tirto.id - Moch Subchi Azal Tsani alias MSAT (42), tersangka kekerasan seksual terhadap santri Pondok Pesantren Shiddiqiyyah, Jombang, Jawa Timur, akhirnya ditahan dan segera disidang. Pria yang akrab disapa Mas Bechi ini menyerahkan diri pada Kamis malam (7/7/2022) sekitar pukul 23.00 usai polisi mencari dan menggeledah seluruh area ponpes.
“Kamis, pukul 08.00-22.30, tim gabungan mencari dan menggeledah seluruh area Ponpes Shiddiqiyyah dan tempat persembunyian [Subchi] lainnya,” kata Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Ahmad Ramadhan, di Mabes Polri, Jumat (8/7/2022).
Polisi pun segera melakukan pelimpahan tersangka dan barang bukti, dilanjutkan dengan menahan Subchi atau Mas Bechi di Rutan Medaeng, Sidoarjo.
Berdasarkan laporan Tirto, 7 Februari 2020, kasus yang menyeret Mas Bechi ini terjadi pada 2017. Namun, kasus ini baru dilaporkan ke Polres Jombang pada 29 Oktober 2019 dengan laporan polisi No: LPB/392/X/Res 1,24/2019/JaTim/Res JBG.
Subchi pun ditetapkan sebagai tersangka pada 12 November 2019 oleh Polres Jombang. “Namun, selepas dua kali dilayangkan panggilan, tersangka tak juga memenuhi panggilan penyidik. Seharusnya upaya yang terakhir itu adalah upaya paksa,” ujar Palupi, kuasa hukum salah satu korban.
Akan tetapi, saat itu upaya pemanggilan paksa tak kunjung dilakukan. Akibat kasus ini pula, situasi sosial politik di Jombang turut ramai dan berbuah pelimpahan kasus ini ke Polda Jatim sejak 15 Januari 2020. Korban dalam kasus ini bukan hanya satu. Detail kronologi kasus bisa dibaca di link ini.
Sayangnya, Subchi atau Mas Bechi tak pernah memenuhi panggilan penyidik. Hal ini diduga karena ia merupakan anak dari pengasuh Pondok Pesantren Shiddiqiyah, Kiai Muchtar Mu'thi. Ia berusaha melindungi putranya, bahkan kasus kekerasan seksual yang dilakukan Subchi disebut fitnah.
Setelah Subchi menyandang status buron, pada Minggu (3/7) polisi berupaya melakukan penggerebekan terhadap Subchi yang 'terdeteksi' sedang keluar dari pondok. Namun sayang, lagi-lagi polisi gagal menangkap lantaran kendaraan yang mengejar rombongan Subchi dihalangi oleh mobil pendukungnya.
Akhirnya polisi menemui Kiai Muchtar Mu’thi yang merupakan ayah Subchi. Tetapi, sang kiai menolak upaya polisi untuk membawa anaknya. Dalam video yang beredar, kiai Muchtar meminta agar polisi tidak meneruskan kasus yang tengah membelit anaknya tersebut.
Ia beralasan, jika kasus yang membelit anaknya tersebut adalah fitnah belaka dan lebih dilatarbelakangi oleh persoalan keluarga.
“Bismillahirrahmanirrahim, Allahu akbar, demi untuk keselamatan kita bersama, demi untuk kejayaan Indonesia Raya, masalah fitnah ini, masalah keluarga ini. Untuk itu, kembalilah ke tempat masing-masing, jangan memaksakan diri mengambil anak saya yang kena fitnah ini," kata sang kiai dalam video berdurasi 1,55 detik itu.
Bukti Relasi Kuasa & Victim Blaming
Penulis & Gender Equality Campaigner, Kalis Mardiasih menilai upaya orang tua pelaku dan kelompoknya yang menghalang-halangi tersangka membuktikan bahwa mereka telah menutupi kesalahan 'atas nama baik pesantren'.
“Jadi bagaimana nama baik dijaga. Mereka punya jemaah besar yang pengikutnya ribuan. Kalau anaknya bersalah, dia takut nama baik majelisnya buruk, jadi nama baik komunitas dianggap segalanya dibandingkan keadilan,” kata Kalis kepada reporter Tirto, Jumat (8/7/2022).
Selain di Jombang, kasus kekerasan seksual di lingkungan pesantren juga terjadi di Pondok Pesantren Desa Padang, Singojuruh, Banyuwangi. Fauzan (52) sebagai pelaku merupakan pengasuh ponpes. Saat ini telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan.
Dalam kasus ini, Fauzan menggunakan dalih tes keperawanan untuk melakukan aksi bejatnya dan mengiming-imingi korbannya dengan uang mahar. Terdapat enam korban atas aksi bejatnya tersebut.
Kemudian ada kasus Herry Wirawan, pengasuh di boarding school di kawasan Cibiru, Kota Bandung, Jawa Barat. Ia mencabuli belasan santriwatinya hingga hamil dan melahirkan. Kasus ini menjadi sorotan publik dan viral di media sosial. Herry pun divonis mati.
Menurut Kalis, kasus tersebut merupakan wajah nyata bagaimana akar kekerasan seksual bersumber dari relasi kuasa yang sangat sistemik dan berlapis. Misalnya kasus yang terjadi di Jombang.
Subchi merupakan seorang guru/wakil rektor di Pesantren Shindiqiyah dan memiliki usaha di lembaga pendidikan tersebut. Sementara korban adalah santriwati yang belajar di ponpes itu dan hendak melamar pekerjaan di tempat usahanya. Selain itu, ayah pelaku juga merupakan pengasuh ponpes.
“Ini bukti relasi kuasa dari pemimpin pesantren yang dianggap suci dan relasi ekonomi yang menghidupkan masyarakat sekitar. Ini yang mengakibatkan korban posisinya semaik rentan dan tidak dipercaya,” kata Kalis.
Kalis juga menilai jika kasus kekerasan seksual ini merupakan victim blaming lantaran orang tua pelaku menyebutkan bahwa informasi anaknya melakukan pencabulan terhadap santriwati adalah fitnah.
Hal itu menunjukkan melindungi pelaku kekerasan seksual masih mengakar di mana saja dengan relasi kuasa, termasuk lembaga pendidikan.
“Itu semua harus dibongkar, bagaimana membongkar kelompok keagamaan, bahwa agama itu harusnya melindungi kelompok yang lemah dan memberikan keadilan bagi kelompok yang lemah, bukan melindungi seseorang walaupun dia terhormat,” kata dia.
Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan, Imam Nahe’i Komnas mengatakan, siapapun yang menghalang-halangi penangkapan pelaku, maka akan dapat dipidana sesuai perundang-undangan yang berlaku.
Menurut dia, siapapun harus tunduk dan patuh pada hukum. Setiap warga negara yang melakukan tindak pidana, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan termasuk UU TPKS harus dipidana.
“Ya iya, haruslah dipidana. Dan setiap warga negara yang menghalang-halangi proses hukum, maka ia bisa dikenakan pidana sesuai dengan UU yang berlaku,” kata Imam saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (7/7/2022) siang.
Imam menyatakan dukungannya agar hukum dijalankan secara adil. Dia pun mengkritik ayah tersangka, Kiai Mukhtar yang meminta Kapolres Jombang AKBP Moh Nurhidayat agar tidak menangkap anaknya dan menyebut kasus yang menimpa anaknya adalah masalah keluarga dan fitnah.
Iman menegaskan bahwa semua warga negara di Indonesia memiliki posisi yang setara di hadapan hukum. “Jangan dilihat ponpes maupun kiainya, di Indonesia semua warga negara memiliki posisi yang setara di hadapan hukum,” ucapnya.
Soal apakah yang dikatakan ayah dari tersangka MSAT itu fitnah atau benar adanya, kata Imam, biar aparat penegak hukum yang harus mengungkapkannya serta menegakkan hukum dengan adil. Sebab, jika tidak terbukti bersalah, hakim pasti menjatuhkan vonis bebas.
“Setiap orang, kan, juga punya hak membela diri. Nah, di situlah tugas aparat penegak hukum untuk menegakkan hukum dengan adil,” tuturnya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz