tirto.id - Bank Sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin atau 0,5 persen. Kenaikan suku bunga Fed ini merupakan tertinggi sejak kurun waktu 22 tahun terakhir. Penyesuaian itu dilakukan merespons kondisi inflasi terjadi di negeri Paman Sam.
Pada Maret 2022, kenaikan inflasi AS secara year on year (yoy) tidak terbendung lagi telah mencapai 8,4 persen. Inflasi ini menjadi rekor tertinggi dalam 41 tahun terakhir. Tepatnya sejak Desember 1981.
“Inflasi sudah terlalu tinggi. Kami memahami dampak yang ditimbulkan, dan kami bergerak secepat mungkin untuk membuatnya turun lagi," ujat Gubernur The Fed Jerome Powell dalam pernyataan resminya.
Kenaikan suku bunga AS, membuat sejumlah bank sentral berbagai belahan dunia bersiap melakukan penyesuaian. Misalnya di Australia, Islandia, India, Brasil, Inggris, Republik Ceko, Polandia dan Chili sudah mulai menyusun strategi pengetatan guna menghadang pertumbuhan inflasi.
Sementara Bank Indonesia (BI) belum mengambil sikap. BI baru akan memutuskan kenaikan atau tidaknya dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pekan depan. Dalam RDG sebelumnya, bank sentral sempat mempertahankan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,50 persen.
Keputusan BI saat itu dimaksudkan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan terkendalinya inflasi. Hal itu juga sebagai upaya mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
“Rapat Dewan Gubernur pada 18 dan 19 April 2022 memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan sebesar 3,50 persen," ujar Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo dalam konferensi pers bulan lalu, Selasa (19/4/2022).
Namun melihat perkembangan dinamika terjadi, Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, Faisal Rachman memprediksi, BI justru akan menaikkan suku bunga acuan BI-7DRR sebesar 75 basis poin menjadi 4,25 persen pada 2022. Angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 3,50 persen.
“Sikap The Fed lebih hawkish di tengah meningkatnya tekanan inflasi, namun BI tidak akan terburu-buru untuk menaikkannya," kata Faisal dalam riset yang diterima reporter Tirto, Rabu (11/5/2022).
Faisal mengatakan peningkatan BI-7DRR sangat bergantung pada kondisi inflasi dalam negeri. Pada April 2022, inflasi tercatat mencapai 0,95 persen secara bulanan (month to month). Ini menjadi tertinggi sejak Januari 2017. Sementara inflasi tahunan terhitung mencapai sebesar 3,47 persen yoy.
“Inflasi akan meningkat secara fundamental dan substansial di semester II tahun ini," kata Faisal memperkirakan.
Pengamat Ekonomi IndiGo Network, Ajib Hamdani bahkan menghitung secara agregat inflasi sampai dengan akhir tahun bisa berada di 3,3 persen - 3,6 persen. Proyeksi itu lebih tinggi jika dibandingkan target ditetapkan oleh BI dan pemerintah dikisaran 3 plus minus 1 persen pada 2022.
Ia melihat ada beberapa faktor membuat inflasi meningkat sampai dengan akhir tahun. Pertama kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen yang efektif mulai diberlakukan pada 1 April 2022.
Kedua kenaikan harga komoditas-komoditas yang menjadi konsumsi mendasar masyarakat, misalnya bahan bakar minyak (BBM). Serta kenaikan komoditas lain seperti kedelai, minyak goreng, dan lainnya.
“Kondisi-kondisi tersebut menjadi faktor pertama dan faktor utama inflasi, yaitu kenaikan atas biaya produksi," katanya dihubungi terpisah.
Di sisi lain, kemungkinan BI menyesuaikan suku bunga juga dikemukakan oleh Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira. Ia mengatakan, bank sentral akan mempertimbangkan inflasi yang mulai meningkat di dalam negeri. Kemungkinan itu juga melihat kenaikan suku bunga di negara maju, serta stabilitas pasar keuangan yang mulai terganggu.
“Maka tidak menutup peluang BI naikan suku bunga 25 bps. Di semester ke II diperkirakan BI akan naikkan bunga 50-75 bps," kata Bhima.
Efek Domino Jika Suku Bunga BI Naik
Bhima melihat BI tidak punya pilihan selain menaikkan suku bunga acuannya. Namun, di satu sisi kenaikan tersebut memberikan efek domino bagi pemulihan ekonomi nasional juga di sektor riil.
“Jika suku bunga naik terlalu tinggi efeknya akan kontraksi ke ekonomi," kata Bhima mengingatkan.
Kenaikan suku bunga bank sentral juga akan memicu cost of fund atau biaya pinjaman dana bagi pelaku usaha akan jauh lebih mahal. Konsumen juga akan menanggung biaya bunga yang naik seperti pembiayaan Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor.
"Oleh karena itu sinergi fiskal moneter sangat penting. APBN sebagai bantalan harus bisa stabilkan harga energi dan pangan melalui berbagai intervensi," jelas Bhima.
Ajib Hamdani justru menyarankan agar suku bunga BI sebaiknya jangan dinaikkan terlebih dahulu. Karena menurutnya, ekosistem ekonomi masih membutuhkan banyak likuiditas yang mengalir. Sehingga menahan kenaikan, bisa menjaga momentum pertumbuhan ekonomi yang sedang naik.
"Kalau SBI dinaikkan, maka likuiditas akan cenderung berkurang," kata Ajib.
Akan tetapi, ia memahami dengan menaikkan suku bunga, inflasi akan relatif lebih terkendali. Apalagi jika melihat di kuartal pertama 2022, inflasi dalam negeri tercatat sebesar 3,47 persen secara yoy.
“Ada plus minusnya ketika SBI akan dinaikkan oleh pemerintah melalui kebijakan moneternya," jelasnya.
Langkah yang Dilakukan BI
Di sisi lain, BI sendiri berupaya terus memperkuat sinergi kebijakan dengan pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam rangka mengendalikan inflasi, menjaga stabilitas moneter dan sistem keuangan, serta meningkatkan kredit/pembiayaan kepada dunia usaha pada sektor-sektor prioritas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, ekspor, serta inklusi ekonomi dan keuangan.
Dalam RDG bulan kemarin, Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan, pihaknya akan tetap melanjutkan implementasi kebijakan makroprudensial akomodatif dengan mempertahankan rasio Countercyclical Capital Buffer (CCyB) sebesar 0 persen.
Bank sentral juga pertahankan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) pada kisaran 84-94 persen serta rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) sebesar 6 persen dengan fleksibilitas repo sebesar 6 persen, dan rasio PLM Syariah sebesar 4,5 persen dengan fleksibilitas repo sebesar 4,5 persen.
BI juga tetap melanjutkan kebijakan transparansi suku bunga dasar kredit (SBDK) dengan pendalaman asesmen pada perkembangan sumber pendapatan operasional perbankan.
Terakhir, BI juga terus mengoptimalkan strategi bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas dan mendukung pemulihan ekonomi lebih lanjut. Di antaranya dengan memperkuat kebijakan nilai tukar rupiah untuk menjaga stabilitas nilai tukar yang sejalan dengan mekanisme pasar dan fundamental ekonomi.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz