tirto.id - Satgas Operasi Damai Cartenz menangkap FS, tersangka pembacokan warga Intan Jaya bernama Asep Saputra. Ia pun kedapatan memiliki 10 butir amunisi kaliber 5,56 milimeter. Anggota kelompok pro kemerdekaan Papua itu dibekuk, lalu aparat mengembangkan perkara.
FS mendapatkan amunisi itu dari Jhon Sondegau. Tim pun segera memburu Jhon Sondegau dan berhasil menangkapnya pada Selasa, 7 Juni 2022, di Kampung Yokatapa, Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, sekira pukul 17.40.
Tak hanya Jhon yang dibekuk, ada Praka Asben Kurniawan Gagola, anggota Batalyon Infanteri 743/Pradnya Samapta, yang turut ditangkap. Saat pemeriksaan, Jhon mengakui telah menerima titipan amunisi. Selanjutnya Jhon menjualnya kepada FS seharga Rp2.000.000 dan uang tersebut diserahkan kepada Asben.
“Uang tersebut langsung diserahkan kepada tersangka AK. Transaksi dilakukan sebanyak dua kali. Transaksi pertama, lima butir dan (transaksi) kedua, lima butir," kata Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol Ahmad Musthofa Kamal, 8 Juni 2022.
Alasan Asben, pria 28 tahun yang tergabung sebagai personel Satgas Aparat Teritorial, menjual peluru itu untuk makan-makan bersama rekannya.
Perulangan yang Memuakkan
Pada 2014, TNI mengusut tiga anggota TNI yang menjual peluru kepada kelompok bersenjata Papua. Dua di antaranya merupakan tentara aktif, sedangkan seorang lainnya bersiap pensiun. Kemudian ada Briptu Tanggam Jikwa, anggota Polsek Nduga, yang berpilin dalam kasus serupa. Ketika tim menggeledah rumahnya, ada 231 butir amunisi yang diduga siap dijual kepada kelompok lawan.
Dua tahun silam, tiga orang ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penjualan senjata api ke kelompok bersenjata di Papua. Mereka adalah Bripka MJH (anggota Brimob Kelapa Dua), DC (aparatur sipil negara sekaligus anggota Perbakin Nabire), dan FHS (eks TNI AD). Ketiganya dijerat Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951. Barang bukti yang disita ialah M16, M4, dan Glock, masing-masing satu pucuk.
Pengungkapan kasus kala itu bermula ketika ada informasi M16 dan M4 masuk ke Nabire melalui Timika pada 22 Oktober. Kepolisian pun mulai beroperasi, kemudian menangkap Bripka MJH di Nabire. Dia menyertakan dokumen Perbakin sebagai cara meloloskan penyelundupan senjata serbu. Berdasar pemeriksaan, ia terlibat bisnis ini sejak 2017. Bripka MJH membeli senjata di Jakarta senilai Rp150 juta, lalu diserahkan kepada DC yang akan meneruskan itu ke para pembeli dengan harga yang telah disepakati.
Kasus sebelumnya berawal dari pemesanan senjata api dari DD, mantan anggota DPRD Paniai. Dia diduga menggadaikan mobilnya untuk memperoleh senjata dari mantan personel TNI AD berinisial FAS. Pada Desember 2019, SK yang diduga orang asli Papua sebagai pemesan senjata menyuruh DD mencarikan M16 kepada Bripka MJH. Upah yang diterima Bripka MJH sesuai urutan pengiriman yakni Rp10 juta, Rp25 juta, Rp30 juta, Rp25 juta, Rp15 juta, Rp25 juta, dan Rp25 juta. Itu semua dari Juni 2017 hingga ia diringkus.
Juru Bicara TPNPB-OPM Sebby Sambom pun kembali mengklaim masih ada anggota TNI atau Polri yang menjual amunisi dan senjata api kepada pihaknya. "Bukan baru, tapi dari dahulu mereka jual," kata dia kepada Tirto, Selasa, 14 Juni 2022. Bahkan 14 tahun silam, senjata api yang akan dijual dibawa menggunakan Hercules dari Jakarta menuju Wamena.
"Kami TPN beli, anggota Kopassus yang bawa (senjata). Hal ini bukan baru. Karena prinsipnya kami butuh senjata, mereka butuh uang." Tidak ada perjanjian lain dua pihak seusai transaksi, semua hanya 'ada uang, ada barang'.
Kisah Panjang Bukan Rahasia
Perdagangan amunisi dan senjata api secara ilegal di daerah konflik turut berhubungan dengan keuntungan finansial. Pemasok, penjual, dan pembeli saling membutuhkan. “Dalam suasana konflik bersenjata, hal itu sangat mungkin terjadi. Bukan hanya di Papua,” kata peneliti dari Pusat Penelitian Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Adriana Elisabeth, kepada Tirto, Senin, 13 Juni 2022.
Selama masih ada permintaan dan penawaran, perdagangan ilegal itu tidak akan putus. Secara tidak langsung, transaksi ini menyuburkan konflik di Bumi Cenderawasih. Kasus Asben ini bisa saja karena si tentara melihat peluang untuk mencari pundi-pundi dengan ‘cara lama’. Amunisi aparat keamanan tak bisa begitu saja beredar bebas, apalagi jika publik memiliki itu di bawah tangan; ditambah jika yang dijual adalah peluru yang tidak terpakai.
“Segala macam yang bisa dibuat transaksi yang menguntungkan untuk finansial, bisa dijual,” sambung Adriana.
Adriana merujuk kepada pernyataan aktivis HAM Theo Hesegem yang menyatakan ada tiga jenis TPN-OPM yang eksis saat ini di Papua. Tiga tipe kelompok itu yakni yang berjuang secara murni untuk memerdekakan Papua, yang menyerahkan diri kepada aparat TNI dan Polri alias kembali ke pangkuan Tanah Air, dan yang mendukung Negara Kesatuan Indonesia. Setelah menyerahkan diri, mereka biasanya diberi uang atau proyek.
Adriana menduga jika ada TPN yang bekerja sama dengan intelijen aparat Indonesia, bisa saja mereka yang menciptakan konflik di Papua. Maka kelompok tersebut bukan kelompok tipe 1 yang memang berjuang secara ideologis.
“Jadi mereka (TPN) sendiri tahu siapa penyuplai senjata,” terang Adriana. Kelompok TPN di bawah kepemimpinan Joni Botak yang beroperasi di Tembagapura, diduga sebagai kelompok tipe 3 alias yang bekerja sama dengan aparat keamanan Indonesia.
“Sekarang mesti diselidiki betul, apakah ini untuk menciptakan imej Papua selalu identik dengan konflik bersenjata sehingga jual-beli senjata berjalan? Tapi dengan kelompok (tipe) apa (transaksi dilakukan)? Ini harus jelas,” ucap Adriana.
Fenomena jual-beli ini menunjukkan bahwa ada sebagian aparat keamanan Indonesia dan TPN bekerja sama dengan kesadaran. “Di dalam konflik pun orang bisa bekerja sama, bukan?” Sangat-sangat mungkin.”
Sementara itu, Direktur Eksekutif ISESS, Khairul Fahmi berpendapat, anggota TNI dan Polri yang bertugas di daerah operasi, seperti di Papua, kekuatan mental dan moral prajurit tidak bisa dianggap sama rata. Ketahanan mereka juga sangat berkaitan dengan perilaku keseharian mereka sebelum bertugas di daerah operasi.
Prajurit yang memiliki kebiasaan kurang disiplin dalam aktivitas di luar kedinasan, akan memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk berani melakukan praktik buruk, pelanggaran disiplin bahkan perbuatan melawan hukum militer ketika bertugas di daerah operasi.
“Apalagi jika perbuatan itu bisa mendatangkan keuntungan dan dapat dimanfaatkan untuk aktivitas-aktivitas pelampiasan stres,” kata Fahmi kepada reporter Tirto.
Menjual amunisi atau bahkan senjata, hanya salah satu dari sekian banyak hal buruk yang bisa dilakukan di daerah operasi. Publik dan pemerintah memang tak bisa mengabaikan peluang terjadinya perubahan atau gangguan moral dan mental karena intimidasi (bisa datang dari atasan, kawan, bahkan lawan), iming-iming materi (motif ekonomi dan pemuasan gaya hidup) maupun alasan-alasan ideologis (efek propaganda lawan).
Alasan kesejahteraan memang sering digunakan. Tapi negara jelas telah memperhitungkan dengan saksama hak-hak keuangan bagi para prajurit yang bertugas maupun keluarga mereka. “Apakah alasan kesejahteraan ini berkaitan dengan adanya korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak para prajurit maupun dukungan logistik bagi pasukan di daerah operasi?”
“Atau ini berkaitan dengan kebiasaan dan gaya hidup yang buruk di kalangan oknum prajurit atau bahkan untuk mendapatkan ‘uang tambahan’? Entah untuk dibawa pulang, untuk ‘dana komando’ maupun untuk sekadar meneruskan kebiasaan dan gaya hidup yang buruk selama di daerah operasi,” tutur Fahmi.
Kalau semata-mata kesejahteraan, Fahmi menilai taraf kesejahteraan prajurit berangsur membaik, namun ukurannya bukan kekayaan. Guna menghilangkan praktik-praktik semacam ini akan sangat tergantung pada kemampuan TNI dan Polri menjaga moral dan mental personelnya, termasuk juga menghadirkan para pimpinan hingga level terendah di lapangan yang bisa menjadi teladan sekaligus mampu mengawasi dan mengayomi anggotanya selama di daerah operasi.
Evaluasi Total, Bukan Hanya Pelor
Keberadaan aparat di Papua harus dievaluasi bukan semata-mata karena jual amunisi saja. “Karena menurut kami penempatan militer itu patut dipertanyakan. Kalau memang operasi militer (maka) ada pernyataan perang,” kata Ketua Umum YLBHI Muhammad Isnur kepada Tirto.
Bila ada Operasi Militer Selain Perang, maka harus disertai keputusan presiden dengan menyampaikan putusannya dengan dukungan dari DPR, bukan keputusan dari panglima TNI secara sepihak. Berikutnya perihal pengawasan. Ini juga problem karena di sana berlaku hukum sipil, tapi personel TNI dikirim terus-menerus. Ketika ada permasalahan seperti ini, lanjut Isnur, sayangnya Undang-Undang TNI ihwal keadilan militer belum direvisi.
“Seharusnya (tentara yang melanggar regulasi) disidangkan di peradilan pidana sipil, (seperti kasus) jual-beli senjata dll. Tapi karena masih belum direformasi peradilan militer, pada akhirnya dia ditempatkan di peradilan militer,” kata Isnur.
Bila dalam kondisi perang, tentara itu bisa dianggap desersi, dan desersi hukumannya berat. Sebaliknya, jika bukan dalam kondisi perang, maka si pelanggar dapat dijerat dengan KUHP. “Ketika operasi itu tidak jelas asal usulnya maka pelaksanaannya pun tidak jelas.”
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz