tirto.id - Otofret Nawipa, Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Cenderawasih, dan 35 kawannya berkumpul di area fakultasnya, Selasa, 10 Mei 2022, pukul 8 pagi. Saat itu, rombongan hendak ke luar kampus.
Tiba di gapura universitas, anggota Polri mengadang mereka. Aparat meminta mereka kembali, maka Otofret dkk kembali ke titik kumpul lantaran negosiasi untuk menuju lokasi aksi penolakan pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB), pencabutan aturan Otonomi Khusus Provinsi Papua, dan gelar referendum, tak berhasil.
Kemudian mereka mencari jalan pintas dan akhirnya berhasil tiba di Perumnas II, lalu lanjut lagi melalui jalan pintas lainnya untuk menuju ke Perumnas I. Tiba di titik kumpul terakhir, mereka bertatap muka dengan mahasiswa dari Asrama Mimika yang mengajak Otofret cs berkumpul sebelum bertemu dengan massa dari Waena dan Abepura yang hari itu juga ingin menyuarakan pendapat.
Tetap saja aparat penegak hukum tak mengizinkan mereka berdemonstrasi, maka Otofret kembali bernegosiasi dengan polisi. Usai tawar-menawar dengan aparat, mereka menyepakati untuk ‘membagi tempat duduk’ karena terlalu ramai massa, masing-masing rombongan bakal menempati satu titik duduk. Sekira pukul 13.30, aparat mengusik ketenangan massa.
“Tiba-tiba dua menit setelahnya, polisi ambil tindakan lain. Mereka (polisi) tembak sembarangan di situ. Mereka kasih peringatan. Teman-teman bubar, lari,” ucap Otofret kepada reporter Tirto, Rabu, 11 Mei 2022.
Otofret tak sempat kabur. Ia angkat tangan di hadapan aparat keamanan Indonesia. “Polisi satu itu todong pistol. Dia sudah tembak tapi kena tiang listrik di samping saya,” ucap Otofret.
Peluru yang mental mengenai tangan kanan pemuda berusia 22 tahun tersebut. Otofret terkejut sejadinya-jadinya, dia mengaku tak bisa berpikir jernih. “Lalu dua polisi (lain) datang, mereka pukul dada saya. Kemudian saya dibanting.”
“Saya pincang, lalu ada polisi satu datang.” Si polisi berkayu datang dan menyasar dada si mahasiswa. “Dia pukul pakai kayu besar. Pikiran semua sudah hilang, tapi Puji Tuhan, Tuhan kasih saya umur panjang,” kata Otofret.
Otofret menduga peluru yang mememarkan tangannya itu peluru karet. Di tengah kecemasan itu, Otofret melihat orang yang menembaknya mengenakan baju bebas –bukan seragam aparat--, wajah ditutupi kain, serta menduga penyerangnya adalah seorang intel. Sementara tiga orang yang menganiayanya, berseragam kelir cokelat.
Dua mahasiswa memberanikan diri menyelamatkan Otofret, satu di antaranya mendapatkan bogem di kepala yang mengakibatkan tempurungnya berdarah. Dua orang itu memikul Otofret ke Asrama Mimika, di sana mereka membersihkan dan menenangkannya.
Lantas datang pihak Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, meminta agar Otofret dibawa ke rumah sakit untuk penanganan lanjutan. Namun karena situasi siang itu tak kondusif, mereka tak jadi ke tempat berobat itu.
Tumpah Suara
10 Mei pagi, massa Papua berkumpul di beberapa area di Jayapura. Mahasiswa yang terpusat di Asrama Intan Jaya di kawasan Expo Waena, diadang aparat; begitu pula massa di Perumnas III. Sementara mahasiswa dari Asrama Yahukimo yang keluar di dekat Mega Waena dan massa dari Abepura juga merasakan hal serupa. Kegiatan itu merupakan aksi serentak yang diinisiasi oleh Petisi Rakyat Papua.
Tak hanya di Jayapura, aksi serupa juga ada di Wamena, Deiyai, Dogiyai, Mapia, Kaimana, Yahukimo, Biak, Sorong, Manokwari, dan Paniai.
Di luar Papua, aksi berlangsung di Yogyakarta, Bandung, Makassar, Bali, Surabaya, Kupang, Semarang, serta Malang. Esther Haluk, aktivis perempuan Papua, terjun di Jayapura. Ia berkendara sendiri sekitar 25 menit dari Sentani.
Esther menyambangi titik Expo. Dia menceritakan kepada Tirto, sejak jam 6 pagi, mobil Pengendalian Massa –biasa digunakan satuan Polri untuk menghadapi pengunjuk rasa—parkir di setiap jalan yang ada massa, misalnya di kampus atau asrama mahasiswa. Sepanjang perjalanan dari Sentani, pemandangan yang ditemui Esther ialah aparat keamanan merazia kendaraan dan menghentikan mahasiswa yang hendak berdemonstrasi.
“(Aparat) melokalisasi, (massa) tak boleh sampai bergabung. Karena rencana kami ingin long march,” tutur Esther. Longmars mulai dari Expo Waena, Lingkaran Abepura, dan tujuan akhirnya adalah kantor DPR Papua.
“Dalam perjalanan ini rakyat pasti bergabung, kekuatan semakin besar. Ini hal yang tidak diinginkan oleh pemerintah.” Pukul 9 pagi Esther tiba di Expo, namun pembubaran massa aksi terus dilakukan aparat.
Sekitar pukul 13, Esther menuju kantor Kontras Papua. Tak jauh dari kantor, ia melihat beberapa mobil polisi diparkir, juga polisi berseragam preman yang memegang senjata, menunjuk bangunan itu. Esther menitipkan motornya kepada teman, lalu berjalan ke sana. Ia melihat Juru Bicara Petisi Rakyat Papua, Jefry Wenda berada di dalam mobil polisi.
“Kamu cari apa di sini?” kata polisi kepada Esther.
“Cari teman.”
Lalu ada dua polisi menghampiri Esther. “Kami kenal dia, dia juga harus ikut ke Polresta (Jayapura),” kata Esther menirukan.
Lima orang lain yang turut diangkut dari kantor Kontras Papua yakni Ones Suhuniap, Omikzon Balingga, Max Mangga, Iman Kogoya, dan Abbi Douw. Tujuh orang ini dibawa ke Polresta dan dimintai keterangan.
Di markas kepolisian, polisi menanyakan identitas diri, alasan berada di kantor Kontras, tahu atau tidak ihwal rencana aksi 10 Mei di Jayapura, dari mana mengetahui perihal demonstrasi.
“Di Polresta, pertanyaan-pertanyaan itu terkesan menggiring kami tentang unggahan-unggahan kami (di media sosial) sebelum aksi. Sengaja (kami) mau digiring, mau dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik,” ucap Esther.
Dia dan enam orang lainnya diperiksa hampir 12 jam. Pukul 3.10, 11 Mei, Esther, Max Mangga, Iman Kogoya, dan Abbi Douw, dibebaskan dengan alasan “hanya berada di tempat saat penangkapan”. Sementara tiga lainnya harus menjalani pemeriksaan lanjutan, berkaitan dengan unggahan di akun Facebook yang diduga berbau SARA atau ujaran kebencian.
Esther heran dengan represif aparat keamanan. Jika orang Papua dianggap sebagai rakyat Indonesia, maka menyampaikan pendapat di muka umum adalah lumrah dan merupakan hak warga negara. Ia tidak merasa rakyat Papua bisa merasakan kebebasan berpendapat dan berekspresi seperti yang termaktub dalam Pasal 28 UUD 1945.
“Ruang-ruang demokrasi semakin ditutup. Pemerintah pusat seakan fobia dengan kebenaran-kebenaran yang kami coba ungkapkan,” ucap Esther.
Polisi pun buka suara ihwal penangkapan. “Dugaan JW melanggar UU ITE, karena selebaran atau seruan yang beredar di masyarakat. Dirinya mengaku sebagai penanggung jawab atas aksi hari ini,” Kapolresta Jayapura Kota Kombes Pol Gustav R. Urbinas via keterangan tertulis, 10 Mei 2022.
Jefry dianggap melanggar Pasal 45 A ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE, ia terancam pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.
Suara Rakyat Jangan Lolos?
Sekretaris Jenderal Gerakan Mahasiswa Pemuda dan Rakyat Papua (Gempar-Papua), Nelius Wenda, berkata alasan pembubaran massa karena demonstrasi tak berizin. Padahal tiga hari sebelum aksi, perwakilan massa menyerahkan surat pemberitahuan aksi. Sisi lain, massa tak membalas pembubaran paksa oleh polisi.
“Pada semua pembubaran itu, massa tak melawan balik seperti melempar aparat dengan batu atau apa pun. Massa menahan diri untuk tak berlaku anarkis,” kata dia.
Nelius berpendapat ruang demokrasi dan represif oleh Korps Bhayangkara, tak membaik, sama saja. Belum ada perubahan yang mengarah kepada kebebasan berekspresi atau tidak adanya pelanggaran HAM di Papua meski pergantian Kapolres dan Kapolda di Bumi Cenderawasih kerap terjadi.
“Tapi yang nyata terjadi di lapangan, ketika (polisi) bertemu dengan massa aksi, negosiasinya sebentar saja,” sambung Nelius.
Jika demonstran tak mau bubar, maka polisi berpotensi untuk membubarkan paksa. Pun pembubaran itu kerap disertai dengan kekerasan yang dilakukan oleh aparat.
Begitu pula yang terjadi di Pulau Biak. Aleks Womna Abrauw, seorang pemuda asli daerah setempat, dan masyarakat Biak pun menolak pembentukan Daerah Otonom Baru. Pada 10 Mei, sebagian warga yang ingin menyampaikan pendapat ke kantor DPRD Kabupaten Biak Numfor tak berhasil menuju ke tujuan.
“Polsek Biak Barat, dorang halangi (massa) di (wilayah) Biak Barat. Di Biak Utara pun begitu. Jadi tong punya sebagian masa itu tidak turun. Dibubarkan di sana (di area masing-masing),” ucap dia.
Namun sebagian massa yang berhasil lolos, berkumpul di Taman Mandouw, hanya beberapa ratus meter dari gerbang kantor DPRD. Di situ pun aparat keamanan telah berjaga. Tak ada yang bisa mendekati bangunan berisi para pejabat daerah tersebut. Meski begitu, massa menyampaikan aspirasinya kepada Dewan Adat.
Dilematik Bhayangkara
Kepolisian memasuki kantor Kontras Papua tanpa izin guna menyita barang-barang dan menangkap tujuh orang secara sewenang-wenang. Koordinator Kontras Papua Samuel Awom menyatakan tidak ada aturan hukum yang dapat membenarkan tindakan kepolisian tersebut.
“Tidak selayaknya kepolisian bersikap arogan, melanggar hukum dan mengabaikan hak asasi manusia,” ujar dia.
Kontras Papua meminta agar polisi membebaskan korban penangkapan paksa itu, membayar ganti rugi materiil dan imateriil seluruh kerusakan yang diakibatkan tindakan personelnya, dan menangkap personel polisi secara sewenang-wenang dan melanggar hukum; juga mengingatkan Kapolri untuk mengevaluasi kinerja Kepolisian Daerah Papua, dengan memeriksa dan menghukum para polisi yang melanggar aturan.
Pengamanan demonstrasi oleh kepolisian memang menjadi bagian dari tupoksi Polri. Peneliti dari Pusat Penelitian Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Sarah Nuraini Siregar menyatakan, pengamanan demonstrasi oleh polisi dari sisi tindakan pemolisian akan selalu kontroversial. Satu sisi pengamanan tersebut idealnya untuk mencegah kerusakan fasilitas dan menjaga situasi demonstrasi tetap kondusif, atau dalam terminologi lain: ketertiban umum.
Pada saat yang bersamaan, pengamanan demonstrasi juga harus mencerminkan tindakan pemolisian yang melindungi salah satu hak dasar dalam demokrasi, yaitu kebebasan menyatakan pendapat.
“Artinya, dalam tindakan pengamanan harus menghindari perilaku-perilaku yang (seolah) mengeliminasi kebebasan. Pada titik inilah selalu terjadi benturan di lapangan, dan selalu yang terlihat adalah tindakan represif kepolisian,” terang Sarah.
Demonstrasi di Papua bukan kasus baru. Sejumlah peristiwa menunjukkan tindakan represif polisi dalam unjuk rasa. Sarah bilang perilaku demonstran pun yang brutal juga harus diakui. Demonstrasi di Abepura tahun 2006 yang menewaskan tiga anggota Polri harus menjadi otokritik kepada publik juga dalam menyuarakan pendapat di muka umum.
"Ada situasi dilematik, terutama saat pengamanan demonstrasi yang nuansa politiknya sangat kuat. Penolakan DOB ini salah satunya," ucap Sarah.
“Polri harus lebih hati-hati dan profesional dalam pengamanan. Karena ‘wajah’ pengamanan yang ditampilkan tetap harus sebagai pengamanan ketertiban umum, bukan kepada wajah perwakilan kekuasaan politik,” imbuh dia.
Rambu penghormatan HAM dalam pengamanan demonstrasi semestinya semakin ditingkatkan. Apalagi telah jelas sejak reformasi, Polri sudah berkomitmen sebagai elemen keamanan yang memiliki prinsip democratic policing.
Sarah menilai sangat miris bagi negara demokrasi seperti Indonesia, namun prinsip perlindungan terhadap hak dasar dalam demokrasi, yaitu menyuarakan pendapat di muka umum semakin hari semakin lemah.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz