Menuju konten utama

Urgensi RUU KIA: Demi Kesejahteraan Keluarga, Dikritik Pengusaha

Kehadiran RUU KIA dinilai dapat memperkuat komitmen bersama lintas sektor dalam upaya pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.

Urgensi RUU KIA: Demi Kesejahteraan Keluarga, Dikritik Pengusaha
Ilustrasi cuti melahirkan. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Kehadiran Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) membawa angin segar bagi keluarga. Wakil Ketua Badan Legislatif DPR RI, Willy Aditya menyatakan, kehadiran RUU yang diinisiasi DPR ini sangat penting karena memberikan manfaat bagi keluarga menjelang dan pasca kelahiran sang buah hati.

“Sangat penting sekali sebagai wujud peran negara dan keluarga dalam merealisasikan pembangunan SDM [sumber daya manusia] yang berkualitas,” kata Willy saat dikonfirmasi reporter Tirto, Kamis (23/6/2022).

Willy menjelaskan, terdapat poin-poin penting dalam RUU KIA. Misalnya, Pasal 4 ayat (2) RUU KIA mengungkapkan setiap ibu yang bekerja berhak untuk mendapatkan cuti melahirkan paling sedikit enam bulan dan mendapatkan waktu istirahat 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan jika mengalami keguguran.

Kemudian, mendapatkan waktu istirahat dan tempat untuk melakukan laktasi selama waktu kerja dan mendapatkan cuti yang diperlukan untuk kepentingan terbaik bagi anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Untuk Ibu yang melaksanakan cuti hamil, mereka mendapatkan hak secara penuh 100% untuk tiga bulan pertama dan 75% untuk tiga bulan berikutnya.

Selanjutnya, RUU KIA ini juga menginisiasi cuti untuk suami yang istrinya melahirkan. Pasal 6 ayat (1) RUU KIA menyebut, untuk menjamin pemenuhan hak ibu selama melahirkan, suami berhak mendapatkan cuti pendampingan melahirkan paling lama 40 hari dan pendampingan keguguran paling lama tujuh hari.

“DPR RI menyoroti bahwa saat ini kesadaran para ayah semakin tinggi untuk turut serta dalam tugas pengasuhan anak. Maka lewat RUU KIA, kami akan dorong adanya cuti ayah,” kata anggota DPR RI dari Fraksi Partai Nasdem ini.

Sementara itu, untuk ibu penyandang disabilitas tetap memperoleh haknya sesuai dengan Undang-Undang Penyandang Disabilitas Nomor 8 Tahun 2016.

Catatan Aktivis Perempuan

Komnas Perempuan mendukung RUU KIA disahkan menjadi undang-undang. Sebab, hal tersebut memiliki kaitan yang erat dengan upaya penghapusan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan.

Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah berpandangan, RUU KIA sesuai pemenuhan dan pelindungan hak maternitas yang telah dijamin konstitusi yaitu UUD NRI 1945, khususnya Pasal 28 terkait hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan.

Kemudian juga amanat dari UU No. 7 Tahun 1984 tentang pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang ditujukan untuk melindungi kehamilan dan mengatur hak atas jaminan sosial di antaranya hak atas masa cuti berbayar.

“Komnas Perempuan menyambut baik upaya RUU KIA karena juga memiliki kaitan yang erat dengan upaya penghapusan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan,” kata Siti Aminah melalui keterangan tertulis.

Berdasarkan Catatan Akhir Tahun (Catahu) Komnas Perempuan 2021, ditemukan laporan 18 buruh perempuan keguguran yang diduga karena kondisi kerja yang buruk.

Sedangkan Catahu 2022 mencatat terjadi 108 kasus kekerasan di dunia kerja, mencakup pelanggaran hak-hak dasar, seperti hak perlindungan kerja yang layak, hak bebas, diskriminasi dan kekerasan termasuk pelanggaran hak maternitas (cuti haid, hamil, melahirkan).

“Komnas Perempuan juga menemukan masih ada pembatasan kesempatan kerja oleh korporasi terkait fungsi reproduksi perempuan," ucapnya.

Komnas Perempuan berharap jika RUU KIA diberlakukan, maka korporasi tunduk pada aturan dan pengambilan cuti ini tidak akan mempengaruhi kesempatan pengembangan karier. Selain itu, suami yang cuti mendampingi istrinya lahiran juga dibayar utuh sehingga saat suami mengambil cuti tidak khawatir berisiko terhadap penghasilan keluarga.

“Jika suami atau ayah meninggal atau berpisah, maka untuk cuti pendampingan dapat diperluas bagi anggota keluarga terdekat,” kata Siti Aminah.

Komnas Perempuan juga meminta negara agar memberikan program pendidikan terkait keadilan gender, kesehatan reproduksi termasuk fungsi maternitas kepada suami selaku pendamping agar hak cuti benar-benar digunakan untuk meringankan beban kerja domestik dan pengasuhan dari pihak perempuan.

“Program ini terutama penting dalam masyarakat patriarkis yang masih melekatkan peran domestik sebagai tugas perempuan,” kata Siti Aminah.

Namun, Komnas Perempuan mengidentifikasi adanya risiko pembakuan peran domestik berbasis gender terhadap perempuan yang tampak dalam pengaturan yang mengesankan penekanan kewajiban ibu pada tanggung jawab pengasuhan seperti dalam Pasal 4 ayat (1) huruf i; Pasal 4 ayat (2) huruf d; dan Pasal 10 ayat (1).

“Pengaturan serupa ini mengurangi peran ayah, yang pada Pasal 10 ayat (2) dinyatakan memiliki kewajiban bersama dengan ibu dalam tanggung jawab memastikan kesejahteraan anak,” kata dia.

Siti Aminah sebut, Komnas Perempuan menilai setelah RUU KIA disahkan, maka perlu adanya legislasi produk hukum baru dan harmonisasi peraturan perundang-undangan. Misalnya, RUU Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang segera disahkan sehingga perempuan yang bekerja di sektor ini dapat menikmati hak maternitas yang dilindungi dalam RUU KIA.

“Untuk itu diperlukan kejelasan waktu untuk memastikan proses legislasi baru dan harmonisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan,” kata Siti Aminah.

Komnas Perempuan pun mendorong kepada DPR RI dan pemerintah untuk membahas dan mengesahkan RUU KIA dengan mengukuhkan kesetaraan dan keadilan gender di ruang domestik, ruang publik, dan dunia kerja.

“Dan memastikan aspek pemenuhan tanggung jawab negara dan pengawasan yang ketat dalam implementasi,” kata dia.

Kementerian Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak (KemenPPPA) menilai, kehadiran RUU KIA ini dapat memperkuat komitmen bersama lintas sektor dalam upaya pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.

Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak KemenPPPA, Agustina Erni menilai, pemberian cuti tersebut sangat mendukung untuk kesejahteraan ibu pasca melahirkan dan tentu saja bagi anak.

“Selain itu, RUU KIA ini menitikberatkan pada tumbuh kembang anak di masa golden age yang merupakan periode krusial dalam pembentukan generasi mendatang,” kata Erni melalui keterangan tertulis.

Dikritik Pengusaha

Meski didukung oleh banyak pihak, namun RUU KIA mendapat sorotan dari para pengusaha. Ketua Umum DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) DKI Jakarta, Sarman Simanjorang meminta pemerintah dan DPR perlu melakukan kajian dan evaluasi yang mendalam serta komperhensif sebelum mengesahkan RUU KIA.

Pasalnya, dalam UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sudah diatur hak cuti hamil selama tiga bulan dan sudah berjalan hampir 19 tahun pelaku usaha menjalankan aturan tersebut dengan konsisten.

“Kami juga berharap agar sinkronisasi RUU ini dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dilakukan secara cermat sehingga tidak menimbulkan dualisme kebijakan yang nantinya membingungkan pelaku usaha," ucapnya.

Di sisi lain, pegawai negeri sipil (PNS) laki-laki diperbolehkan mengajukan cuti selama satu bulan jika istrinya melahirkan. Hal ini tertuang dalam Peraturan BKN Nomor 24 Tahun 2017.

Menanggapi hal tersebut, DPR mendorong perusahaan untuk mulai memikirkan cuti melahirkan untuk karyawan perempuan yang mengandung dan laki-laki yang istrinya melahirkan sebagai upaya dalam mengembalikan keutamaan kemanusiaan dan keluarga.

Willy Aditya yang juga Anggota Komisi XI DPR mengatakan, pihaknya dan pemerintah akan melibatkan pengusaha dan masyarakat sipil dalam membahas RUU KIA ini.

“Kami yakin bahwa pengusaha juga memiliki semangat nasionalisme yang sama untuk memperoleh sumber daya manusia yang berkualitas," tuturnya.

Dia menjelaskan saat ini perkembangan RUU KIA masih menunggu Daftar Inventaris Masalah (DIM) dari pemerintah. Setelah itu, Badan Musyawarah (Bamus) DPR RI akan menentukan dibahas oleh Alat Kelengkapan Dewan (AKD) dari komisi berapa.

“Biasanya dikembalikan ke pengusul dalam hal ini baleg sebagai pengusul,” kata Willy.

Baca juga artikel terkait RUU KIA atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz