Menuju konten utama

Terkurung Udara Ibukota: Mencari Musabab & Solusi Polusi Jakarta

Setidaknya dalam satu bulan terakhir, kualitas udara Jakarta terus memburuk dan beberapa kali menempati peringkat satu dunia kota paling polutif.

Terkurung Udara Ibukota: Mencari Musabab & Solusi Polusi Jakarta
Header Indepth Sumber Polusi Jakarta. tirto.id/Ecun

tirto.id -

Hanan, bayi berusia 5 bulan harus menjalani sejumlah terapi di rumah sakit diduga akibat terpapar polutan. Hal tersebut akibat buruknya kualitas udara di Jakarta beberapa waktu terakhir.

Kisah itu diceritakan oleh Kharisma Suhardi (26), sang ibu yang diunggah melalui media sosial dan dipublikasikan ulang oleh akun Instagram @pandemictalks pada Selasa (6/6/2023).

Ia menceritakan awalnya Hanan hanya mengalami batuk dan pilek. Berujung demam tinggi, napas sesak, dan harus dirawat ke rumah sakit karena tantrum tak bisa tidur.

Setelah diperiksa, Hanan harus dirawat inap. Diagnosis dokter, bayi itu mengalami napas sesak.

"Nangis kejer karena dipasangin infus," kata perempuan yang disapa Icha itu dengan video menampilkan wajah putrinya yang menangis.

Selama dirawat Hanna dinebuliser (Alat yang digunakan untuk memasukkan obat dalam bentuk uap untuk dihirup ke dalam paru-paru) sehari tiga kali. Namun, selama tiga hari Hanan masih mengalami batuk dan pilek. Akhirnya Hanan harus melakukan fisioterapi dua kali sehari.

"Tujuannya fisioterapi biar dahaknya bisa keluar," ujarnya.

Sang ibu juga merasa tak tega menyaksikan Hanan harus mengalami hal tersebut.

"Penyakit flu sepele untuk orang dewasa, tapi sangat amat menderita untuk bayi yang belum bisa keluarin lendir di hidung dan dahaknya," imbuhnya.

Paling Polutif Sedunia

Beberapa waktu ini, kualitas udara Jakarta memang memburuk. Pada Rabu (31/5/2023) per pukul 07.00 WIB lalu, Jakarta menjadi kota besar berpolusi terburuk di dunia dengan skor 170 berdasarkan data IQAir. Jakarta berada di posisi kedua setelah Tangerang Selatan yang mencatat skor 177.

Pukul 6 pagi, di tanggal tersebut, saya menggunakan kendaraan bermotor melintas dari arah Senen, Jakarta Pusat menuju Koja, Jakarta Utara.

Udara pagi itu memang terlihat tampak berkabut warna abu-abu nyaris hitam. Pandangan terasa kurang nyaman, jarak pandangpun memendek.

Tirto mencoba melakukan pemetaan kualitas udara di Jakarta pada Kamis (8/6/2023) dan melakukan perbandingan antara stasiun pemantau kualitas udara (SPKU) milik Dinas Lingkungan Hidup (LH) DKI dengan SPKU milik swasta IQAir dan Nafas.

Kemudian pada Kamis (8/6/2023) per pukul 07.51 WIB, Jakarta menempati peringkat keempat dunia kota dengan kualitas udara terburuk dengan kategori tidak sehat dengan skor 156 ditandai dengan warna merah. Jakarta berada di bawah New York (266), Lahore, Pakistan (238), dan Dubai, Uni Emirat Arab (169).

Lalu, ranking kota di Indonesia per pukul 13.00 WIB, Kamis (8/6), Jakarta berada di posisi kelima dengan kategori tidak sehat bagi kelompok sensitif dengan skor 123 ditandai dengan warna oranye.

Sementara itu jika dirinci per daerah yang ada di Jakarta, wilayah Kemang V tertinggi dengan skor 155; kedua Gordi HQ (151); dan Gelora Bung Karno (144). Ketiga daerah tersebut dinyatakan kategori tidak sehat.

Selanjutnya Tirto mencoba menggunakan SPKU milik Nafas. Di Jakarta Utara daerah Ancol tertinggi dengan skor 148; Jakarta Timur daerah tertinggi di Cibubur dengan skor 109; Jakarta Pusat daerah tertinggi di Menteng dengan skor 128; Jakarta Barat daerah tertinggi di Puri dengan skor 106; dan terkahir Jakarta Selatan daerah tertinggi di Jagakarsa dengan skor 109.

Kami memantau kembali sebaran titik polusi pada malam hari pada pukul 22.45 wib. Titik merah semakin banyak dan terkonsentrasi di beberapa wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Selatan.

Sementara itu berdasarkan data milik Dinas Lingkungan Hidup (LH) DKI: SPKU di Lubang Buaya, Jakarta Timur PM2,5 sebesar 136; SPKU Jagakarsa, Jakarta Selatan PM2,5 sebesar 99; SPKU Kelapa Gading, Jakarta Utara PM2,5 sebesar 95; SPKU Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta Pusat PM2,5 sebesar 91; dan SPKU Kebun Jeruk, Jakarta Barat PM2,5 sebesar 56.

Namun, data tersebut tidak real time. Update terakhir pada pukul 15.00 WIB, 2 Juni 2023.

Musabab Polusi

Kepala Dinas Lingkungan Hidup (LH) DKI, Asep Kuswanto mengatakan penyebab kualitas udara di Jakarta tak sehat salah satunya lantaran aktivitas warga menghasilkan emisi usai COVID-19 mengalami peningkatan.

Kemudian, kecepatan angin yang rendah di Jakarta berimbas pada stagnasi pergerakan udara sehingga polutan udara akan terakumulasi. Tak hanya itu, kondisi ini dapat memicu produksi polutan udara lain seperti ozon permukaan 03, yang keberadaannya dapat diindikasikan dari penurunan jarak pandang.

"Pola arah angin permukaan memperlihatkan pergerakan massa udara dari arah timur dan timur laut yang menuju Jakarta, dan memberikan dampak terhadap akumulasi konsentrasi PM2.5 di Jakarta," kata Asep dalam keterangan tertulisnya, Kamis (8/6/2023).

Lalu, kelembapan udara relatif yang tinggi dapat menyebabkan munculnya lapisan inversi dekat permukaan. Lapisan inversi merupakan lapisan di udara yang ditandai dengan peningkatan suhu udara yang seiring dengan peningkatan ketinggian lapisan.

"Dampak dari keberadaan lapisan inversi menyebabkan PM2.5 yang ada di permukaan menjadi tertahan, tidak dapat bergerak ke lapisan udara lain, dan mengakibatkan akumulasi konsentrasinya yang terukur di alat monitoring," ucapnya.

Selanjutnya, sumber polutan S02 terbesar di Jakarta berasal dari sektor industri yaitu sebesar 61,96%. Sementara sumber polutan lainnya seperti NOX, CO, PM10 dan PM2,5 mayoritas berasal dari sektor transportasi.

Ia menuturkan sumber emisi di suatu wilayah pasti akan mempengaruhi wilayah angin karena adanya pergerakan polutan oleh angin. "Sehingga menyebabkan terjadinya potensi peningkatan konsentrasi di lokasi tersebut," pungkasnya.

Selain itu, faktor meteorologi turut memengaruhi kualitas udara saat ini. Di mana, terjadi peningkatan konsentrasi polutan udara ketika memasuki musim kemarau di bulan Mei hingga Agustus.

Asep menyampaikan kondisi ini akan mengalami penurunan ketika memasuki musim penghujan di bulan September-Desember mendatang.

Hal tersebut terlihat dari tren konsentrasi PM2,5 tahun 2019 sampai 2023. Konsentrasi rata-rata bulanan PM2,5 bulan April 2023 sebesar 29,75 g/m3 menjadi 50,21 g/m3 di bulan Mei 2023. Namun, konsentrasi tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan Mei 2019 saat kondisi normal yaitu sebesar 54,38 g/m3.

"Curah hujan akan membantu peluruhan polutan yang melayang di udara, sehingga ketika memasuki musim kemarau hal tersebut tidak terjadi," tuturnya.

Sementara itu Juru Kampanye Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu mengatakan buruknya kualitas udara saat ini merupakan rutinitas tiap tahun setiap memasuki musim kemarau.

"Musim kemarau meningkat karena cuaca tidak ada penyapuan polutan dari hujan," kata Bondan kepada Tirto, Kamis (8/6/2023).

Ia menjelaskan terdapat banyak sumber utama polisi udara pada saat musim kemarau: Asap knalpot kendaraan 42%–57% di seluruh kota; Pembakaran terbuka 9% di bagian timur (LB); Debu jalan 9% di bagian barat kota (KJ); Garam laut 19%–22%.

Kemudian Partikel tanah tersuspensi 10%–18% telah ditemukan di seluruh kota, tetapi paling terlihat di bagian timur kota (LB), karena kondisi daerah yang kering. Aerosol sekunder 1%–7%.

Dari sumber tersebut, polusi udara dapat diperparah dengan adanya reaksi kimia. "Yang tadinya gas jadi pertikel. Pertama, sumber polutan dari hasil pembakaran kenalpot, industri, sampah jadi PM25. Ada juga PM25 hasil reaksi kimia antar polutan berupa gas," ucapnya.

"Jadi kalau kaya Pom Bensin pas kita buka kaya ada uapnya gitu. Nah ketika di atas bertemu dengan NOX itu bisa beraksi kimia jadi PM25, ini yang meningkatkan double kill pas Jakarta musim kemarau, dari hasil pembakaran dan reaksi kimia," lanjutnya.

Kasus Hanan sangat mungkin hanya satu kasus yang muncul di permukaan dari jutaan kasus penyakit pernapasan sebagai dampak langsung polusi udara Ibukota. Berdasarkan data Vital Strategis, diperkirakan terdapat lebih dari 5,5 juta kasus penyakit yang berhubungan dengan polusi udara di Jakarta pada tahun 2010.

Penyakit tersebut di antaranya Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) 2.450.000 kasus; jantung koroner sejumlah 1.246.000 kasus; asma sejumlah 1.211.000 kasus; pneumonia sejumlah 336.000 kasus; bronkopneumonia sejumlah 154.000 kasus; dan penyakit paru obstruktif kronis sejumlah 154.000 kasus.

Estimasi biaya perawatan medis dari kasus-kasus tersebut mencapai Rp38,5 triliun. "Jika memasukkan perhitungan inflasi, biaya tersebut akan setara dengan Rp60,8 triliun pada tahun 2020," tuturnya.

Sementara itu berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI, penyakit Pneumonia DKI Jakarta pada 2022 awal mencapai sekitar 200 orang, sedangkan pada 2023 di minggu yang sama naik menjadi 400 orang.

Lalu, kasus influenza-like Illness (ILI) DKI Jakarta pada 2022 minggu ke-21 mencapai sekitar 300 orang, sedangkan pada 2023 di turun menjadi kurang dari 100 orang.

Kemudian, kasus diare akut DKI Jakarta pada 2022 minggu ke-21 mencapai sekitar dua ribu lebih orang, sedangkan pada 2023 naik menjadi 6.000 orang.

Menanti Langkah Pemprov

Juru Kampanye Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu meminta kepada Pemprov DKI agar berkoordinasi dengan daerah Bodetabek. Sebab, sumber polusi di Jakarta juga disebabkan dari daerah penyangga tersebut.Lalu Pemprov DKI melaksanakan perintah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dari gugatan warga negara atas polusi udara di Ibu Kota pada Pada 16 September 2021.

"Jadi ini bukan hanya beban Pemprov DKI saja, tapi daerah penyangga dan pemerintah pusat juga harus bertanggung jawab atas kualitas udara yang buruk," kata Bondan.

Sementara itu Anggota DPRD DKI fraksi PSI, Idris Ahmad meminta Penjabat (Pj) Gubernur Jakarta, Heru Budi Hartono membuat sistem peringatan berupa protokol kesehatan kualitas udara untuk melindungi masyarakat. Sebab, saat ini sudah jatuh banyak korban.

Anggota Komisi E DPRD DKI itu menuturkan masyarakat secara umum belum begitu sadar dengan keadaan buruk ini sehingga beraktivitas seperti biasa. Oleh karena itu, dibutuhkan sistem peringatan berupa protokol kesehatan terkait apa yang boleh atau tidak ketika kualitas udara memburuk.

"Contoh agar masyarakat pakai masker saat udara memburuk atau bahkan bisa himbauan hingga larangan anak balita keluar rumah jika kualitas udara memburuk” kata Idris melalui keterangan tertulisnya, Rabu (7/6).

Idris mengatakan untuk jangka menengah dan panjang, Pemprov DKI harus membuat langkah strategis untuk memperbaiki kualitas udara.

“Ini masalah serius yang tidak bisa dibiarkan terjadi terus menerus. Langkah-langkah strategis yang konkret berdampak pada perbaikan kualitas udara harus dilakukan,” pungkasnya.

Lalu Anggota Fraksi PSI DPRD DKI, Justin Adrian Untayana meminta Pemerintah Provisi (Pemprov) DKI menanganinya dengan dua hal, mulai dari pembatasan kendaraan bermotor, hingga perbaikan tata ruang di DKI yan begitu semrawut.

"Kontributor utama atas buruknya kualitas di DKI Jakarta memang polusi akibat kendaraan bermotor. Data korlantas pada 2022 ada sekitar 26 juta kendaraan di DKI Jakarta. Sejauh ini belum pernah ada upaya tegas dalam mengendalikan populasi kendaraan bermotor ini," kata Justin di Jakarta, Selasa (6/6/2023).

Ia menuturkan Pembatasan penggunaan kendaraan bermotor bisa dilakukan dengan work from home (WFH), penegakkan aturan pemilik mobil wajib punya garasi, pengetatan uji emisi yang, menaikkan tarif parkir, penindakan parkir liar, juga menyediakan transportasi umum yang aman dan nyaman.

Anggota Komisi D DPRD DKI ini meminta juga Pemprov DKI melakukan perbaikan tata ruang seperti menyediakan rumah susun nyaman terjangkau untuk relokasi pemukiman padat-kumuh kota.

"Hunian yang terkonsentrasi akan memudahkan Pemprov DKI untuk mengintegrasikan antara hunian penduduk dengan sistem transportasi massal, ucapnya.

Selama hunian penduduk terus-menerus tidak terzonasi dengan baik, lanjut Justin, maka sulit untuk mengintegrasikan dengan jaringan transportasi umum, dan mendorong warga untuk membeli kendaraan bermotor.

"Banyak sekali lini yang harus dibenahi, akan tetapi sangat vital untuk melindungi warga dan anak-anak kita dari penyakit-penyakit saluran pernafasan seperti ispa dan lainnya," tuturnya.

Ia menyatakan, jika tidak ditangani secara serius kondisi polusi udara di Jakarta berbahaya untuk kesehatan warganya, terutama pada anak-anak. Menurutnya, Polusi di Jakarta bukanlah masalah yang sederhana untuk diselesaikan. Butuh ketegasan Pemerintah Provinsi terutama Gubernur dalam membenahi masalah lingkungan ini.

"Penyelesaiannya tak mudah, perlu integrasi di banyak lini. Butuh sosok Gubernur yang tegas, visioner, dengan agenda kerja yang progresif, dibanding yang berpikiran sederhana dengan mempromosikan kendaraan listrik dengan Formula E sebagai upayanya mengurangi polusi," pungkasnya.

Sementara itu Ketua DPRD DKI, Prasetyo Edi Marsudi mengaku pihaknya tengah menggodok Peraturan Daerah (Perda) tentang kualitas udara Jakarta.

"Ya Perda-nya lagi dibuat. Itu lagi dibahas soal kualitas udara," kata Prasetyo di Balai Kota DKI, Jakarta Pusat, Rabu (7/6/2023).

Politikus PDI-P itu mengaku telah menandatangani sejumlah Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) untuk dibahas menjadi Perda. Salah satunya perihal Kualitas udara.

Mengenai sudah sejauh mana pembahasannya , ia meminta menanyakan hal tersebut ke anggota Komisi D DPRD DKI dari fraksi PDIP, Pantas Nainggolan.

DKI Lakukan 3 Strategi

Kepala Dinas Lingkungan Hidup (LH) DKI, Asep Kuswanto mengatakan akan melakukan tiga strategi guna mengendalikan kualitas udara Jakarta agar kembali membaik.

Asep menjelaskan, strategi pertama yang dilakukan Pemprov DKI yaitu melakukan peningkatan tata kelola pengendalian pencemaran udara. Yaitu melakukan peningkatan kualitas dan kuantitas inventarisasi emisi yang berkelanjutan.

Kemudian peningkatan sistem pemantauan dan evaluasi mutu udara, pengkajian dampak pencemaran udara terhadap kesehatan, sosial, dan ekonomi, pembentukan tim kerja lintas sektor Pengendalian Pencemaran Udara (PPU), dan penyusunan regulasi dan kebijakan PPU.

"Lalu melakukan pengawasan dan penegakan hukum atas pelanggaran terkait pencemaran udara," kata Asep melalui keterangan tertulisnya.

Selanjutnya strategi kedua, Dinas LH DKI melakukan pengurangan emisi pencemaran udara dari sumber bergerak. Yaitu dengan cara peremajaan angkutan umum dan pengembangan transportasi ramah lingkungan untuk transportasi umum dan pemerintah.

Lalu penerapan uji emisi kendaraan bermotor, pengembangan kawasan rendah emisi, pengendalian emisi melalui pengurangan mobilitas seperti kerangka kerja sama pilar pemerintah - swasta - masyarakat sipil.

Kemudian peningkatan infrastruktur penghubung ke sarana transportasi umum dan pengembangan manajemen rekayasa lalu lintas.

"Dinas LH DKI juga melakukan peningkatan peran serta masyarakat dalam perbaikan kualitas udara," ujarnya.

Lebih lanjut, strategi ketiga, Dinas LH DKI juga melakukan pengurangan emisi pencemaran udara dari sumber tidak bergerak. Yaitu melakukan peningkatan ruang terbuka dan bangunan hijau dan peningkatan instalasi panel surya atap

"Pengendalian polusi udara dari kegiatan industri," tuturnya.

Selain itu, lanjut Asep, Pemprov DKI juga menggelar Uji Emisi Akbar 2023 secara gratis yang akan digelar di Taman Margasatwa Ragunan, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kota Tanggerang, Kota Tanggerang Selatan, Kabupaten Tanggerang, Kota Bekasi, dan Kabupaten Bekasi secara serentak pada Senin, 5 Juni 2023.

Sementara itu Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono akan menggenjot pembangunan ruang terbuka hijau (RTH) serta menggencarkan penanaman pohon di Ibu Kota.

"Pemda DKI Polusi udara maka Pemda DKI berbenah, menambah ruang terbuka hijau (RTH), kita semua menanam pohon," kata Heru di Pasar Kwitang Dalam, Jakarta Pusat, Kamis (8/6/2023).

Selain itu, Pemprov DKI menyebut tengah mengupayakan transisi kendaraan bahan bakar minyak (BBM) menjadi kendaraan listrik demi mengurangi emisi kendaraan bermotor. Upaya ini dilakukan dengan cara menyiapkan angkutan bus Transjakarta bertenaga listrik.

Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi DKI, Ani Ruspitawati mengatakan akan melakukan pengamatan mingguan terhadap penyakit-penyakit yang ditimbulkan akibat terkait kualitas udara Jakarta yang tidak sehat. Apalagi jika berpotensi terjadi kejadian luar biasa (KLB).

Baca juga artikel terkait POLUSI UDARA JAKARTA atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Restu Diantina Putri