tirto.id - “Jika ternyata benar bahwa dana kemanusiaan yang dihimpun oleh ACT itu diselewengkan, maka selain harus dikutuk, penyelewengan itu juga harus dibawa ke proses hukum pidana.” Demikian twit Menkopolhukam Mahfud MD usai mendengar dugaan penyelewengan dana donasi organisasi nirlaba Aksi Cepat Tanggap.
Mahfud MD juga sempat bercerita pernah “ditodong” ACT di masa lalu saat memberikan khotbah di sebuah masjid. Ia pun bersedia memberikan endorse karena ACT kala itu ingin menghimpun dana untuk membantu warga Palestina, Papua dan efek gempuran Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).
Respons Mahfud MD tidak lepas dari pemberitaan Majalah Tempo tentang kondisi lembaga kemanusiaan ACT. Dalam salah satu laporan berjudul “Aksi Cepat Tanggap Cuan,” dipaparkan bagaimana kondisi isu pemborosan di tubuh ACT, dugaan penyalahgunaan uang donasi untuk kepentingan pribadi, dugaan aliran uang ACT ke korporasi bentukan, kampanye yang tidak sesuai fakta hingga besaran uang pemotongan donasi.
Sebagai contoh, dalam konteks pemborosan, ACT menggaji presiden ACT (jabatan tertinggi di organisasi) hingga Rp250 juta, sementara senior vice president dengan angka Rp150 juta. Para petinggi ini juga mendapatkan mobil mewah seperti Mitsubishi Pajero Sport hingga Toyota Alphard.
Ibnu Khajar, Presiden ACT saat ini pun mengklarifikasi atas serial pemberitaan tersebut. “Kami sampaikan permohonan maaf atas pemberitaan ini, kami ucapkan terima kasih ke Majalah Tempo di atas semua pemberitaan itu, jadi manfaat bagi kita semua,” kata Ibnu Khajar dalam konferensi pers luring yang digelar di Kantor ACT, Jakarta Selatan, Senin (4/6/2022).
Ibnu Khajar mengakui bahwa ACT sempat mengalami masalah. Ia mengaku sebelumnya ACT memang sempat menggaji orang yang menduduki jabatan presiden hingga Rp250 juta. Namun kebijakan tersebut berubah setelah situasi lembaga bermasalah.
Ia pun mengklaim, ACT sudah berupaya memperbaiki kinerja lembaga sejak 11 Januari 2022. Mereka pun melakukan restrukturisasi di berbagai sektor. Di sektor SDM sebagai contoh, ACT mengurangi personil dari 1.688 orang per 2021, menjadi 1.128 orang per Juli 2022.
Meskipun petinggi ACT sudah minta maaf, tapi persoalan yang menimpa ACT terus berlanjut. Tidak lama setelah pemberitaan soal ACT mengemuka, kepolisian membenarkan bahwa mereka tengah melakukan penyelidikan.
“Info dari Bareskrim masih proses penyelidikan dahulu," kata Kadiv Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo, saat dikonfirmasi wartawan, Senin, 4 Juli 2022. Namun, ia belum bisa merinci lebih jauh perihal upaya kepolisian.
Terbaru, polisi mengungkapkan bahwa mereka pernah menerima laporan dugaan penipuan yang melibatkan ACT.
Iya [sempat dilaporkan], sedang dalam penyelidikan untuk memfaktakan unsur pidana," ucap Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Brigjen Pol Andi Rian Djajadi saat dikonfirmasi, Selasa, 5 Juli 2022.
Pengaduan pada tahun lalu itu teregristrasi dengan nomor LP/B/0373/VI/2021/Bareskrim tanggal 16 Juni 2021, ihwal dugaan penipuan dalam akta autentik. "Dugaan penipuan atau keterangan palsu dalam akta autentik (Pasal 378 KUHP atau Pasal 266 KUHP)," sambung dia.
Selain diselidiki aparat, instansi lain pun mulai membuka temuan soal ACT. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyatakan mereka menemukan indikasi penyelewengan dana di tubuh ACT. Mereka mendorong agar publik mencari tempat donasi yang tepat.
“Adanya indikasi dugaan penyelewengan penggunaan dana yang diterima ini sudah terendus sejak dari masyarakat dan para pihak lain. Laporan disampaikan oleh Penyedia Jasa Keuangan/PJK kepada PPATK,” kata Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana seperti dikutip Antara.
PPATK juga menemukan indikasi penyalahgunaan dana tersebut diduga mengalir pada kepentingan pribadi dan dugaan aktivitas terlarang. PPATK mengaku sudah menyerahkan hasil analisis ke Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Polri cq Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri.
Tak hanya itu, Kementerian Sosial pun memutuskan untuk mencabut izin penyelenggaraan pengumpulan uang dan barang (PUB) yang diberikan kepada Yayasan Aksi Cepat Tanggap sebagai respons terhadap kasus ACT.
Menteri Sosial ad-interim, Muhadjir Effendy menerbitkan surat Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 133/HUK/2022 tanggal 5 Juli 2022 tentang Pencabutan Izin Penyelenggaraan Pengumpulan Sumbangan kepada Yayasan Aksi Cepat Tanggap di Jakarta Selatan sehingga ACT tidak bisa memungut dana per Selasa (5/7/2022).
“Jadi alasan kami mencabut dengan pertimbangan karena adanya indikasi pelanggaran terhadap Peraturan Menteri Sosial sampai nanti menunggu hasil pemeriksaan dari Inspektorat Jenderal baru akan ada ketentuan sanksi lebih lanjut,” kata Muhadjir berdasarkan rilis Kemensos, Rabu (6/7/2022).
Sementara itu, berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) PP Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan berbunyi “Pembiayaan usaha pengumpulan sumbangan sebanyak-banyaknya 10 persen dari hasil pengumpulan sumbangan yang bersangkutan.”
Sedangkan dari hasil klarifikasi, Presiden ACT, lbnu Khajar mengatakan menggunakan rata-rata 13,7 persen dari dana hasil pengumpulan uang atau barang dari masyarakat sebagai dana operasional yayasan.
Kemensos pun akan memanggil pimpinan ACT dalam rangka mendengar keterangan soal kasus ACT. Pemanggilan ini akan dihadiri tim Inspektorat Jenderal untuk mendengar keterangan dari apa yang telah diberitakan di media massa dan akan memastikan, apakah ACT telah melakukan penyimpangan dari ketentuan.
“Termasuk menelusuri apakah terjadi indikasi penggelapan oleh pengelola,” kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemensos, Harry Hikmat lewat keterangan tertulis, Selasa (5/7/2022).
Dia menerangkan Kemenkes melalui Inspektorat Jenderal memiliki kewenangan melakukan pemeriksaan sesuai Permensos Nomor 8 Tahun 2021 huruf b. “Jika ditemukan indikasi-indikasi tersebut, Kementerian Sosial memiliki kewenangan membekukan sementara izin PUB dari ACT sampai proses ini tuntas,” ujar Harry.
Respons ACT soal Pencabutan Izin
ACT pun mengaku tidak menyangka dengan keputusan pemerintah. “Kami perlu menyampaikan kepada masyarakat bahwa kami sangat kaget dengan keputusan ini,” kata Ibnu Khajar, dilansir dari siaran pers ACT, Rabu (6/7/2022).
Tim legal Yayasan ACT, Andri menilai keputusan pencabutan izin sebagai sikap reaktif. Ia mengingatkan Pasal 27 Peraturan Menteri Sosial RI No 8/2021 tentang Penyelenggaraan Pengumpulan Uang atau Barang telah dijelaskan adanya proses yang harus dilakukan secara bertahap.
“Melalui Pasal 27 itu disebutkan sanksi administrasi bagi penyelenggara PUB yang memiliki izin melalui tiga tahapan. Pertama, teguran secara tertulis, kedua penangguhan izin, dan ketiga baru pencabutan izin. Hingga kini kami masih belum menerima teguran tertulis tersebut,” jelas dia.
Andri juga mengingatkan sanksi administratif berupa teguran secara tertulis itu harus diberikan kepada penyelenggara PUB paling banyak tiga kali, dengan tenggang waktu paling lama 7 hari kerja antara teguran pertama dan teguran selanjutnya. “Di sinilah kami menjadi heran, mengapa begitu cepat keputusan pencabutan izin itu dilakukan,” tutur dia.
Ada Potensi Unsur Pidana
Ahli hukum pidana dari Universitas Binus, Ahmad Sofian mengakui ada potensi unsur pidana dalam perkara ACT. “Pasal 378 KUHP penggelapan, korupsi UU 31/1999 jo UU no 20/2001 tentang Korupsi, dan UU Terorisme," kata Ahmad kepada reporter Tirto,
Menurut Ahmad, kasus ACT lebih mengarah ke kasus penggelapan sebagaimana Pasal 372 KUHP. Ia beralasan, kasus ini adalah dugaan upaya menggelapkan uang yayasan demi keuntungan pribadi.
Kasus ini, kata Ahmad, berpotensi tidak akan sama seperti kasus First Travel karena kasus ini tidak mengarah pada unsur penipuan. Dalam kasus First Travel, publik ditipu untuk berangkat haji atau umrah, sementara ACT tetap masih memberikan donasi meski angka donasi tidak sesuai.
Ahmad mengatakan, tidak menutup kemungkinan penegak hukum bisa saja menjerat ACT dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Sebab, tindakan ACT ada unsur merugikan publik karena mengambil dana publik untuk kepentingan pribadi. Kerugian tersebut bisa digunakan sebagai pertimbangan untuk memidanakan ACT dengan pasal tindak pidana korupsi.
Di sisi lain, ia juga mengingatkan kasus ACT berpotensi juga menjerat kasus terorisme karena pernyataan BNPT maupun hasil analisis PPATK soal dugaan aliran dana. Ia mengingatkan keterangan PPATK menyatakan ada aliran dana kepada organisasi terlarang sehingga membuka peluang penjeratan pasal terorisme.
Lalu, bagaimana nasib aset ACT bila dipidana dan pertanggungjawabannya? Menurut Ahmad, direksi atau pengurus yayasan dapat dimintai pertanggungjawaban atas kasus ACT dengan dugaan sangkaan pasal yang ada. Pertanggungjawaban pidana secara instansi ACT pun bisa dilakukan bila berkaitan dengan tindakan korporasi.
Sementara itu, aset ACT bisa dirampas negara apabila perkara ini menggunakan pasal penipuan maupun UU Tipikor. Apabila menggunakan kedua pasal tersebut, pemerintah dapat mengintervensi karena memang tidak berkaitan dengan internal perusahaan. Akan tetapi, perampasan akan memicu masalah baru karena aset tersebut adalah aset umat yang memang harus didonasikan.
Di sisi lain, penjeratan dengan pasal penggelapan memang tidak akan membuat aset disita. Pengurus yang diduga memperkaya diri akan dimintai pertanggungjawaban, termasuk mungkin mengganti rugi uang yang dinikmati meski KUHP tidak mengatur spesifik soal uang pengganti.
Ia juga mengingatkan, pencabutan izin oleh Kementerian Sosial akan memicu masalah baru. ACT tidak bisa melakukan kegiatan selain menggunakan aset yang ada. ACT bisa saja mengalihkan aset mereka sebagaimana anggaran dasar/anggaran rumah tangga organisasi untuk kepentingan mereka. Aparat perlu membekukan aset dan keuangan bila tidak ingin ada pengalihan dalam masalah ini. Namun semua perlu pendalaman penyelidikan sebelum penegakan hukum.
“Butuh pendalaman dalam bentuk penyelidikan dan penyidikan untuk menerapkan pasal-pasal dari undang-undang tersebut," kata Ahmad.
Sementara itu, ahli hukum Tindak Pidana Pencucian Uang, Paku Utama juga memandang perlu ada pembuktian tindak pidana. Ia tidak memungkiri bahwa kasus tersebut mengarah pada penggelapan atau penipuan.
“Pertama harus dibuktikan terlebih dahulu apakah terdapat tindak pidana di dalamnya, antara lain yang terkait seperti penipuan dan penggelapan. Apabila terbukti, otomatis tindak pidana tersebut melahirkan TPPU, karena adanya proceeds of crime atau aset/kekayaan hasil tindak pidana," kata Paku kepada Tirto, Rabu (6/7/2022).
Pembuktian tersebut dapat dilakukan dengan cara apakah ada aset organisasi yang disalahgunakan, seperti untuk pembangunan rumah atau demi kebutuhan pribadi dengan aset organisasi. Kemudian, besaran uang yang diterima pihak ACT melebih ambang batas atau persentase yang diambil dari dana sumbangan untuk keperluan tertentu seperti gaji.
Apabila terbukti melebihi, kata Paku, maka perlu ditindaklanjuti lebih dalam. “Poin penting selanjutnya adalah lakukan investigasi forensik terhadap seluruh proses pencatatan keuangan (pembukuannya), apakah terdapat laporan keuangan yang dimanipulasi, seperti pencatatan pemasukan atau pengeluaran yang tidak sesuai," kata Paku Utama.
Ia mengingatkan, pelaku kecurangan itu sebenarnya memiliki kesamaan pola karakter tertentu. Misalnya, pola penggelapan aset dan pembukuan fiktif yang berulang, melahirkan manipulasi keuangan yang dapat ditelusuri.
“Karena ketidakseimbangan pencatatan, harus ditutupi dengan modus kecurangan lainnya, dan begitu seterusnya. Semakin besar nilai kecurangannya, maka semakin banyak jumlah orang yang terlibat dan semakin terorganisir," kata dia.
Paku Utama juga mengingatkan aktivitas terorisme sesuai yang dinyatakan PPATK memiliki parameter untuk dikategorikan sebagai aktivitas pembiayaan terorisme. Ia mencontohkan, beberapa organisasi internasional seperti OFAC (office of foreign asset control) mengeluarkan catatan untuk tidak bertransaksi dengan orang, negara atau entitas tertentu seperti Iran, Sudan, dan Suriah.
Selain itu, Paku menuturkan, KUHAP maupun UU TPPU menegaskan bahwa aset yang dihasilkan dari tindak pidana, dan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana harus dirampas. Dengan demikian, aparat penegak hukum harus menganalisis aset mana saja yang disita dan dirampas mengacu ke poin ini.
Metode yang dilakukan bisa dengan forensik hukum, forensik keuangan dan forensik digital terhadap aktivitas organisasi, kata Paku. Aparat bisa menggunakan pendekatan pasal pencucian uang. Dari situ, aparat bisa mengakumulasikan uang hasil tindak pidana yang disita dan dirampas, termasuk uang yang mengalir ke pengurus maupun anggota keluarga.
Hal ini tidak jauh berbeda dengan kasus First Travel. Akan tetapi, ia mengingatkan akan ada masalah bila putusan pengadilan berbunyi aset dirampas untuk negara. Ia menyoalkan apakah pemerintah punya sistem mekanisme pengelolaan aset hasil tindak pidana untuk didistribusikan kembali sesuai proses bisnis dan penyaluran bantuannya.
Paku memandang, pemerintah sebaiknya mengedepankan upaya deteksi dan pencegahan. Ia menilai hal itu mudah dilakukan dan murah biaya daripada mencari aset tindak pidana untuk merampas dan mengembalikannya di kemudian hari.
“Pemerintah bersama dengan penyedia jasa keuangan seperti bank, harus membangun sistem monitoring terhadap aliran transaksi organisasi sejenis, karena melibatkan aliran uang masyarakat yang masif dan berkesinambungan. Secara regulasi, hal ini sebenarnya sudah ada seperti mekanisme mendeteksi transaksi keuangan yang mencurigakan. Tetapi perlu ditingkatkan kembali,” kata dia.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz