh kita,” jelas Darmawan.

Perlu Aturan di Hulu Bukan Cuma Hilir

Menurut Darmawan, pemerintah keliru jika penanganan polusi udara hanya terfokus di bagian hilir atau menangani dampaknya. Upaya promotif dan preventif pada masyarakat seharusnya diutamakan dibanding penanganan terapeutik dan rehabilitasi korban.

“Sikap pemerintah seharusnya adalah bagaimana anak-anak tidak terdampak. Jadi kita harus bertindak lebih hulu, bukan ada korban dulu baru ambil tindakan. Nah, peran pemerintah amat sangat besar sekali. Karena pemerintah pegang otoritas,” kata Darmawan menjawab pertanyaan reporter Tirto.

Pemerintah didorong merancang aturan yang berpihak pada kesehatan masyarakat, bukan pada kepentingan industri. Sebab, Darmawan menyatakan, polutan di udara juga bisa terjadi di dalam rumah akibat aktivitas merokok anggota keluarga. Imbasnya, anak-anak menjadi korban kualitas udara yang buruk.

“Polusi indoor misalnya, buatlah aturan yang berpihak pada kesehatan, bukan kepada industri tembakau misalnya, jika kita bicara polusi dalam rumah. Ini asap rokok sangat jahat, tapi masih difasilitasi terus berlangsung. Amat sangat besar peran pemerintah,” ungkap Darmawan.

Di sisi lain, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mengusulkan adanya undang-undang dan peraturan dari pemerintah tentang pengendalian polusi udara. UU dan kebijakan yang disarankan meliputi peraturan standar baku mutu udara ambien sesuai standar WHO terbaru. Serta adanya percepatan peraturan menyangkut penggunaan bahan bakar kendaraan sesuai standar EURO 4.

“Pada pemerintah dan pemangku kebijakan, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) memberikan saran, yang pertama, membuat undang-undang dan peraturan yang baik tentang pengendalian polusi udara,” kata pengurus pusat PDPI, Nuryunita Nainggolan dalam konferensi pers daring, Jumat (18/8/2023).

Perlu dibuat juga peraturan tentang uji emisi kendaraan bermotor dan peraturan untuk mengurangi emisi polusi udara dari industri. Selain itu, kata Nuryunita, perlu ada koordinasi lintas sektoral yang lebih baik, termasuk dengan akademisi dan organisasi profesi untuk menangani masalah polusi udara.

Nuryunita menambahkan, polusi udara harus menjadi perhatian serius semua pihak karena berdampak juga pada penurunan produktivitas kerja, angka bolos sekolah dan mangkir kerja karena menderita sakit akibat dampak polusi udara yang buruk.

Masyarakat diminta untuk ikut berperan aktif mengurangi sumber polusi udara seperti beralih dari kendaraan pribadi ke moda transportasi massal, tidak membakar sampah sembarangan, hemat listrik dan lainnya.

PDPI juga menyarankan penggunaan masker atau respirator dengan kemampuan filtrasi partikel yang maksimal (kemampuan filtrasi ≥ 95%), misal masker N95, KN95, dan sebagainya, di saat kualitas udara memburuk.

Upaya Terkini Pemerintah

Teranyar, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, pemerintah berencana membentuk satuan tugas atau satgas yang akan mengkoordinasikan upaya perbaikan kualitas udara lintas instansi di wilayah Jabodetabek.

Hal itu disampaikan Luhut dalam rapat koordinasi “Upaya Peningkatan Kualitas Udara Kawasan Jabodetabek” lintas kementerian/lembaga bersama Pemda DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Luhut mengklaim, pemerintah telah menyiapkan langkah konkret atasi polusi udara di Jabodetabek.

“Dari yang kami pelajari, untuk meningkatkan kualitas udara, pengendalian emisi harus berfokus pada 3 sektor, yaitu transportasi, industri dan pembangkitan listrik, serta lingkungan hidup. Kami akan bergerak dari sektor hulu hingga hilir,” kata Luhut dalam rapat koordinasi, di kantor Kemenko Kemaritiman dan Investasi, Jakarta, Jumat (18/8/2023).

Luhut menjelaskan, salah satu upaya tersebut, pemerintah akan mewajibkan industri menggunakan scrubber untuk industri berat dan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, serta meningkatkan standar emisi PLTU. Selanjutnya, penggunaan PLTU batu bara juga akan dikurangi dengan pensiun dini atau pengurangan faktor kapasitas PLTU.

Di sisi lain, Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta telah menyiapkan fasilitas kesehatan untuk mengatasi dan mengantisipasi penyakit akibat kualitas udara di Ibu Kota.

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Ani Ruspitawati mengatakan, sebanyak 44 puskesmas kecamatan, 196 puskesmas kelurahan, 31 Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dan 196 rumah sakit yang ada di Jakarta akan memberikan layanan 24 jam bagi warga.

Ani mengklaim, penyakit yang ditimbulkan karena polusi udara di Jakarta belum termasuk kategori darurat. Hal itu disimpulkan salah satunya dengan melihat tren kasus penyakit ISPA yang tidak mengalami kenaikan drastis.

“Selain itu, kami juga mengimbau masyarakat yang dalam keadaan tidak sehat, sebaiknya tidak beraktivitas. Kalaupun harus beraktivitas, usahakan menggunakan masker,” ujar Ani dalam keterangan resmi, Kamis (17/8/2023).

Baca juga artikel terkait POLUSI UDARA atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz