Menuju konten utama

KDRT Eks Anggota DPR: Bisakah Pemerkosaan Terjadi di Pernikahan?

Faktanya, pemerkosaan bisa terjadi meskipun pelaku dan korban terikat dalam pernikahan yang disebut sebagai marital rape.

KDRT Eks Anggota DPR: Bisakah Pemerkosaan Terjadi di Pernikahan?
Ilustrasi Kekerasan. foto/istockphoto

tirto.id - Eks anggota DPR Bukhori Yusuf belakangan dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) atas tuduhan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Laporan ini dibuat oleh terduga korban, MY yang merupakan istri siri Bukhori. Berdasarkan klaim terduga korban, Bukhori melakukan KDRT berupa kekerasan fisik, verbal, dan seksual.

MY mengaku sering dipaksa berhubungan seksual tidak wajar dengan Bukhori hingga ia mengalami pendarahan. Akibatnya, publik menduga bahwa Bukhori melakukan pemerkosaan terhadap sang istri.

Menyusul kasus KDRT yang melibatkan namanya viral, Bukhori Yusuf memutuskan untuk menandatangani surat pengunduran dirinya sebagai anggota DPR RI. Tidak lama kemudian kuasa hukum Bukhori juga mengonfirmasi dirinya mundur dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Kasus KDRT yang melibatkan Bukhori Yusuf ini seolah kembali mengaskan bahwa pemerkosaan bisa terjadi dalam pernikahan. Lantas benarkah bahwa pemerkosaan bisa terjadi bahkan dalam hubungan suami istri?

Bisakah Pemerkosaan Terjadi di Pernikahan?

Faktanya, pemerkosaan bisa terjadi meskipun pelaku dan korban terikat dalam pernikahan. Tindakan ini dikenal dengan istilah marital rape.

Riskyanti Juniver Siburian dalam studi yang rilis di Lambung Mangkurat Law Journal (2020) menyebutkan bahwa marital rape adalah pemaksaan hubungan seksual dalam rumah tangga, di mana antara pelaku dan korban terdapat ikatan perkawinan.

Ada beberapa unsur yang memenuhi tindakan marital rape atau pemerkosaan dalam pernikahan termasuk pemaksaan, manipulasi, hingga kekerasan dalam berhubungan seksual.

Sayangnya, kasus pemerkosaan dalam pernikahan ini masih belum mendapat perhatian dari sejumlah negara. Menurut United Nation Women (UN Women) per 2022 masih ada lebih dari 30 negara yang menganggap bahwa marital rape bukan tindakan kriminal.

Padahal kasus marital rape ini sangat tinggi. Dikutip dari Global Citizen, per tahun 2019 setidaknya 1 dari 5 wanita di seluruh dunia yang berusia 15 hingga 49 tahun pernah mengalami kekerasan fisik dan seksual dari pasangannya.

Dampak Pemerkosaan dalam Pernikahan

Pemerkosaan dalam pernikahan dapat menimbulkan dampak negatif, khususnya pada korban. Tidak hanya menyebabkan luka fisik, korban pemerkosaan dalam pernikahan juga rentan mengalami kondisi mental serius.

Sama seperti korban pemerkosaan di luar pernikahan, korban marital rape juga dapat mengembangkan trauma yang memengaruhi kondisi fisik dan mentalnya.

"Seperti semua trauma yang tidak diobati, itu dapat menyebabkan masalah kesehatan fisik dan mental," kata Charna Cassell seorang terapis seks dan trauma berbasis di California seperti yang dikutip dari PsychCentral.

Masih menurut Cassell, salah satu faktor utama korban mengalami kondisi ini adalah karena kondisi yang membingungkan. Pada kasus marital rape orang yang melakukan kejahatan adalah orang terdekat yang dicintai dan seharusnya memberikan rasa aman.

Akibatnya, korban cenderung membawa beban emosional yang berat. Di banyak kasus korban pemerkosaan dalam pernikahan rentan mengalami depresi, kecemaan, hingga gangguan stres pasca-trauma (PTSD).

Cassell juga mengungkapkan sebagian korban juga terkadang mencoba menyakiti dirinya sendiri setelah mengalami pemerkosaan.

Dasar Hukum Pemerkosaan dalam Pernikahan di Indonesia

Kabar baiknya, sudah ada dasar hukum untuk mencegah pemerkosaan dalam pernikahan di Indonesia. Dasar hukum soal marital rape di Indonesia tertuang dalam tiga pasal Undang-Undang (UU) Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Dikutip dari laman Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), tiga pasal yang menjadi dasar hukum terkait tindak pemerkosaan dalam pernikahan di Indonesia adalah:

1. Pasal 5 UU Nomor 23 Tahun 2004

Pasal 5 UU Nomor 23 Tahun 2004 mengatur soal bentuk-bentuk kekerasan apa saja yang dilarang dalam rumah tangga. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut termasuk:

  • kekerasan fisik;
  • kekerasan psikis;
  • kekerasan seksual;
  • penelantaran rumah tangga.

2. Pasal 8 UU Nomor 23 Tahun 2004

Pasal 8 UU Nomor 23 Tahun 2004 mengatur rincian dari pasal 5 soal bentuk kekerasan seksual apa saja yang dilarang, termasuk:

  • pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
  • pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

3. Pasal 46 UU Nomor 23 Tahun 2004

Sementara itu, Pasal 46 UU Nomor 23 Tahun 2004 mengatur soal hukuman bagi pelaku kekerasan seksual dalam pernikahan.

Menurut pasal ini seseorang yang melakukan marital rape bisa dikenakan pidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp36.000.000.

Baca juga artikel terkait KASUS KDRT BUKHORI YUSUF atau tulisan lainnya dari Yonada Nancy

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Yonada Nancy
Editor: Yantina Debora