Menuju konten utama

Video Intim Pesohor & Rentannya Perempuan di Bawah Relasi Kuasa

Komnas Perempuan sebut apa yang dialami RK adalah praktik kekerasan seksual, khususnya spesifik pada NCII.

Video Intim Pesohor & Rentannya Perempuan di Bawah Relasi Kuasa
Ilustrasi Kekerasan Seksual. foto/istockphoto

tirto.id - Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menerima laporan polisi dari seorang perempuan berinisial RK, yang diduga menjadi korban kasus penyebaran video intim. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Ahmad Ramadhan mengatakan, laporan itu diterima pada Senin (22/5/2023).

“Berdasarkan laporan polisi nomor: LP/B/113/V/2023/SPKT.Bareskrim Polri,” kata Ramadhan sebagaimana dikutip Antara, Kamis (25/5/2023) pekan lalu—atau tiga hari setelah laporan masuk.

RK—melalui kuasa hukumnya—melaporkan dua akun di media sosial Twitter, @dedekgemes dan @dedekugem, karena menyebarkan video yang diduga mirip dengan wajahnya sedang berkegiatan intim. Kata polisi, selain RK, ada dua orang lain korbannya: FF dan LL. FF adalah pacar RK.

Hingga saat ini, polisi masih melakukan penyidikan atas laporan tersebut. Laporan yang dilayangkan oleh RK terkait dengan Pasal 45 (1) juncto Pasal 27 ayat (1) UU No. 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE.

Sebelumnya, beredar video intimasi yang diduga mirip dengan RK berdurasi 47 detik. Video tersebut sempat heboh di media sosial, terutama di Twitter.

Namun, menurut mantan pengacara RK, Ahmad Ramzy, kasus tersebut berawal pada Oktober 2022. Saat itu, RK sempat diperas oleh orang tak dikenal dan diancam akan disebar video intimasinya jika tak membayar Rp30 juta. RK sempat membayar, namun melapor ke polisi lewat Ramzy sebagai kuasa hukumnya.

“Pemerasan dan pengancaman yang dialami oleh RK berkaitan dengan kejadian yang terjadi saat ini, yaitu video syur yang beredar," katanya seperti dilansir Detik.com, Senin (29/5/2023).

Saat itu, proses yang dilakukan kepolisian menghasilkan RFN dan NR sebagai tersangka dengan alat bukti berupa video. Namun, akhirnya proses hukum berakhir damai (restorative justice) atas permintaan dua tersangka dengan bukti video dimusnahkan. Namun tak dinyana, video itu tersebar kembali ke media sosial dan membikin RK kembali melaporkan ke pihak kepolisian.

Namun ironisnya, RK justru direncanakan akan dilaporkan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan Asosiasi Lawyer Muslim Indonesia (ALMI) karena dianggap diduga ikut memproduksi video itu. Pendeknya, RK akan dipolisikan.

Perempuan Rentan di Ruang Maya

Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi mengatakan, apa yang dialami oleh RK adalah praktik kekerasan seksual, khususnya spesifik pada penyebaran konten intim tanpa persetujuan—atau non-consensual intimidate image (NCII).

NCII, kata Ami—sapaan akrabnya, rentan terjadi karena konten intim (foto atau video) dikuasai oleh mantan partner maupun orang lain. Saat konten intim dikuasai dan dikontrol, ia akan mudah digunakan untuk memeras, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, dendam atau memperlakukan korban.

“Dalam catatan tahunan kami, kekerasan berbasis gender online (KBGO) jadi kasus yang paling banyak dilakukan oleh pacar atau mantan pacar,” kata Ami saat dihubungi wartawan Tirto, Selasa (30/5/2023).

“Dalam konteks ini, RK maupun korban lainnya adalah korban dari penyebaran konten intim ini. Pelaku penyebaran bisa dikenai UU ITE,” tambahnya.

Untuk kasus yang dialami RK, Ami mendesak aparat penegak hukum memeriksa dan memproses kasus ini sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta memeriksa korban dengan mengedepankan perspektif gender. Ia meminta ke aparat agar polisi perempuan yang memeriksa kasus RK.

“Saya juga meminta agar polisi tidak menyalinrekatkan foto atau tangkapan layar video dalam dokumen pemeriksaan,” kata Ami. “Polisi juga harus merujuk atau bekerja sama dengan UPTD PPA atau pedamping korban untuk proses pendampingan, serta berkoordinasi dengan menkominfo untuk membekukan konten tersebut.”

Ia menambahkan, “Kami juga berharap media massa untuk mendukung perlindungan terhadap korban dengan tidak memuat gambar yang merupakan tangkapan layar potongan video. Juga masyarakat untuk menghentikan menyebarkan konten intim tersebut.”

Kepala Divisi Kesetaraan dan Inklusi SAFEnet, Wida Arioka mengatakan, jika terjadi kasus penyebaran konten intim tanpa persetujuan, yang menjadi korban utama dalam kejadian kekerasan seksual adalah korban itu sendiri. Kata dia, korban sangat mungkin mengalami trauma psikologis, ditambah lingkungan terdekat korban juga bisa turut menjadi korban.

“Dengan menyalahkan korban dengan pernyataan ‘siapa suruh mau divideoin’ dan lain sebagainya, bisa menyebabkan korban menjadi korban untuk kedua kalinya. Pertama menjadi korban NCII yang dilakukan pelaku, kedua oleh masyarakat dengan stigmanya yang tidak ramah korban," kata Wida kepada Tirto.

Kata Wida, masyarakat tidak pernah tahu bagaimana kejadian sebenarnya di balik pembuatan video intim itu dilakukan. Pasalnya, yang sering terjadi korban dipaksa, diintimidasi, dibujuk rayu hingga mau membuat konten intim tersebut.

Bahkan tak sedikit kasus konten dibuat sama sekali tanpa sepengetahuan korban atau korban dalam posisi tidak dapat memberikan persetujuan.

“Persetujuan harus diberikan dengan penuh kesadaran, tanpa tekanan, atau dibawah pengaruh alkohol dan obat-obatan. Consent yang diberikan tidak boleh karena berada dalam ancaman, dijanjikan sesuatu maupun manipulasi," kata dia.

"Yang memberi consent juga harus sudah terinformasi tentang cakupan consent yang dia berikan hingga diberi pemahaman terkait konsekuensi dari consent tersebut," tambahnya.

Masalahnya, lanjut Wida, kasus konten yang sering terjadi pada korban usia anak adalah korban mengalami child grooming, saat dibujuk rayu oleh orang usia dewasa dengan tujuan membangun hubungan dan kepercayaan anak.

"Yang akhirnya si orang dewasa memanipulasi hingga memaksa berhubungan intim," kata Wida.

Data dari SAFEnet, korban usia anak yang mengadu pada 2022 mengalami peningkatan hingga 14,3% dari tahun sebelumnya, dan kebanyakan mengalami ancaman penyebaran konten non-konsensual oleh pelaku yang usianya lebih tua dari mereka, dengan tujuan agar korban yang sebagian besar adalah perempuan ini tidak bisa melepaskan diri dari kuasa pelaku.

Bukan “Revenge Porn”

Saat kasus tersebarnya video intim tersebar beredar dan jadi perbincangan publik, ada banyak pandangan bahwa apa yang dialami oleh RK adalah bagian “revenge porn.” Kendati menurut sejumlah pandangan dari kelompok masyarakat sipil, frasa itu cukup bermasalah.

Menurut buku saku yang diterbitkan SAFEnet dan Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG), frasa “revenge porn” salah karena mengindikasikan bahwa kekerasan yang terjadi pada korban diawali karena korban berbuat salah terlebih dahulu. Dengan demikian, pelaku berasa berhak untuk membalas dendam—atau revenge. Oleh karena itu, penggunaan frasa “revenge porn” sangat bernuansa menyalahkan korban.

“Kata ‘revenge’ juga mengesankan bahwa seakan-akan korban pernah melakukan kesalahan terlebih dulu pada pelaku sehingga pantas mendapatkan ganjaran atau pembalasan dendam berupa ancaman penyebaran konten intim oleh pelaku,” kata Wida saat dihubungi Tirto, Selasa sore (30/5/2023).

Pasalnya, lanjut Wida, penyebaran konten intim tanpa persetujuan oleh orang dekat bisa juga dimotivasi oleh keinginan pelaku untuk mempertahankan dominasi relasi kuasanya ke korban.

“Atau ancaman dengan tujuan memeras korban. Ada juga kasus penyebaran konten intim non-konsensual yang pelakunya orang asing yang tidak punya motif balas dendam sama sekali,” kata dia.

Selain itu, dalam buku saku yang sama, diksi “porn” juga tidak tepat. Pasalnya, pornografi akan mengacu pada industri hiburan. Padahal, konten intim—termasuk video dugaan mirip dengan RK—diproduksi bukan untuk industri pornografi, melainkan atas dasar intimasi sebagai pasangan.

“Padahal perlu dicek lebih jauh lagi tentang persetujuan saat pembuatan konten tersebut. Kadang korban dipaksa, diintimidasi, dibujuk rayu hingga mau membuat konten intim tersebut. Atau bahkan konten ini dibuat sama sekali tanpa sepengetahuan korban atau korban dalam posisi tidak dapat memberikan persetujuan,” lanjut Wida.

Sama seperti apa yang diucapkan oleh Ami, SAFEnet dan KAKG merekomendasikan untuk memakai “penyebaran konten intim tanpa persetujuan,” alih-alih “revenger porn.” “Karena ini terkait pada penyebaran konten intim yang tanpa persetujuan dari korban,” katanya.

“Mengapa kita perlu berpihak pada korban? Dalam pembuatan konten intim saja sudah ada potensi terjadinya kekerasan, seperti yang tadi saya jelaskan di atas. Apalagi ketika pelaku dengan sengaja menyebarkan tanpa persetujuan korban,” kata dia.

Baca juga artikel terkait UU ITE atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz