Menuju konten utama
Penyelesaian Kasus HAM Berat

Menyoal Klaim Pemerintah Soal HAM Saat Sejumlah Kasus Terbengkalai

Pemerintah dinilai penting memberi izin lembaga internasional, khusus Dewan HAM PBB mengunjungi Papua guna mengkonfirmasi klaim pemerintah.

Pegiat HAM yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) menggelar aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (2/8/2018). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

tirto.id - Deputi V Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Jaleswari Pramodhawardani menyambut baik apresiasi dunia terhadap kinerja Indonesia dalam menangani pelanggaran HAM berat di Paniai Papua. Ia bilang, Presiden Joko Widodo secara khusus memerintahkan Menko Polhukam dan Kejaksaan Agung untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi.

“Sebagai langkah awal adalah penanganan kasus Paniai yang terjadi pada masa awal pemerintahan Presiden Jokowi," kata Jaleswari, via keterangan tertulis, Jumat, 17 Juni 2022.

Dalam perkara dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai ini, Kejaksaan Agung telah melimpahkan berkas perkara terdakwa ke Pengadilan Negeri Kelas IA Khusus Makassar pada Rabu, 15 Juni 2022.

Jaleswari menyatakan masuknya kasus Paniai ke pengadilan mendapat apresiasi dari Komisi Tinggi PBB untuk HAM, Michelle Bachelet. Bachelet menyampaikan hal tersebut secara langsung kepada Menko Polhukam Mahfud MD saat ke kantor Dewan HAM PBB dan Komisi Tinggi HAM PBB, di Jenewa, Swiss.

Selain itu, Jaleswari mengklaim apresiasi PBB menjadi cermin dari keberhasilan Indonesia dalam mengonsolidasikan seluruh instansi dalam penanganan pelanggaran HAM. Konsolidasi tersebut terwujud dengan terbentuknya forum rapat bersama kementerian/lembaga, pegiat HAM, dan organisasi masyarakat sipil peduli HAM.

“Ini tindak lanjut dari arahan Presiden Joko Widodo pada pidato kenegaraan di MPR pada 16 Agustus 2020, bahwa HAM harus diarusutamakan dalam kebijakan pemerintah pusat dan daerah," kata Jaleswari.

Ia menambahkan, “HAM menjadi isu prioritas dan strategis presiden yang harus dikawal. Dalam hal ini KSP bersama Kemenko Polhukam dan lembaga terkait terus menguatkan konsolidasi untuk meningkatkan kinerja HAM di Indonesia.”

Penanganan secara yuridis kasus Paniai dapat menjadi pembuka bagi penyelesaian pelanggaran HAM berat lainnya secara yudisial melalui proses peradilan maupun non-yudisial. Ia menyadari, perampungan pelanggaran HAM berat masa lalu tidak mudah dan kompleks. Meski begitu pemerintah tidak pernah berhenti dan terus mengupayakan penyelesaian.

“Termasuk mengupayakan suatu gugus tugas penanganannya melalui Keputusan Presiden, serta pengajuan kembali RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang baru, setelah UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tahun 2004 dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006,” jelas Jaleswari.

Pada perkara ini Jaksa Agung telah mengeluarkan Surat Perintah Jaksa Agung Nomor: Prin-41/A/Fh.2/05/2022 tanggal 23 Mei 2022 dan menunjuk 34 orang sebagai Tim Penuntut Umum untuk menyelesaikan kasus Paniai. Pelimpahan berkas perkara a quo berdasarkan Surat Pelimpahan Perkara Acara Pemeriksaan Biasa Nomor: B-08/F.5/Fh.2/06/2022 tanggal 9 Juni 2022 dengan No. Reg. Perkara: PDS-01/PEL.HAM.BERAT/PANIAI/05/2022, No. Re. Bukti: RB-01/HAM/PANIAI /05/2022, di mana surat dakwaan disusun secara kumulatif.

Dakwaan kumulatifnya yakni, kesatu, melanggar Pasal 42 Ayat (1) huruf a dan b Jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan dakwaan kedua melanggar Pasal 42 Ayat (1) huruf a dan b Jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Menghibur Diri Sendiri?

Presiden Persekutuan Gereja-Gereja Baptis West Papua, Socratez S Yoman merespons klaim pemerintah. Dalam kasus Papua, penyelesaian konflik-konflik di Bumi Cenderawasih itu rumit dan membutuhkan waktu panjang.

“Kami tidak percaya opini-opini, propaganda Indonesia. Kami tidak percaya itu,” kata dia kepada reporter Tirto, Senin, 20 Juni 2022. Pemerintah Indonesia harus menyelesaikan segala persoalan HAM di Papua, tidak hanya kasus Paniai.

“Kami tidak heran (dengan klaim pemerintah), karena Indonesia tukang bohong. Selalu menghindar, selalu memuji diri, pintar menyembunyikan kesalahan, menggampangkan masalah. Itu penguasa (Indonesia) punya kelakuan,” imbuh Socratez.

Dia berpendapat, rakyat Papua tidak tinggal diam sementara martabatnya direndahkan lewat omong kosong pemerintah dan yang disampaikan Jaleswari adalah bahasa diplomatis. “Kenapa kami harus percaya itu?” kata dia mempertanyakan.

Socratez mempertanyakan balik pemerintah. Jika benar pemerintah Indonesia berprestasi luar biasa dalam menangani persoalan Papua, maka semestinya pemerintah membuka akses bagi PBB dan jurnalis asing untuk bisa masuk ke Papua agar mereka mengetahui kondisi sebenarnya.

Direktur Aliansi Demokrasi Papua, Latifah Anum Siregar mengatakan, beberapa hari setelah kejadian Paniai, Presiden Jokowi saat datang ke Jayapura pada perayaan Natal 2014 berjanji akan mengungkap kasus tersebut. Lalu, dua tahun kemudian pemerintah membentuk tim terpadu untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua, saat itu tim mendata ada puluhan kasus.

“Maka kalau sekarang penanganan HAM akan dilakukan, ini bukan suatu kemajuan yang signifikan apalagi dengan menetapkan hanya satu tersangka. Negara tidak memihak pada korban sekaligus mempermalukan diri sendiri karena kronologis peristiwa itu sudah diketahui publik terutama para korban,” terang Anum kepada reporter Tirto.

“Jadi, pemerintah hanya menghibur sekaligus membela dirinya sendiri, bukan membela korban, apalagi bersungguh-sungguh menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Bagaimana mungkin pemerintah merasa telah menegakkan HAM jika baru mau menyidangkan satu kasus dengan satu tersangka?” kata Anum.

Sementara kasus Wasior pada 2001 dan Wamena pada 2003, serta aksi kekerasan lainnya yang perlu diselidiki karena ada dugaan terjadi secara sistematis dan meluas masih belum diproses, kata Anum. Ia menanyakan mana suara dan komitmen pemerintah?

Selain itu, kata Anum, penting bagi pemerintah memberi izin kepada lembaga-lembaga internasional, secara khusus Dewan HAM PBB, untuk mengunjungi Papua guna mengonfirmasi ucapan pemerintah di dunia internasional dan jangan hanya suguhkan data atau informasi versi pemerintah.

Problem Papua Bukan Cuma Paniai

Wakil Ketua I Majelis Rakyat Papua, Yoel Luiz Mulait berujar, jika benar internasional mengapresiasi soal kasus Paniai, maka hal itu turut dihargai. Tapi ia mengingatkan bahwa pelanggaran HAM di Papua itu jalan di tempat dan tidak berproses signifikan. Apalagi hanya kasus Paniai, perkara pelanggaran HAM berat yang bisa sampai ke persidangan.

“Kinerja HAM ini, yang pemerintah tidak wujudkan itu soal Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Harapan (kami) dengan otonomi khusus (pemerintah) bisa bentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk mengungkap kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua,” imbuh Yoel.

Pemerintah pun harus transparan dan jujur perihal keadaan di Papua, apalagi soal dugaan pelanggaran hak asasi. Yoel menilai pemerintah bisa menjalankan anjuran Komnas HAM soal pelanggaran HAM di sana.

Sedangkan Sekjen Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se-Indonesia, Ambrosius Mulait menilai, banyak kejanggalan dalam kasus Paniai seperti aktor intelektual yang tidak semuanya diperiksa, ketidakjelasan status autopsi korban, bahkan keluarga korban yang hendak dibayar agar tak mendalami perkara. Jadi pemerintah tak perlu mengklaim sepihak, kata dia.

“Kalau KSP menyatakan itu (apresiasi dari internasional), itu sangat berlebihan sekali,” ucap Ambrosius, kepada reporter Tirto, Senin (20/6/2022).

Sebab, kata dia, tak seluruh terduga pelaku dimintai keterangan dan transparansi informasi yang minim. Karena itu, ia menilai sebaiknya pihak PBB bisa membandingkan data dan informasi yang mereka punya dengan yang dimiliki pemerintah Indonesia. Tujuannya agar kasus Paniai lebih terang dan keadilan bagi korban bisa terpenuhi.

Ambrosius juga menyesalkan masih ada terduga orang yang ikut campur dalam masalah Paniai, tapi menduduki posisi di pemerintahan saat ini. Misalnya Moeldoko, ia menjadi Panglima TNI ketika peristiwa itu terjadi. Pada Pasal 42 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM diatur mengenai tanggung jawab rantai komando, maka Panglima TNI, Kapolri, Polda Papua, dan Pangdam XVII/Cenderawasih yang diduga terlibat dalam peristiwa Paniai dapat turut diperiksa.

Baca juga artikel terkait KASUS HAM BERAT atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz