Menuju konten utama
Polusi Udara Jakarta

Jakarta Dikepung Polusi, Picu Stunting hingga Kematian Dini

Lebih dari 10.000 kematian dan lebih dari 5.000 pasien rawat inap dikaitkan dengan polusi udara setiap tahunnya di Jakarta.

Jakarta Dikepung Polusi, Picu Stunting hingga Kematian Dini
Suasana gedung bertingkat yang terlihat samar karena polusi udara di Jakarta, Selasa (6/6/2023). ANTARA FOTO/Fauzan/aww.

tirto.id - Polusi udara masih terus mengepung DKI Jakarta. Bahkan, kembali menempati posisi pertama sebagai kualitas udara terburuk di dunia versi IQAir.

Pada Kamis (15/6) pukul 10.14 WIB, kualitas udara Jakarta menunjukkan bahwa air quality index (AQI US) atau indeks kualitas udara di Jakarta berada di angka 157 atau kategori tidak sehat. Jakarta berada di atas Shanghai, Tiongkok dengan skor 156 indeks AQI dan Wuhan, Tiongkok dengan skor 134 indeks AQI.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI, Asep Kuswanto mengatakan saat memasuki musim kemarau pada bulan Mei hingga Agustus akan terjadi penurunan kualitas udara di wilayah Jakarta. Ditandai dengan meningkatnya konsentrasi PM2.5.

"Hal tersebut terjadi karena curah hujan dan kecepatan angin rendah mengakibatkan PM2.5 akan terakumulasi dan melayang di udara dalam waktu yang lama," kata Asep melalui keterangan tertulisnya, Jumat (16/6/2023).

Hasil pantauan konsentrasi PM2.5 di Stasiun Pemantauan Kualitas Udara (SPKU) DLH DKI menunjukkan pola diurnal yang mengindikasikan perbedaan pola antara siang dan malam hari. Konsentrasi PM2.5 cenderung mengalami peningkatan pada waktu dini hari hingga pagi dan menurun di siang hingga sore hari.

Pada periode akhir Mei-awal Juni konsentrasi rata-rata harian PM2.5 berada pada level 47,33- 49,34 µg/m3. Selama periode tanggal 21 Mei hingga 7 Juni 2023, konsentrasi PM2.5 di wilayah DKI Jakarta mengalami penurunan kualitas udara dan berada dalam kategori Sedang hingga kategori Tidak Sehat.

Sementara itu, Kepala Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan menjelaskan bahwa proses pergerakan polutan udara seperti PM2.5 dipengaruhi oleh transport angin yang bergerak dari satu lokasi ke lokasi yang lain.

Selain itu, kelembaban udara relatif yang tinggi dapat menyebabkan munculnya lapisan inversi yang dekat dengan permukaan. Lapisan inversi merupakan lapisan di udara yang ditandai dengan peningkatan suhu udara yang seiring dengan peningkatan ketinggian lapisan.

“Dampak dari keberadaan lapisan inversi menyebabkan PM2.5 yang ada di permukaan menjadi tertahan, tidak dapat bergerak ke lapisan udara lain, dan mengakibatkan akumulasi konsentrasinya yang terukur di alat monitoring,” kata Ardhasena.

Stunting hingga Kematian Dini

Research Assistant & Consultant for Environmental Health Vital Strategis, Ginanjar Syuhada mengatakan polusi udara Jakarta memiliki dampak bagi masyarakat mulai dari penyakit hingga biaya kesehatan yang harus dikeluarkan.

"Polusi udara menyebabkan kematian dini, hilangnya tenaga kerja produktif dan peningkatan pengeluaran perawatan kesehatan, mengurangi produk domestik bruto (PDB) negara, membuat kota kurang produktif dan kompetitif, dan menurunkan kualitas hidup penduduknya," kata Ginanjar kepada Tirto, Sabtu (17/6/2023).

Ia menjelaskan Vital Strategis melakukan penelitian bersama Dinas LH DKI, Universitas Padjadjaran Bandung, serta Institut Teknologi Bandung. Penelitian berjudul Impacts of Air Pollution on Health and Cost of Illness in Jakarta ini dipublikasikan di jurnal Environmental Research and Public Health edisi Februari 2023.

Para pengkaji menghitung beban kesehatan dan ekonomi dari partikel 2,5 mikron(PM 2,5) dan ozon permukaan tanah (O3), yang melebihi standar kualitas udara ambien lokal dan global.

Metode yang digunakan merupakan penilaian risiko komparatif untuk memperkirakan beban kesehatan yang disebabkan oleh PM 2,5 dan O3. Beban ekonomi dihitung dengan menggunakan biaya penyakit dan nilai dari pendekatan statistik tahun hidup.

"Hasil kesimpulan penelitian menunjukkan lebih dari 10.000 kematian dan lebih dari 5.000 pasien rawat inap yang dikaitkan dengan polusi udara setiap tahun di Jakarta," ucapnya.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kata dia, telah menyatakan bahwa polusi udara adalah salah satu risiko lingkungan utama bagi kesehatan, yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas, termasuk kanker, penyakit kardiovaskular, dan penyakit pernapasan.

Pada tahun 2019, Studi Global Burden of Disease (GBD) memperkirakan bahwa polusi udara menyebabkan 5.054 kematian.

Kemudian ia mengatakan polusi udara juga menyebabkan lebih dari 7.000 dampak kesehatan yang merugikan pada anak-anak. Meliputi 6.100 kasus tengkes atau stunting, 330 kematian bayi, dan 700 bayi dengan kelahiran yang merugikan setiap tahun seperti berat badan lahir rendah dan kelahiran prematur. Selain itu, hampir 9.700 kematian dini.

Paparan PM2.5 harian atau jangka pendek, dapat menyebabkan hampir 3.500 rawat inap. Dari jumlah tersebut, penyakit kardiovaskular merupakan dampak pendek tertinggi akibat PM2.5 sebesar 87%.

Di sisi lain, paparan O3 tingkat tinggi dapat menyebabkan lebih dari 1.500 rawat inap, diantara orang berusia 65 tahun ke atas, di mana 83% disebabkan oleh penyakit kardiovaskular.

Adapun pada tingkat O3 tahunan, dampak panjangnya menyebabkan hampir 310 kematian akibat Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) di antara penduduk berusia 25 tahun ke atas.

Dokter Spesialis Anak, Ratih Puspita mengatakan polusi udara memang berpengaruh terhadap kesehatan anak, yang mengakibatkan mereka prematur, stunting, hingga kematian.

Hal tersebut karena baik sang ibu atau si bayi dimediasi oleh stres oksidatif, peradangan kronis, gangguan endokrin, dan mekanisme genetik dan epigenetik sepanjang rentang hidup.

"Maksudnya polusi udara berpengaruh ke faktor-faktor itu menyebabkan penyakit dan gangguan kesehatan lain," kata Ratih kepada Tirto, Sabtu (17/6/2023).

Dia menuturkan polusi udara memang dapat menyebabkan stunting dan sudah banyak penelitian yang menunjukkan hasil seperti itu.

Namun, selama ini polusi udara belum menjadi fokus studi sebagai penyebab stunting dibanding faktor-faktor lain yang juga menyebabkan stunting.

"Dalam konteks paparan polusi udara pada ibu hamil, kemungkinan kaitannya karena membuat plasenta tak begitu bagus, sehingga menyebabkan BBLR [Berat badan lahir rendah]. Ada yang mengatakan polusi udara mempengaruhi sistem imun yang kemudian mempengaruhi juga sistem metabolik," terangnya.

Biaya Kesehatan Meningkat

Research Assistant & Consultant for Environmental Health Vital Strategis, Ginanjar Syuhada mengatakan selain dampak kesehatan, penelitiannya juga menghitung dampak ekonomi yang ditimbulkan akibat polusi udara.

Ia menuturkan, jika diakumulasikan, total biaya tahunan dampak kesehatan akibat dari polusi udara mencapai sekitar 2.943,42 juta dolar Amerika Serikat atau setara dengan 2,2% dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi DKI Jakarta.

"Total beban ekonomi jika dirupiahkan sebesar Rp41,2 triliun," ucapnya.

Kemudian pada tahun 2019, Bank Dunia juga melaporkan bahwa polusi udara di Indonesia disebabkan oleh biaya tahunan lebih dari USD 220 miliar (6,6% dari PDB Indonesia (PPP).

Sementara itu, kata Ginanjar, pada tahun 2010 diperkirakan terdapat lebih dari 5,5 juta kasus penyakit yang berhubungan dengan polusi udara di Jakarta.

Penyakit tersebut di antaranya Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) 2.450.000 kasus; jantung koroner sejumlah 1.246.000 kasus; asma sejumlah 1.211.000 kasus; pneumonia sejumlah 336.000 kasus; bronkopneumonia sejumlah 154.000 kasus; dan penyakit paru obstruktif kronis sejumlah 154.000 kasus.

Estimasi biaya perawatan medis dari kasus-kasus tersebut mencapai Rp38,5 triliun. Jika memasukkan perhitungan inflasi, biaya tersebut akan setara dengan Rp60,8 triliun pada tahun 2020.

"Dengan menggunakan data lokal untuk mengukur dan menilai dampak kesehatan dan ekonomi dari polusi udara di Jakarta, penelitian kami memberikan bukti tepat waktu yang diperlukan untuk memprioritaskan tindakan udara bersih yang akan diambil untuk meningkatkan kesehatan masyarakat," pungkasnya.

Tak kunjung membaiknya kualitas udara Jabodetabek khususnya DKI Jakarta, membuat pemerintah terus didesak untuk segera membuat kebijakan yang tepat untuk mengurai kabut pekat polusi.

Sementara itu, Kepala Dinas LH DKI, Asep Kuswanto mengatakan, dengan adanya tren memburuknya kualitas udara pada saat musim kemarau ini, Pemprov Jakarta berjanji akan semakin memperketat upaya-upayanya untuk mengurangi sumber polusi di Jakarta.

Beberapa kebijakan yang diperketat untuk menghadapi menurunnya kualitas udara antara lain adalah meningkatkan kegiatan uji emisi, dan pengawasan emisi dari sektor industri hingga pengetatan ganjil genap. Masyarakat juga diimbau untuk tidak beraktivitas di luar ruangan jika kualitas udara sedang menurun.

Baca juga artikel terkait POLUSI UDARA JAKARTA atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Riyan Setiawan & Mochammad Fajar Nur
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Restu Diantina Putri