tirto.id - Sejumlah warga ibu kota Jakarta terpantau mulai kembali banyak menggunakan masker belakangan ini. Setelah pandemi COVID-19 mereda, kini muncul musuh baru bernama polusi udara. Warga terpaksa menggunakan masker lagi untuk melindungi diri dari kandungan partikulat jahat tak terlihat.
Averus Al Kautsar, pria berusia 26 tahun yang tinggal di Mampang, Jakarta Selatan, adalah salah satu contohnya. Averus awalnya skeptis dengan bahaya polusi udara yang belakangan ramai diperbincangkan. Belakangan, ia kembali menggunakan masker karena mulai merasakan dampak langsung dari kualitas udara yang kian buruk.
“Jujur saja akhir ini worry ini, mulai muncul karena ngebul banget di jalan. Apalagi aku bawa motor, buat ngisap (napas) dalam saja agak seram. Apalagi aku bukan perokok, baru pertama kali ini akhirnya memutuskan menggunakan masker kembali setelah COVID,” ujar Averus ditemui reporter Tirto di kawasan Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Selasa (15/8/2023).
Menurut Averus, wacana pemerintah menerapkan sistem kerja hybrid atau kombinasi dari kerja dari rumah (work from home) dan kerja dari kantor (work from office), tidak akan berdampak banyak pada perbaikan kualitas udara di Jabodetabek.
“Kalau aku lihat ini agak kurang yakin karena kemarin juga pakar di sosmed ngomong Sabtu-Minggu lebih lengang, tapi polusi tetap ada. Jadi kalau CFD (car free day) saja masih polusi, kalau WFH doang enggak jadi solusi ya,” ungkapnya.
Son Katingka, punya pandangan yang berbeda. Pria yang baru satu tahun tinggal di DKI Jakarta ini, menaruh harapan pada sistem kerja hybrid sebagai upaya mengurangi dampak polusi udara.
“Menurutku lumayan menyumbang, ada sumbangsih penurunan mobilitas orang di jalan, dan menekan mobilitas kendaraan juga, kan,” kata Son ditemui reporter Tirto di Senayan Park, Jakarta, Selasa (15/8/2023).
Pegawai swasta berusia 25 tahun ini, mulai menyadari dampak serius polusi udara setelah menyaksikan langsung kawan-kawannya tumbang karena efek kualitas udara yang buruk.
“Mulai karena lihat teman-teman mulai batuk dan pilek sakit akhirnya aku memutuskan ke masker,” tutur Son.
Son bercerita akhir-akhir ini dirinya membatasi mobilitas keluar rumah karena khawatir dampak buruk polusi udara DKI Jakarta. Penuturan Son, dari kediamannya saja sudah terlihat asap dan buruknya udara ibu kota. Hal itu membuatnya awas terhadap kondisi kesehatan diri.
“Ini kayak fenomena baru buat aku, karena baru setahun di Jakarta. Kondisinya jauh banget (sama kampung halaman), jadi lebih aware,” tambah Son.
Wacana sistem kerja hybrid sebagai salah satu upaya penanganan polusi udara di Jabodetabek disinggung Presiden Joko Widodo pada rapat terbatas (ratas) Peningkatan Kualitas Udara Kawasan Jabodetabek, Senin (14/8/2023).
“Jika diperlukan, kita harus berani mendorong untuk banyak kantor melaksanakan hybrid working from office, work from home. Saya tidak tahu kesepakatan di ratas ini apakah 75 persen, 25 persen atau angka yang lain,” kata Jokowi di Istana Negara.
Guru Besar Bidang Ilmu Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) Budi Haryanto mengatakan, upaya pemerintah menerapkan sistem kerja hybrid merupakan solusi yang bagus. Jika jadi diterapkan, maka aturan ini diharapkan bisa mengurangi mobilitas dan jumlah kendaraan bermotor di jalan, sehingga mereduksi polutan.
“Kalau diterapkan konsisten, memang polusi udara sebagian akan berkurang, sehingga dampak kesehatan pada masyarakat tentunya juga akan berkurang,” ujar Budi dihubungi reporter Tirto, Selasa (15/8/2023).
Dampak Polusi Udara Selain pada Sistem Respirasi
Jamak diketahui polusi udara berdampak buruk pada saluran pernapasan. Namun menurut Budi, pajanan polusi udara dalam jangka panjang bisa menimbulkan dampak yang lebih buruk.
Saluran pernapasan, kata Budi, adalah jalur masuk polutan ke dalam tubuh yang bisa terus menuju organ jantung, kemudian disebarkan oleh pembuluh darah ke organ-organ tubuh lain seperti susunan saraf pusat, otak, sumsum tulang belakang, dan lain-lain.
“Perjalanan polutan/pencemar tersebut masuk ke dalam tubuh akan menyebabkan berbagai gangguan kesehatan sepanjang perjalanannya dan di target organnya di mana akan deposit dan melakukan perusakan serius. Makanya berbagai penyakit muncul karenanya,” jelas Budi.
Sementara itu, Wakil Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) cum Dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Narila Mutia Nasir menyoroti berbagai jenis polutan yang memiliki dampak buruk bagi kesehatan.
Narila menyoroti berbagai polutan di udara bagi kesehatan, mulai dari PM2.5 yang dapat menurunkan fungsi paru-paru. Ada juga NO2 (nitrogen dioksida) yang bisa mengiritasi saluran pernapasan dan bisa berkembang menjadi asma, serta penyebab penyakit paru-paru kronik. Selain itu, pajanan SO2 (sulfur dioksida) dapat mengiritasi mata, hidung, tenggorokan, dan paru-paru.
“Jika terpapar terus dapat menyebabkan inflamasi sistem pernapasan. Bahkan, CO (karbon monoksida) kalau tinggi levelnya bisa masuk ke dalam darah, dan bisa berakibat fatal,” kata Narila kepada reporter Tirto.
Sistem Kerja Hybrid Bukan Solusi Permanen
Kendati demikian, Narila menegaskan, pemerintah perlu mengkaji terlebih dulu efektifitas rencana sistem kerja hybrid atau penerapan WFH sebagai solusi menangani polusi udara di Jabodetabek.
Ia menyoroti, setiap indikator polutan perlu dilihat dan dikaji, karena sejauh ini pemberitaan hanya berfokus pada efek PM2.5 dan cenderung abai pada indikator lain. Selain itu, ketentuan hybrid bisa jadi tidak efektif bila seseorang tetap saja kerja di tempat lain sambil berkendara.
“Yang perlu dilihat adalah penggunaan kendaraan bermotornya juga. Secara umum, kan, orang kerja ya sebagian besar di ruangan, ya sama-sama saja kalau WFH juga di ruangan. Kalau kemudian ujung-ujungnya pergi-pergian juga menggunakan kendaraan bermotor meski bukan ke kantor? Bisa jadi (kebijakan) ini enggak efektif,” tegas Narila.
Menurut Narila, perlu kajian yang kritis sehingga perhitungan penurunan polusinya dapat terukur. Kebijakan hybrid dinilainya bukan solusi jangka panjang dari upaya penanganan polusi udara.
“Apakah benar kebijakan itu efektif terutama jika tujuannya untuk kesehatan masyarakat? Kebijakan enggak bisa hanya sesaat, yang perlu lebih dipikirkan adalah kebijakan yang bisa dieksekusi yang berdampak ke jangka panjang,” ujarnya.
Hal senada diungkapkan Peneliti Global Health Security Policy Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman. Ia menilai kebijakan sistem hybrid tidak cukup untuk menangani permasalahan polusi udara di Jabodetabek. Kendati mobilitas masyarakat dapat ditekan, tapi sumber polutan perlu ditangani sehingga tidak menimbulkan dampak buruk jangka panjang.
“Apa bisa menyelesaikan polusi udara? Ya enggak. Karena yang dibutuhkan itu untuk penyelesaian polusi udara, yang dibutuhkan itu bukan di kuratifnya dan bukan di reaktifnya. Yang paling utama adalah mencari penyebabnya dan mengurangi risikonya,” ujar Dicky dihubungi reporter Tirto, Selasa (15/8/2023).
Dicky menambahkan, misal sumber emisi tinggi penyebab polusi udara adalah sektor industri, maka perlu diintervensi sumber emisi tersebut. Perlu didorong penggunaan energi ramah lingkungan di sektor tersebut jika terbukti penyumbang emisi terbesar.
“Kemudian transportasi publik dan privat mulai bagaimana mereka meningkatkan penggunaan bahan bakar ramah lingkungan atau mendorong kendaraan listrik yang murah, atau dengan transportasi publik yang aman dan nyaman,” jelas Dicky.
Pemerintah, kata Dicky, perlu memikirkan dampak panjang polusi udara yang mampu menimbulkan penyakit kronik. Ini menimbulkan sinyal bahwa penanganan polusi udara tidak bisa parsial dan jangka pendek.
“Kalau tidak meminimalisir polutan dari kontributor itu, ya situasinya malah akan memburuk. Sekali lagi ini kondisi awal kalau tidak mitigasi dari saat ini, maka situasi akan memburuk,” tegas Dicky.
Presiden Jokowi sempat menyinggung bahwa polusi udara di Jabodetabek meningkat selain akibat transportasi, juga karena emisi yang dihasilkan aktivitas industri imbas penggunaan bahan bakar batu bara.
“Pembuangan emisi dari transportasi dan juga aktivitas industri di Jabodetabek terutama yang menggunakan batubara di sektor industri manufaktur,” kata Jokowi di Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin (14/8/2023).
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sumber cemaran terbesar disumbang sektor transportasi sebanyak 44 persen, diikuti sektor industri 31 persen , manufaktur 10 persen, perumahan 14 persen dan komersial 1 persen.
Ditemui setelah mengisi acara di Hotel Horison, Jakarta Pusat, Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, menyampaikan bahwa Kementerian Kesehatan akan berfokus mengurus bagian hilir dari penanganan polusi udara.
Ia menyatakan, Kemenkes diminta Presiden Jokowi untuk mengawasi daerah-daerah dengan polusi udara buruk. Pihaknya menyiapkan penanganan dampak polusi udara bagi kesehatan masyarakat.
“Itu sudah kami siapkan gimana perawatannya di rumah sakit-rumah sakit. Tapi balik lagi, kami di hilir, kami meng-handle akibatnya kami tidak bisa meng-handle sebabnya. Karena sebabnya, kan, di kementerian lain,” jelas Budi ditemui reporter Tirto di Jakarta, Selasa (15/8/2023).
Kementerian Kesehatan menyampaikan akan mengikuti arahan Presiden Jokowi terkait wacana aturan kerja hybrid. Kemenkes juga menyatakan akan melakukan persiapan pencegahan di puskesmas dan melakukan edukasi di masyarakat terkait dampak polusi udara.
Perlukah Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) Ikut Diberlakukan?
Wacana penerapan pembelajaran jarak jauh (PJJ) bagi pelajar juga ikut diperbincangkan seiring wacana hybrid di sektor pekerjaan. Sekretaris Fraksi PSI di DPRD DKI, William A Sarana menyerukan darurat work from home (WFH) bagi pelajar dan sektor pekerja imbas dari buruknya kondisi udara di DKI Jakarta.
Kendati demikian, kata Narila, sektor pendidikan tidak perlu menerapkan PJJ atau sistem hybrid saat ini. Cukup memastikan anak-anak memakai masker saat berada di luar ruangan, serta mengurangi aktivitas bermain di luar terutama saat jam-jam sibuk.
“Kalau ada anak yang sakit ISPA istirahat di rumah. Saya rasa hybrid belum tentu efektif terutama terkait dengan proses pembelajaran anak,” ujar Narila kepada reporter Tirto.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Biro Komunikasi Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi menyebut, sejauh ini tidak ada wacana penerapan kembali pembelajaran jarak jauh. Nadia menegaskan masih ada opsi lain mengatasi masalah polusi udara pada anak-anak.
“Masih ada solusi-solusi seperti memasang air purifier, kemudian masih ada kebijakan-kebijakan yang kita lakukan untuk menurunkan polusi udara. Seperti car free day, dan ke kendaraan listrik,” ucap Nadia ditemui reporter Tirto di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa (15/8/2023).
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz