tirto.id - Pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal I-2022 (Q1) telah mencapai titik baliknya. Setelah terkontraksi minus 0,70 persen pada Q1-2021, ekonomi Indonesia kini berhasil tumbuh sebesar 5,01 persen. Capaian ini bahkan berada pada kondisi sebelum pandemi COVID-19.
Pada 2019, rerata pertumbuhan ekonomi Indonesia mampu berada di kisaran 5 persen. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi Indonesia tumbuh 5,06 persen secara year on year (yoy) pada Q1-2019. Kemudian di Q2 tumbuh 5,05 persen, Q3 di 5,01 persen, dan Q4 di 4,96 persen.
Kepala BPS, Margo Yuwono mengungkapkan, pertumbuhan ekonomi pada Q1-2022 salah satunya ditopang dari sisi pengeluaran mencapai 84,0 persen. Berdasarkan jenisnya, sisi pengeluaran terbesar didominasi oleh konsumsi rumah tangga 4,34 persen (yoy). Konsumsi rumah tangga ini terbilang tinggi, karena memiliki distribusi sebesar 53,65 persen terhadap pengeluaran.
Margo menyebutkan peningkatan konsumsi rumah tangga pada tiga bulan pertama ini, didorong faktor mobilitas masyarakat dan ekonomi semakin baik. Kondisi ini menyebabkan meningkatnya daya beli atau konsumsi masyarakat. Di sisi lain, ia melihat masyarakat juga sudah mulai melakukan konsumsi di sektor tersier seperti hotel, restoran, dan transportasi.
"Ini yang mendorong pertumbuhan di konsumsi rumah tangga," kata Margo, dalam rilis BPS, di Kantornya, Jakarta, Senin (9/5/2022).
Belakangan daya beli masyarakat saat pandemi COVID-19 telah menyusut. Hal ini tercermin dari konsumsi rumah tangga pada dua tahun sebelumnya tidak mampu tumbuh di kisaran 4 persen. Pada Q1-2020 misalnya, konsumsi rumah tangga hanya mampu berada di 2,83 persen. Selanjutnya pada Q1-2021 justru alami kontraksi minus 2,21 persen.
"Konsumsi rumah tangga tumbuhnya di triwulan pertama ini cukup tinggi di 4,34 persen," katanya.
Merujuk catatan peristiwa selama Q1-2022, daya beli masyarakat umumnya sudah mulai pulih. Hal ini terlihat dari aktivitas ekonomi masyarakat sudah melebihi dari kondisi normal. Aktivitas ekonomi sudah mulai pulih ini membuat indeks penjualan eceran riil mampu tumbuh sebesar 12,17 persen. Kemudian, penjualan mobil penumpang pun terdongkrak tumbuh 45,95 persen.
"Untuk belanja kebutuhan sehari-hari itu sudah meningkat 27,46 dibanding kondisi normal. Kemudian juga untuk aktivitas masyarakat ritel dan tempat rekreasi meningkat," sebutnya.
Direktur Riset Center of Reform Economic (CORE), Piter Abdullah menilai, konsumsi rumah tangga meningkat pada Q1 2022 ini tidak sepenuhnya dikarenakan daya beli masyarakat. Ia melihat memang ada kecenderungan daya beli meningkat, namun ini disebabkan karena pulihnya sebagian aktivitas ekonomi.
"Pulihnya sebagian aktivitas ekonomi memang menyerap kembali sebagai tenaga kerja dan mengembalikan income atau daya beli mereka. Tetapi kenaikan konsumsi bukan sepenuhnya karena ini," kata Piter kepada Tirto, Selasa (10/5/2022).
Piter menekankan tumbuhnya konsumsi rumah tangga kali ini memang lebih disebabkan adanya kelonggaran mobilitas masyarakat. Bahkan, kata dia, di tengah pengetatan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), mobilitas masyarakat relatif masih cukup longgar dan aktivitas ekonomi masih berjalan.
"Pertumbuhan konsumsi diyakini akan jauh lebih baik pada triwulan II di mana pemerintah benar-benar membebaskan mobilitas masyarakat. Bisa bebas mudik lebaran," katanya.
Ia menambahkan, untuk mempertahankan atau bahkan mendorong konsumsi, pemerintah harus memastikan pandemi benar-benar melandai atau bahkan berakhir. Dengan demikian, mobilitas dan aktivitas ekonomi bisa kembali normal.
“Masyarakat bisa kembali bekerja dan mendapatkan income atau daya belinya," imbuhnya.
Tantangan Menjaga Daya Beli
Meski daya beli masyarakat saat ini mulai pulih, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira justru melihat ada sejumlah tantangan dalam menjaga daya beli. Tantangan tersebut berasal dari inflasi disebabkan oleh harga pangan maupun energi.
Sebagaimana diketahui, konflik antara Rusia dan Ukraina telah menyebabkan beberapa harga komoditas global meningkat. Perseteruan kedua negara itu juga menciptakan gejolak harga minyak dunia, termasuk di Indonesia.
"Hantu inflasi akan menekan konsumsi rumah tangga khususnya kelas menengah bawah, yang tadinya mau belanjakan uang untuk properti dan kendaraan bermotor karena harga BBM naik maka ditunda dulu," kata Bima dihubungi terpisah.
Untuk mengantisipasi hal itu, maka pemerintah disarankan harus menjaga stabilitas harga dengan beragam cara, termasuk naikkan subsidi energi, pupuk hingga batalkan rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN).
"Soal PPN misalnya harusnya diberi insentif atau diturunkan tarifnya dari 11 persen menjadi 9 persen bukan terus naik," ujarnya.
Bhima melihat, tantangan menjaga daya beli berikut datang dari stabilitas nilai tukar rupiah dan suku bunga. Sebab, jika rupiah melemah, maka barang impor otomatis jadi lebih mahal. Imbasnya beberapa kebutuhan pokok seperti gandum, daging sapi dan kedelai bisa ikut naik harganya.
Kemudian, lanjut Bhima, suku bunga yang naiknya berlebihan juga dikhawatirkan akan picu kontraksi ekonomi. Karena masyarakat harus tanggung cicilan lebih mahal. "Milenial yang terancam tidak bisa beli rumah makin kesulitan karena bunga KPR-nya terus naik," kata Bhima.
Apa yang Perlu Dilakukan Pemerintah?
Selepas dari beragam tantangan tersebut, Pengamat Ekonomi IndiGo Network, Ajib Hamdani justru mendorong pemerintah untuk memberikan pola bantuan langsung tunai (BLT) kepada masyarakat. Pemerintah, hanya perlu melanjutkan program-program BLT sudah ada, sebagai upaya menjaga daya beli.
Misalnya program bantuan sosial (bansos) yang sudah berjalan saat ini antara lain Program Keluarga Harapan (PKH) untuk 10 juta keluarga penerima manfaat (KPM), Kartu Sembako untuk 18,8 juta KPM. Selanjutnya BLT Minyak Goreng untuk 19,3 juta KPM, BLT Desa untuk 6,12 juta KPM, Bantuan Tunai Pedagang Kaki Lima, Warung, dan Nelayan (BT-PKLWN) dan Kartu Prakerja.
"Secara pragmatis, pemerintah menjaga daya beli masyarakat dengan pola bantuan langsung tunai," kata Ajib dihubungi terpisah.
Sementara untuk jangka panjang, pemerintah harus bisa menekan angka pengangguran untuk menjaga daya beli. Berdasarkan catatan BPS, angka pengangguran di dalam negeri masih di kisaran 5,83 persen pada Q1-2022. Angka ini turun dari Q1-2021 yang sebesar 6,56 persen.
"Penurunan angka pengangguran ini yang memberikan kontribusi positif terjaganya tingkat konsumsi di masyarakat," jelasnya.
Selanjutnya, kata Ajib, pemerintah perlu menjaga kebijakan yang membuat likuiditas terus mengalir lebih banyak di masyarakat. Misalnya mempertahankan suku bunga SBI di angka 3,5 persen melalui instrumen moneter pemerintah.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz