tirto.id - M, 30 tahun, tak pernah menyangka menjadi istri kedua Bukhori Yusuf akan mendatangkan malapetaka. Hidup berumah tangga bersama anggota DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Dapil Jawa Tengah I itu justru membawa derita panjang bagi M.
Perempuan itu, lewat kuasa hukumnya yang bernama Srimiguna, membuka kasus ini ke publik bahwa selama menjadi istri Bukhori, ia mengalami dugaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang parah sepanjang 2022.
Sabtu (20/5/2023) pekan lalu, Srimiguna menceritakan, awalnya M tak mau menikah dengan Bukhori. Namun lewat berbagai upaya dilakukan Bukhori—merayu, menyatakan cinta, menulis puisi hingga menulis surat cinta, akhirnya M mau dinikahi menjadi istri kedua.
Namun, Srimiguna melanjutkan, sepanjang 2022 justru M mendapat beberapa kali KDRT. Praktik kekerasan terakhir yang dialami oleh M terjadi pada November tahun lalu.
"Posisi korban seorang diri, sementara BY diduga melakukan kekerasan dengan diketahui istri pertamanya, ibu RKD, dan anak-anaknya, di antaranya FH. Padahal pernikahan BY yang kedua ini juga diketahui oleh istri pertama yang telah menerima suaminya menikah dengan korban," kata Srimiguna lewat keterangan tertulisnya yang diterima Tirto.
Karena kejadian pada November tahun lalu itu, M akhirnya melaporkan Bukhori ke Polrestabes Kota Bandung atas dugaan KDRT. Srimiguna menyebut, M mengalami kekerasan fisik, kekerasan seksual, dan kekerasan psikis.
Wakil Ketua Umum DPP Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) tersebut mengatakan, Bukhori sering menghina fisik M dan membandingkannya dengan perempuan lain. Tak hanya itu, Bukhori diduga sering memaksa M untuk melakukan hubungan seksual yang tak wajar hingga mengalami kesakitan dan pendarahan.
“Mengalami pendarahan dan darah dilihat oleh BY, karena hasrat seksual yang telah memuncak,” katanya.
Tak cukup sampai situ, Srimiguna juga menyebut Bukhori kerap melakukan praktik kekerasan ke M seperti menonjok dengan tangan kosong ke tubuh, menampar pipi dan bibir, menggigit tangan, serta mencekik leher.
"Dan menginjak-injak tubuh korban yang sedang hamil. Akibat perbuatan itu, korban mengalami pendarahan. Bahkan BY pernah melakukan KDRT dengan memukul korban menggunakan kursi hingga babak belur. Dan membekap wajah korban dengan bantal hingga korban kesulitan bernapas," tambah Srimiguna.
Setelah ragam praktik kekerasan itu, Bukhori sering meminta maaf dan memohon agar M tidak melaporkan perbuatannya ke polisi dan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI—mengingat Bukhori masih aktif sebagai anggota parlemen. Menurut Srimiguna, karena adanya ketimpangan relasi kuasa dan ketidaksetaraan, M sebagai korban sempat takut melakukan hal-hal tersebut.
Sampai akhirnya M memberanikan diri melapor ke polisi pada November 2022.
"Korban kemudian melakukan permohonan perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pada Desember [2022]. Dan sejak Januari 2023 setelah dilakukan serangkaian prosedur oleh LPSK. Korban resmi menjadi terlindung LPSK pada Januari 2023, dengan perlidungan fisik melekat (Pamwalkat) dan pendampingan pemulihan psikis oleh psikolog LPSK," katanya.
Laporan M ke polisi juga memakan waktu yang tak sebentar. Setidaknya, ia membutuhkan waktu tujuh bulan hingga Mei 2023 proses penyelidikan berlanjut dan dilimpahkan ke Bareskrim Mabes Polri.
Srimiguna saat itu berharap Bukhori ditetapkan tersangka—kendati statusnya aktif sebagai anggota DPR RI. Pasalnya, ia dan M memiliki ragam alat bukti permulaan yang cukup: visum et repertum, rekam medis, saksi-saksi, hingga sejumlah bukti elektronik—CCTV, rekaman suara, rekaman video, dan pesan singkat.
“Kepolisian diharapkan dapat bekerja secara presisi serta profesional dalam memberikan keadilan kepada korban, seorang perempuan masyarakat biasa, meskipun terlapor adalah oknum anggota DPR RI aktif,” katanya.
Belakangan, Senin (22/5/2023), M dan Srimiguna akhirnya melaporkan Bukhori ke MKD DPR RI atas dugaan pelanggaran kode etik. Namun, akhirnya lembaga itu mengaku tak bisa memproses laporan itu karena ternyata Bukhori sudah mengundurkan diri sebagai anggota DPR RI. Bukhori juga diketahui telah mundur dari partainya.
PKS sendiri telah membenarkan informasi itu. Namun, mereka menganggap apa yang dilakukan oleh Bukhori adalah urusan pribadi. “Kasus ini masalah pribadi BY dan bukan masalah partai,” kata Ketua DPP PKS Bidang Humas Ahmad Mabruri pada Selasa (23/5/2023).
Rekam Jejak Bukhori: Getol Menolak UU TPKS
Satu hari setelah dilaporkan ke MKD DPR RI, Bukhori akhirnya angkat suara lewat kuasa hukumnya, Maharani Siti Sophia. Ia menjelaskan kronologi versinya sendiri. Kata Maharani, Bukhori adalah “korban” dari M. M telah diceraikan oleh Bukhori lewat pernikahan siri yang hanya berlangsung selama sembilan bulan.
Maharani menjelaskan, Bukhori menceraikan M karena tak tahan dengan sikapnya yang ingin menguasai Bukhori secara moril dan materiil. Ia mengklaim, M sering menekan dan mengancam Bukhori.
“Jadi tidak benar informasi yang beredar selama ini. Intinya BY justru menjadi korban dari M, jadi jangan memutarbalikkan fakta,” kata Maharani lewat keterangan tertulisnya pada Selasa lalu.
Maharani mengklaim bahwa fitnah dan tuduhan M terhadap Bukhori berawal dari kemauan M yang ingin rujuk kembali usai diceraikan. “M meminta rujuk. BY tetap menolak,” katanya.
Selama menjadi istri siri, Maharani menyebut, M selalu menuntut dan mengancam Bukhori jika menceraikannya, dengan melaporkan ke MKD RI. “BY dilaporkan ke MKD DPR RI hari ini dan itu terbukti sebagaimana ancaman yang akan dilakukan M selama ini agar BY tidak meninggalkannya,” katanya.
Maharani mengklaim tidak pernah ada laporan polisi terkait KDRT dan tidak ada proses hukum terkait KDRT yang dialamatkan kepada Bukhori. “Laporan polisi yang disampaikan M hanya kasus penganiayaan ringan yakni Pasal 352 KUHP dan sampai saat ini masih proses penyelidikan,” katanya.
Maharani juga menuding, pengakuan M atas perlakuan KDRT diduga merupakan depresi atau trauma yang dialami M jauh sebelum bertemu Bukhori.
Apa yang dialami oleh M terhadap Bukhori, terutama soal pemaksaan hubungan seksual hingga mengalami pendarahan, termasuk dalam martial rape—atau pemerkosaan dalam rumah tangga. Aturan itu kembali tercantum dalam Undang-Undang (UU) tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)—regulasi yang sejak awal ditolak oleh partainya Bukhori.
Bahkan, Bukhori pernah secara lantang menolak UU itu saat masih tahap pembahasan karena dianggap “masih mengusung paradigm sexual consent.”
Perkosaan dalam Pernikahan Itu Nyata
Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi menyebut, kasus yang dialami M yang diduga mendapat kekerasan seksual oleh suaminya sendiri adalah gambaran bahwa kasus perkosaan dalam perkawinan adalah nyata. Apalagi, regulasi di Indonesia sudah mengakomodir kasus tersebut.
Awalnya adalah Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Ami—sapaan akrabnya—menyebut UU tersebut adalah bentuk pembaharuan hukum untuk melindungi kerentanan perempuan dalam relasi perkawinan.
“Karena sebelumnya kekerasan terhadap istri, termasuk kekerasan seksual dalam perkawinan dianggap bukan sebagai kejahatan,” kata Ami saat dihubungi wartawan Tirto pada Kamis (25/5/2023) malam.
“Hal ini harus dipandang sebagai kewajiban konstitusional negara untuk memenuhi hak warga negara perempuan atas rasa aman, bebas dari kekerasan dan diskriminasi. Jaminan konstitusional tidak berhenti ketika seorang perempuan menikah,” tambahnya.
Belakangan, perkosaan dalam perkawinan kembali diatur dalam Undang-Undang No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), khususnya lewat Pasal 4 ayat 2 huruf h. Dalam aturan itu, secara tegas disebut bahwa kekerasan seksual dalam perkawinan adalah tindak pidana kekerasan seksual.
Ami menyoroti bagaimana saat pembahasan UU TPKS beberapa tahun lalu terjadi banyak penolakan, khususnya terkait “sexual consent.”
“Aktivitas seksual tanpa persetujuan. Jika aktivitas seksual dilakukan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, manipulasi, tipu daya, perbawa yang timbul dari keadaan, atau persetujuan diberikan oleh non-competent consent yaitu anak, penyandang disabilitas, pingsan, mabuk dan ada situasi-situasi tertentu seperti relasi kuasa,” katanya.
“Dalam konteks perkawinan, seseorang bersedia terikat perkawinan bukan berarti bersedia aktivitas seksualnya dilakukan dengan paksaan,” tambahnya. “Terkait dengan kasus ini, kami merekomendasikan aparat penegak hukum untuk menggunakan UU TPKS.”
Koordinator Advokasi Kebijakan Nasional Asosiasi LBH APIK Indonesia, Ratna Batara Munti menyebut, masuknya perkosaan dalam perkawinan di UU KDRT dan UU TPKS adalah kemajuan perlindungan perempuan. Pasalnya, kendati ada aturan Pasal 285 dalam KUHP yang lama, namun itu tidak cukup.
“Pasal 285 mendiskualifikasi istri sebagai korban perkosaan. Asumsinya istri wajib melayani seksual suami dalam kondisi apa pun, sehingga paksaan suami ke istri bukan merupakan tindak perkosaan atau kekerasan seksual,” kata Ratna saat dihubungi pada Kamis malam.
“Kami sejak awal mengkritisi Pasal 285 KUHP ini dan akhirnya menginisiasi lahirnya UU PKDRT. Sayangnya implementasi UU ini masih belum optimal. Sehingga kita masukkan lagi dalam UU TPKS,” tambahnya.
Deputi Bidang Pemberdayaan Perempuan Partai Buruh, Jumisih juga mendesak agar para partai di dalam maupun luar parlemen untuk segera memberikan pendidikan edukasi yang komprehensif soal seksualitas dan gender untuk para kadernya. Langkah ini, menurut Jumisih, bisa ditempuh oleh para partai agar membekali kadernya yang akan menjadi pejabat publik.
“Salah satu penyebab adanya kekerasan seksual adalah faktor relasi kuasa. Bahwa siapapun memang berpotensi menjadi pelaku, termasuk pejabat publik,” katanya kepada wartawan Tirto.
Jumisih mengecam dalih partai jika menyebut bahwa kasus kekerasan seksual adalah ranah privat. Menurutnya, kekerasal seksual adalah ranah publik.
“KDRT jelas bukan ranah privat, area domestik dalam rumah tangga adalah dunia kerja yang juga layak diperjuangkan menjadi dunia yang aman dan nyaman,” katanya.
Ratna juga membenarkan ucapan Jumisih. Kata dia, tindakan kekerasan dalam perkawinan bukan lagi masalah privat. UU PDKRT menyebut KDRT adalah tindak pidana. Itu artinya, alhasil ia adalah urusan publik.
“Pelaku tidak memandang pejabat atau bukan, jika melakukan KDRT, dia bisa dijerat hukum. Saat melakukan KDRT, BY masihlah sebagai anggota DPR dari Fraksi PKS, jadi PKS enggak bisa lepas tangan. Sikap PKS terkesan upaya ngeles alias cuci tangan, bukan sikap yang bijak. Masyarakat akan menilai,” kata Ratna.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz