tirto.id - Ilham Mursalin masih begitu was-was soal kesehatan putri semata wayangnya. Ayesha, anak pertama Ilham yang masih berusia sembilan bulan itu, hampir setiap bulan jatuh sakit. Peristiwa ini terjadi semenjak Ilham memboyong keluarga kecilnya tinggal di kawasan Meruya, Jakarta Barat. Karena alasan pekerjaan, Ilham dan keluarga mulai tinggal di ibu kota sejak lima bulan lalu.
“Anak itu sebulan sekali pasti sakit. Yang awalnya batuk pilek, sekarang demam juga. Nah di sini ada kekhawatiran juga,” kata Ilham kepada reporter Tirto, Kamis (10/8/2023).
Sejak tinggal di Jakarta, kata Ilham, Ayesha hampir setiap bulan sekali mengalami batuk pilek. Awalnya, dokter tak menemukan ada yang salah dengan kondisi Ayesha. Skrining medis menunjukkan tubuh anak tersebut sehat.
“Akhirnya dokter pun menyimpulkan ini bisa jadi karena polusi (udara) yang ada di sini. Karena kan dulu kami tinggal di pesisir di Indramayu. Segar, walaupun kami enggak tahu sepolusi apa di sana, tapi jauh segar dibanding di sini,” ujar pria berusia 26 tahun itu.
Kata dokter yang merawat Ayesha, kualitas udara yang buruk bisa menjadi salah satu faktor yang menyebabkan anak tersebut sering mengalami batuk. Kini, Ilham rutin membawa anaknya untuk cek kesehatan setiap bulan.
“Ibaratnya kata dokter kaget lingkungan baru. Toh dari lahir sampai umur 4 bulan di Indramayu enggak pernah sakit. Sekarang alhamdulillah, sudah mendingan,” tutur Ilham penuh harap.
Kisah serupa dialami Rian, seorang karyawan swasta asal Depok, Jawa Barat. Pria berusia 32 tahun itu sehari-hari bekerja pulang-pergi Depok-Jakarta, menggunakan kendaraan roda dua kesayangannya. Sudah hampir dua minggu ke belakang Rian, mengalami masalah gangguan pernapasan.
Ia mengalami gejala batuk dengan intensitas keras dan terus-menerus. Awalnya, Rian mengira bahwa dirinya tertular COVID-19. Namun, hasil pemeriksaan dokter berkata lain.
“Karena gue pernah ISPA, ketika dokter ngasih obat, akhirnya gue minta rontgen. Dan ternyata cukup berkabut ya itu di minggu kedua, gue disebut bronkitis,” kata Rian kepada reporter Tirto.
Rian curiga kondisinya diperburuk oleh kualitas udara Jakarta yang buruk belakangan ini. Kini, Rian berupaya menggunakan masker ketika bepergian sambil menyelesaikan pengobatannya.
“Gue juga ngerasa udara Jakarta nggak begitu sehat kalau pagi ya. Kalau dulu pagi narik napas bisa lega, kalau sekarang enggak, kayak panas pengap dari pagi,” tambah Rian.
Kualitas udara Jakarta yang buruk akhir-akhir ini memang tengah menjadi sorotan. Mengutip data Nafas Indonesia, kualitas udara Jakarta pada 6-7 Agustus 2023 berada di atas 60 mikrogram/meter kubik standar baku PM 2,5. Jakarta Timur, bahkan mencapai tingkat di atas 100 mikrogram/meter kubik.
Sementara berdasarkan data yang dirilis World Air Quality (IQAir) pada Selasa (8/8/2023), Jakarta sempat menjadi kota besar paling berpolusi dengan indeks kualitas udara Jakarta terukur mencapai 164 secara akumulatif. Konsentrasi partikel debu halus atau PM 2,5 mencapai 16,5 kali lebih tinggi daripada standar rekomendasi WHO.
Penyakit Saluran Pernapasan Meningkat
Dokter spesialis paru cum anggota Bidang Kajian Penanggulangan Penyakit Menular Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Erlina Burhan menyampaikan, memang terjadi peningkatan pasien penyakit gangguan saluran pernapasan di Jakarta. Dari pengamatannya, polusi udara Jakarta yang memburuk bisa menjadi salah satu faktornya.
“Dari pengamatan saya, dari tempat praktik saya, akhir-akhir ini memang terjadi peningkatan kunjungan (pasien) asma atau PPOK (penyakit paru obstruktif kronis) yang mengalami serangan batuk, pilek, dan sesak. Barangkali ini ada hubungannya dengan polusi udara yang levelnya cukup tinggi di Jakarta dan sekitarnya,” kata Erlina dihubungi reporter Tirto, Kamis (10/8/2023).
Menurut Erlina, pajanan polusi udara bisa menimbulkan iritasi saluran pernapasan pada kelompok rentan. Hal ini bisa mempengaruhi kesehatan lebih serius dalam jangka panjang.
“Karena bagi orang rentan seperti anak-anak, orang tua, penderita asma, atau PPOK ini, akan mudah sekali polusi ini menimbulkan iritasi di saluran napas yang kemungkinan akan berdampak pada kesehatan,” jelas Erlina.
Selain itu, kata Erlina, anak-anak yang sering mengalami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) akan berdampak buruk dalam jangka panjang. Erlina mendorong Pemprov DKI Jakarta agar secara rutin menginformasikan kualitas udara kepada masyarakat.
“Supaya masyarakat tahu akan kondisi ini, kemudian masyarakat bisa antisipasi. Kemudian ditingkatkan frekuensi pemeriksaan kendaraan bermotor, karena kita tau 80 persen polusi udara berasal dari transportasi,” ungkap Erlina.
Di sisi lain, Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Tjandra Yoga Aditama menyampaikan, memburuknya kualitas udara berkorelasi dengan risiko peningkatan penyakit gangguan saluran pernapasan.
“Secara umum iya (terjadi peningkatan), namun contoh di Australia saya ke sana itu dia ada datanya peningkatan. Namun, kalau kualitas udara buruk tentu menimbulkan efek pada penyakit pernapasan sudah pasti. Namun alangkah lebih baik didukung juga oleh data,” kata Tjandra dihubungi reporter Tirto.
Tjandra menyatakan, polusi udara dapat menimbulkan dampak risiko penyakit infeksi akut, seperti ISPA dalam bentuk radang tenggorok dan bronkitis. Selain itu, polusi udara juga dapat memperburuk kondisi penyakit kronik.
“Misalnya seseorang yang memang punya asma akan lebih mudah dapat serangan asma kambuh, begitu juga pasien PPOK (penyakit paru obstruktif kronik) akan lebih mungkin eksaserbasi akut,” jelas Tjandra.
Ia menambahkan, polusi udara yang terjadi terus-menerus selama berkepanjangan secara teoritis memang dapat menimbulkan penyakit paru kronik. Namun, kondisi di DKI Jakarta cenderung fluktuatif saat ini, sehingga dampak berkepanjangan belum terlihat.
Tjandra mendorong pemerintah untuk dapat mengidentifikasi secara lebih jelas soal penyebab polusi udara sekarang ini. Selain itu, perlu tindakan nyata di lapangan untuk mengatasi penyebab yang telah ditemukan.
“Kemacetan lalu lintas tentu punya peran amat penting, dan perlu penanganan segera. Pada waktu saya masih tinggal di New Delhi misalnya, bahkan pernah ada pembatasan kegiatan bangun gedung yang menimbulkan debu,” tutur Tjandra.
Perlu Deteksi Dini Polusi Udara
Guru Besar Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), Agus Dwi Susanto menyatakan, efek polusi udara bahkan bisa memicu penyakit yang merusak sistem jaringan pada tubuh seperti kanker dan stroke.
Agus menyampaikan, masyarakat perlu menyadari pentingnya deteksi dini masalah polusi udara kategori buruk bagi kesehatan. Dari 6,7 juta kematian prematur akibat polusi udara, sekitar 37 persen merupakan penyakit jantung iskemik. Selain itu, sistem pemantauan polusi udara dan sistem peringatan dini bahaya polusi udara di masyarakat perlu dibangun oleh pemerintah.
“Informasi mengenai kualitas udara yang tidak sehat perlu diberikan secara berkala kepada masyarakat. Itu beserta dengan langkah antisipasi yang harus dilakukan. Dengan begitu, kesadaran warga tentang polusi udara bisa lebih baik,” kata Agus dalam diskusi daring yang diadakan PB IDI, Selasa (8/8/2023).
Hasil pemantauan laman resmi Surveilans – Dinas Kesehatan DKI Jakarta, total kematian akibat penyakit gangguan saluran pernapasan pada Januari hingga Juli 2023 mencapai 3.316 jiwa. Pada tahun lalu di periode yang sama, total kematian berjumlah 2.907 jiwa.
Adapun pasien DKI Jakarta yang masuk rumah sakit akibat Pneumonia (peradangan paru-paru) di Juli 2023 ada 1.770 pasien. Angka ini meningkat dari bulan Juni 2023 yang mencapai 1.068 pasien.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, Ani Ruspitawati menyampaikan, penyakit-penyakit yang dihubungkan dengan kualitas udara di Jakarta bersifat endemis (selalu ada) dan dapat dilihat dari tren kasus berdasarkan waktu.
Berdasarkan data Dinkes DKI Jakarta, penyakit Pneumonia DKI Jakarta pada 2022 awal mencapai sekitar 200 orang, sedangkan pada 2023 di minggu yang sama naik menjadi 400 orang.
“Perlu studi lebih lanjut untuk memastikan bahwa peningkatan kasus beberapa penyakit tersebut berhubungan dengan kualitas udara di DKI Jakarta,” ujar Ani beberapa waktu lalu seperti dikutip Antara.
Penyakit Respirasi Memberi Beban BPJS Kesehatan
Berdasarkan data Global Burden Diseases 2019 Diseases and Injuries Collaborators, terdapat 5 penyakit respirasi penyebab kematian tertinggi di dunia, yakni penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), pneumonia, kanker paru, tuberkulosis, dan asma.
Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin dalam rilis resminya mengatakan, polusi udara menyumbang 15-30 persen faktor risiko penyakit paru. Tak hanya berdampak pada kesehatan masyarakat, penyakit respirasi juga disebut memberikan tekanan pada anggaran BPJS Kesehatan.
Menurut data BPJS Kesehatan, selama periode 2018-2022, anggaran yang ditanggung untuk penyakit respirasi juga mencapai angka yang signifikan dan memiliki kecenderungan peningkatan tiap tahunnya. Pneumonia menelan biaya sebesar Rp. 8,7 triliun, tuberkulosis Rp. 5,2 triliun, PPOK Rp. 1,8 triliun, asma Rp 1,4 triliun, dan kanker paru Rp. 766 miliar.
Merespons hal tersebut, Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti menyampaikan, penyakit pernapasan hingga saat ini belum masuk dalam daftar 10 penyakit yang berbiaya katastropik atau besar.
“Kejadian atau prevalensi dan insidensi ISPA apa pun penyebabnya, meski prevalensi besar, tidak termasuk dalam 10 besar penyakit yang berbiaya katastropik atau besar,” ujar Ghufron kepada reporter Tirto, Kamis (10/8/2023).
Ghufron menegaskan, pihaknya akan terus mengcover biaya penyakit yang berhubungan dengan gangguan saluran pernapasan apapun penyebabnya. “Termasuk penyakit pernapasan seperti ISPA, asma, Penyakit Obstruksi Paru Kronik (PPOK), dijamin atau dicover oleh BPJS,” sambung Ghufron.
Syaratnya, kata Ghufron, pasien merupakan peserta BPJS yang aktif dan sesuai indikasi medis serta prosedur klaim. “Tetapi tentu jika ISPA dan polusi udara dapat dikendalikan akan lebih baik,” tandasnya.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz