Menuju konten utama

DPR Jamin UU KIA Tak Berpotensi Diskriminasi Perempuan

Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Diah Pitaloka mengakui adanya perdebatan saat akan menyepakati waktu cuti melahirkan.

DPR Jamin UU KIA Tak Berpotensi Diskriminasi Perempuan
Gedung DPR/ MPR RI, karya Dipl.-Ing. Soejoedi Wirjoatmodjo. (FOTO/William Sutanto)

tirto.id - Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Diah Pitaloka, menjamin Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA), yang sudah disahkan dalam rapat paripurna, tak akan mendiskriminasi perempuan. Hal itu merespons anggapan UU KIA dinilai mendiskriminasi perempuan di tempatnya bekerja.

Menurut Diah, cuti melahirkan sangat wajar bagi perempuan. Diah menyebut batas cuti melahirkan juga beragam di setiap negara. Kewajiban cuti tiga bulan bagi perempuan melahirkan, kata Diah, sudah sangat bagus.

Diah menilai diskriminasi terjadi bila perusahaan memecat perempuan yang sedang cuti melahirkan.

"Diskriminasi itu kalau ada cuti melahirkan itu dipecat, perusahaan tidak akan mengambil perempuan karena dia akan punya hak cuti melahirkan, itu diskriminasi. Itu hak cuti melahirkan hal yang sangat wajar," kata Diah saat dihubungi Tirto, Jumat (7/6/2024).

Ia juga menyinggung soal hak cuti perempuan sebagaimana termaktub dalam Pasal 4 Ayat 3 UU KIA. Diah meminta perusahaan tak perlu khawatir, sebab tidak semua perempuan tiba-tiba mengambil cuti hamil.

"Kalau dihitung juga, ya, orang enggak serentak mau cuti hamil, kan, enggak," kata Diah.

Dia mengatakan perusahaan seharusnya ikut bangga dengan UU ini. Sebab, UU ini dinilai Diah akan menyejahterakan pekerjanya.

"Banyak perusahaan yang bisa memberikan cuti enam bulan, Kementerian Kesehatan dukung banget. Karena dalam konteks kesehatan, memang seharusnya enam bulan apabila dalam kondisi sakit," tutur Diah.

Diah mengakui kewajiban cuti bagi ibu melahirkan dalam UU KIA memang enam bulan. Diskusi alot yang turut melibatkan Kementerian Ketenagakerjaan, akhirnya diputuskan tiga bulan. Tambahan tiga bulan itu bila dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk bekerja dengan syarat keterangan dokter.

"Ditambah tiga bulan apabila kondisi kesehatan tidak memungkinkan dia bekerja. DPR juga sudah turun dari enam bulan menjadi tiga bulan. DPR tadinya mau enam bulan, tapi ya udahlah ketemunya tiga bulan," tutur Diah.

Diah mengatakan UU ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pekerja Indonesia. DPR, jelas dia, mengambil posisi berpihak pada pekerja yang selalu di posisi lemah berhadapan dengan perusahaan.

"Justru kita memperkuat dalam konteks melihat untuk meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia," kata Diah.

Diah menegaskan UU KIA ini tidak berbenturan dengan UU Ketenagakerjaan yang turut mengatur hak cuti tiga bulan bagi ibu pekerja yang melahirkan.

"UU ini tidak berlawanan dengan UU Ketenagakerjaan. Kan, ada Menteri Tenaga Kerja di situ, itu sudah sesuai," tutur Diah Pitaloka.

DPR mengesahkan RUU KIA pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (HPK) menjadi undang-undang, Selasa (4/6/2024). Beleid ini turut mengatur tentang kewajiban pemerintah memberikan bantuan hukum untuk ibu yang tidak mendapatkan haknya yaitu upah atau gaji oleh perusahaan tempat bekerja selama cuti melahirkan.

"Dalam hal Ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberhentikan dari pekerjaannya dan/atau tidak memperoleh haknya, Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah memberikan bantuan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," bunyi ayat 3 Pasal 5 dikutip Tirto, Rabu (5/6/2024).

Pada Pasal 5 Ayat 1 dijelaskan setiap ibu yang melaksanakan cuti melahirkan tidak dapat diberhentikan dari pekerjaannya dan tetap memperoleh haknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.

Kemudian, pada Ayat 2 diatur juga setiap ibu yang melakukan cuti melahirkan berhak mendapatkan upah secara penuh untuk tiga bulan pertama dan secara penuh untuk bulan keempat. Kemudian, pada 75% dari upah untuk bulan kelima dan bulan keenam.

Baca juga artikel terkait RUU KIA atau tulisan lainnya dari Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Fransiskus Adryanto Pratama
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Bayu Septianto