tirto.id - DPR dan pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada 12 April 2022. Namun meski resmi diundangkan, tapi kasus kekerasan seksual belum sepenuhnya dapat bergantung pada regulasi tersebut. Musababnya, aparat penegak hukum masih kerap merespons kasus kekerasan seksual tanpa menggunakan paradigma perlindungan korban.
Misal Kapolsek Sidayu Gresik, Iptu Khairul Alam yang merespons kejadian pria mencium seorang anak perempuan di daerah itu disebut bukan pelecehan seksual karena sejumlah alasan, mulai dari tidak sampai buka baju, hingga tidak ada laporan.
“Menurut saya pelecehan seksual itu buka baju. Ini, kan, tidak buka baju, mungkin cuma gemas. Polsek juga tidak ada yang laporan. Orang tuanya juga tidak ada laporan,” kata Khairul pada Kamis (23/6/2022).
Sontak pernyataan Khairul Alam tersebut viral di media sosial. Kapolres Gresik, AKBP Muhammad Nur Azis pun meminta maaf kepada publik usai kejadian tersebut. “Saya atas nama pimpinan, kalau ada yang menyampaikan kurang tepat, saya mohon maaf,” kata Nur Azis, Jumat (24/6/2022).
Menurut Nur Azis, polisi telah menangkap pria yang mencium dua bocah tersebut. Pria berinisial B itu diamankan di Surabaya dan telah ditetapkan sebagai tersangka dugaan kasus pelecehan seksual.
Selain kejadian di Gresik tersebut, belakangan juga ramai kasus kekerasan seksual yang terjadi di Mal Bintaro yang akhirnya diselesaikan melalui jalur mediasi dengan pertimbangan bahwa pelaku adalah seorang pengidap gangguan kejiwaan.
Merespon hal itu, Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso mengatakan, polisi sebagai aparat penegak hukum tidak membiarkan pelaku berkeliaran dengan alasan gangguan kejiwaan.
“Polisi harus menerapkan justru orang tersebut harus dirawat atas perintah pengadilan. Jadi polisi minta penetapan pengadilan agar orang tersebut dirawat supaya tidak melakukan tindakan berulang,” kata Sugeng saat dihubungi pada Kamis (30/6/2022).
Dalam hal pembuktian, Sugeng mengatakan, polisi perlu memahami bahwa kekerasan seksual tidak terjadi sebatas kekerasan fisik sehingga perlu mengedepankan pembuktian ahli misalnya psikiater.
“Saya mau menyarankan (supaya) polisi mengedepankan pembuktian saintifik investigasi menggunakan pembuktian secara ilmiah sesuai dengan bidang keahliannya,” kata dia.
Hal senada diungkapkan Kepala Divisi Hukum Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Andi Rezaldi. Ia mengatakan penyidik tidak boleh hanya fokus pada bukti fisik seperti visum.
“Berkaitan dengan alat bukti, jika merujuk pada UU TPKS terkait alat bukti surat, selain bukti visum, penyelidik/penyidik dapat menggunakan bukti yang lain seperti rekam medis dan bahkan surat keterangan psikologi klinis atau psikiater atau spesialis kedokteran jiwa. Jadi tidak boleh penyelidik/penyidik hanya terpaku pada alat bukti visum dalam konteks fisik korban,” kata Andi melalui pesan singkat.
Sementara peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati mengatakan, dalam penanganan kasus kekerasan yang diduga dilakukan oleh ODGJ, aparat perlu memahami luasnya spektrum ODGJ.
“Soal ODGJ, tidak bisa dilakukan dengan penilaian polisi sendiri, karena harus dinilai, sekalipun ada penyakit mental apakah dia bisa bertanggung jawab dan tahu perbuatannya salah harus dinilai oleh ahli. Spektrum ODGJ itu luas, dan tidak serta menghilangkan pertanggungjawaban. Pun juga soal korban, aparat harus memperhatikan,” kata dia saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (30/6/2022).
UU TPKS Tak Perlu Nunggu Aturan Turunan?
Wakil Ketua Badan Legislasi (Banggar) DPR RI, Willy Aditya sebut, UU TPKS bisa langsung diterapkan dan digunakan oleh aparat penegak hukum (apgakum) dalam proses penyidikan suatu kasus. Proses penegakan hukum bisa menggunakan delik pidana atau hukum acara sebagaimana yang diatur dalam UU TPKS.
“Panja telah selesai melaksanakan tugasnya setelah pengambilan keputusan dalam pembicaraan tingkat I di Badan Legislasi bersama pemerintah. Selanjutnya seluruh pihak, mulai dari anggota DPR baik secara perorangan maupun sesuai dengan penugasan di komisi terkait, sama-sama melakukan pengawasan dalam pelaksanaan UU TPKS,” kata Willy dalam rilis tertulis.
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA, Nahar juga mengatakan hal yang sama. Ia menegaskan bahwa UU TPKS secara umum sudah dapat diimplementasikan.
“Jadi untuk (hukum) acaranya bisa otomatis dilaksanakan karena, kan, misalnya dari prosedur mulai penyidikan sampai pembuktian dan proses-proses lainnya. Misalnya ketika kasus Gresik sama Bintaro itu sesungguhnya, kan, dari sisi proses hukumnya bisa langsung jalan,” kata Nahar saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (30/6/2022).
Namun demikian, Nahar tak menampik bahwa sejumlah pasal dalam UU TPKS masih memerlukan aturan turunan yang hingga saat ini masih dibahas bersama oleh sejumlah instansi pemerintah terkait.
“Kami di PPPA sejak 9 Mei 2022 langsung menyiapkan hal-hal yang diperlukan dalam penyusunan peraturan pelaksana dari mandat UU No 12 tahun 2022,” kata Nahar.
Dari proses penyusunan peraturan turunan tersebut, kata Nahar, per Kamis (30/6/2022) ini dari 10 mandat pasal dalam UU TPKS, ada 7 ketentuan yang tengah digodok oleh Kementerian PPPA. Nahar mengatakan pihaknya saat ini masih berkoordinasi dengan sejumlah kementerian terkait khususnya untuk perkara yang merupakan kewenangan antarinstitusi.
“Misalnya ketika bicara soal penghapusan dan atau pemutusan akses elektronik atau dokumen elektronik yang bermuatan TPKS dan tata cara penanganan perlindungan dan pemulihan, ini kan lebih banyak tugas-tugas Kominfo. Maka kami terus berkoordinasi dengan Kemenkumham dan Kominfo,” kata Nahar.
Pemahaman Aparat Belum Merata
Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin mengatakan, UU TPKS masih memerlukan aturan turunan dan belum berlaku efektif. Namun demikian, dalam beberapa kasus, ia menyebut kepolisian telah menjerat pelaku menggunakan UU TPKS, sedangkan kasus lainnya yang serupa tidak ditindak dengan UU TPKS.
Mariana melihat hal tersebut sebagai wujud belum meratanya pemahaman aparat penegak hukum tentang pelecehan seksual.
“Lebih kepada pemahaman tentang pelecehan seksual sendiri, misalnya pengetahuan tentang pelecehan anak belum terbayang oleh yang bersangkutan (aparat penegak hukum)," kata Mariana.
Terkait aturan turunan, Mariana sebut dapat diimplementasikan pada tahun depan sesuai janji dari pemerintah. “Karena UU ini sebenarnya dua tahun baru bisa efektif tapi karena ada dorongan percepatan, jadi pemerintah menyatakan tahun depan (aturan turunan dapat diimplementasikan)” kata Mariana saat dihubungi, Kamis (30/6/2022).
Sementara itu, peneliti ICJR, Maidina mengatakan, secara umum UU TPKS belum diimplementasikan secara optimal oleh aparat penegak hukum. “Substansi dan nilai-nilai UU TPKS harus disampaikan ke penyidik. Penyidik juga harusnya aware dengan pembaruan hukum,” kata dia.
Lebih lanjut, Maidina mengatakan, bahwa implementasi UU TPKS tidak perlu menunggu peraturan turunan untuk dilaksanakan.
“Untuk proses kasus harusnya tidak alasan dengan belum ada peraturan pelaksana, namun jelas segera penting aturan pelaksana utamanya untuk perlindungan korban,” kata Maidina.
Perlu Lebih dari Sekadar Sosialisasi
Kepala Divisi Hukum KontraS, Andi Rezaldi memaparkan, hasil pemantauan KontraS selama Juli 2021-Juni 2022 menemukan empat pengabaian kasus kekerasan seksual oleh aparat. Ia meyakini bahwa kasus yang tercatat oleh KontraS tersebut bukan merupakan angka riil.
“Kasus yang tercatat oleh kami hanyalah puncak gunung es dari sekian banyak kasus. Angka penolakan tersebut bisa jadi bukanlah angka riil melihat banyak kasus kekerasan seksual yang dilaporkan, namun diabaikan dengan berbagai alasan,” kata Andi.
Andi mengatakan fenomena pengabaian kasus kekerasan seksual tersebut menunjukkan minimnya perspektif gender yang dimiliki oleh kepolisian yang salah satunya disebabkan adanya angka jumlah aparat yang masih didominasi laki-laki, yaitu sebanyak 94,39%. Sedangkan polisi perempuan hanya 5,91% dari total 435.696 personel yang berpotensi adanya bias gender dalam penanganan kasus kekerasan seksual.
Hal tersebut diamini Maidina. Ia mengatakan bahwa aparat penegak hukum memiliki masalah dalam hal komitmen untuk memberikan ruang aman khususnya untuk korban kekerasan seksual yang masih anak-anak.
“Ini masalah komitmen apakah (aparat) serius memberikan ruang aman. Ini untuk anak loh, yang nggak debatable. Masa iya polisi masih gini,” kata Maidina.
Di sisi lain, ia tak menampik bahwa masih terdapat permasalahan sosialisasi UU TPKS kepada aparat penegak hukum. Namun, hal tersebut tidak lebih besar dari masalah perspektif aparat dalam penanganan kasus kekerasan seksual itu sendiri.
“Tapi terlepas dari sosialisasi UU TPKS, permasalahan soal perspektif aparat menangani KS (kekerasan seksual) dan hukum acara sudah bermasalah,” kata dia.
Sementara itu, mantan Komisioner Komnas Perempuan, Magdalena Sitorus mengatakan, penanganan kasus kekerasan seksual tidak cukup hanya dengan melakukan sosialisasi UU TPKS. Namun, kata dia, yang diperlukan adalah pengawalan dari hulu hingga hilir. Mulai dari edukasi seksual dengan menghapuskan perasaan tabu saat membahas permasalahan seksualitas, pendataan pelaku secara terintegrasi untuk mencegah pergerakan serupa, hingga sanksi kepada aparat bila memutus perkara tak sesuai dengan UU TPKS.
“Di kepolisian itu memang dibutuhkan pengawasan, misalnya aparat yang tidak melakukan amanat UU harus diapain, gitu lho. Misalnya kalau hakim tidak melakukan amanat UU TPKS, sanksinya seperti apa?" kata Magdalena kepada reporter Tirto.
Magdalena menambahkan, “Harus ada data juga pelaku-pelaku itu tercatat di kepolisian, sehingga dia tidak bisa bergerak secara bebas. Upaya pencegahan yang paling penting harus dilakukan adalah edukasi. Kita, kan, bicara soal seks saja sudah waa [tabu] padahal ini, kan, kita tidak lepas dari kekerasan seksual.”
Namun demikian, Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso mengatakan, upaya sosialisasi UU TPKS kepada aparat penegak hukum masih mutlak diperlukan, sebab regulasi tersebut merupakan aturan yang terbilang baru.
“Harus disosialisasi. Jangankan UU TPKS yang baru, soal peraturan disiplin dan kode etik saja mereka nggak paham kadang-kadang. Itu, kan, peraturan yang lama (tahun) 2003. Untuk itu perlu sosialisasi, pemahaman tentang konsep-konsep hukum yang baru secara intensif dan saya melihat ini kurang disosialisasikan,” kata dia.
Sugeng menegaskan dalam hal tersebut tidak hanya polisi yang memerlukan pemahaman, tapi juga penegak hukum lain seperti hakim dan jaksa.
“Jaksa dan hakim harus memiliki pemahaman yang sama bahwa kekerasan itu bukan semata-mata kekerasan fisik karena UU kita sudah mengklasifikasi bahwa kekerasan non-fisik juga adalah satu bentuk kekerasan,” kata Sugeng.
Saat ini, kata Nahar, Kementerian PPPA juga tengah melakukan upaya sosialisasi UU TPKS kepada masyarakat serta aparat penegak hukum. Namun demikian, ia mengharapkan aparat juga dapat lebih proaktif untuk memastikan apakah sebuah perkara memenuhi unsur pidana, khususnya kekerasan seksual atau tidak.
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Abdul Aziz